Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROYEK kebanggaan Provinsi Ja-Tim dalam keadaan gawat.
Bendungan Karangkates, 30 km sebelah barat daya Kota Malang, di
hulu Sungai Brantas, terancam sedimentasi (pengendapan) yang
luar biasa besarnya. Akibatnya umur bendungan ini mungkin hanya
sampai 13 tahun lagi, padahal semula ia direncanakan untuk
berfungsi sampai tahun 2023.
Angka pengendapan itu semula diperkirakan hanya sebesar 510.000
m3 setahun, tapi kini ternyata sudah mencapai 6.200.000 m3
setahun, 12 kali lebih besar. Ini hasil pengukuran dalam periode
antara 1973 -- tahun diresmikan bendungan Karangkates -- dan
1977 oleh sebuah perusahaan konsultan Inggris, Hydraulics
Research Station, yang bekerja sama dengan PIKB (Proyek Induk
Kali Brantas).
Melupakan
Memang angka ini belum dianggap mutlak, karena belum dilengkapi
hasil pengukuran periode ke-2 sampai tahun 1982. Walaupun angka
5 juta m3 setahun, demikian Ir. Al Mizan/Abdullah, Kepala PIKB,
pengendapan itu masih 10 kali lebih tinggi.
Ir. Al Mizan menjelaskan di tahun 50-an -- ketika perusahaan
Nippon Koi Ltd. merencanakan bendungan Karangkates itu -- tidak
mudah memperoleh data endapan, debit air sungai dan curah hujan.
Juga waktu 9 tahun untuk survei itu terlalu singkat.
Nippon Koi Ltd. memulai perencanaannya di tahun 1952. Perhatian
utama penelitiannya ketika itu ditujukan terhadap pengaruh
limbahan Gunung Kelud yang baru meletus. Gunung api aktif ini
sudah beberapa kali meletus di abad ke-20 ini dan setiap letusan
memuntahkan sekitar 100 juta m3 limbahan vulkanis terutama
berupa pasir.
Pengaruh limbahan pasir Kelud ini besar sekali, hingga terpaksa
dibentuk suatu program pengendalian. Program ini berasas kerja,
menghela di hilir dan mendorong di hulu, berusaha menata DAS
Brantas dengan cara membangun puluhan chekdam di lereng selatan
dan barat Gunung Kelud serta menormalisasikan Kali Mas yang
melintas Kota Surabaya.
Tapi pihak perencana agaknya melupakan pengaruh letusan Gunung
Semeru di tahun 1907. Baru sebuah penelitian terakhir -- oleh
tim gabungan beberapa instansi di lingkungan provinsi dan
kabupaten -- mengungkapkan bahwa justru limbahan letusan tahun
1907 itu biang keladi masalah endapan yang di luar perkiraan.
Letusan tahun 1907 itu melanda lereng bagian barat Gunung
Semeru. Tapi beberapa letusan kecil kemudian selalu melanda
lereng bagian timur. Ternyata letusan itu sempat membentuk "bank
pasir" di lereng barat itu, sekarang lokasi desa Poncokusumo dan
sekitarnya, 40 km dari Kota Malang. Dari penelitian terakhir itu
diketahui bahwa melalui puluhan saluran besar-kecil, pasir
limbahan Semeru hanyut ke dalam Sungai Lesti, salah satu anak
Sungai Brantas.
Walaupun tidak diketahui betul berapa besarnya, simpanan pasir
Gunung Semeru "selalu jadi momok bagi petugas Proyek Brantas,"
ujar Ir. Sudarto, Asisten Eksploitasi PIKB cukup kewalahan
karenanya. Program, konservasi tanah tak mampu dilaksanakan.
"Pihak Dinas Pertanian sudah angkat bahu," ucap Ir. Sudarto.
Tapi Vervallen, seorang sarjana fisika asal Belanda, yang juga
ahli ekofertilitas (penyuburan lingkungan), masih melihat
kemungkinan. Ia diundang Departemen PU untuk mempelajari
berbagai proyek pengairan di Pulau Jawa. Ketika berkunjung ke
DAS Brantas, ia melihat sejenis tumbuhan setempat yang bersifat
higroskopis, bisa bermanfaat melembabkan tanah selama musim
kemarau. Sifat tumbuhan ini agaknya bisa dipakai untuk
mengkonservasi tanah sekitar kali-kali pasir itu.
Vervallen memperhitungkan perkembangan penduduk yang luar biasa
di kawasan hulu Sungai Brantas itu. Selain jumlahnya meningkat
banyak pola cocok tanam yang dianut penduduk itu juga, menurut
Vervallen, menyebabkan tingkat erosi demikian tinggi.
Tanah pebukitan di 5 dari 12 desa di Kecamatan Dampit -- kawasan
Sungai Lesti yang merupakan catchement area di hulu Sungai
Brantas - diperas untuk memberi nafkah kepada 4.000 KK. Teknik
budi daya yang diterapkan di situ "tak mengindahkan konservasi
tanah," ujar Ir. Sitino Wibowo, staf P3RP (Proyek Perencanaan
dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan) DAS Brantas.
Tanah itu, yang tak pernah ngaso, makin lama makin gembur dan
mudah rontok. Sementara tanah garapan penduduk tak disusun
dengan terasering yang baik. Walhasil, "di pertemuan anak-anak
Sungai Lesti dengan induknya terlihat jelas hebatnya erosi,"
tutur staf perencanaan PIKB Ir. Sunardi. Kalau di hulu pertemuan
itu air masih tampak jernih, di pertemuan itu sendiri air tampak
keruh, berwarna persis seperti tanah pebukitan sekitarnya.
Akan Menyusut
Satu faktor lagi adalah soal hutan, terutama di hulu Sungai
Brantas. Menurut keterangan Ir. Al Mizan, keadaan hutan di DAS
Brantas relatif lebih baik ketimbang yang di DAS Bengawan Solo
dan DAS Cinduy. Angka pcngelupasan tanah di DAS Brantas hanya
sebesar 3,41 mm, dibanding 14 mm untuk DAS Bengawan Solo dan 6,5
mm untuk DAS Citanduy. Sedang wilayah Brantas yang tertutup
hutan tercatat 32%. "Minimal 30% sudah bisa digolong baik," ucap
Ir.AI Mizan.
Tapi Ir. Sudarto melihat hutan itu belum cukup rapat. Di daerah
Pujon misalnya, dari jalan besar memang hutan tampak rapat, tapi
di baliknya terhampar padang semak. Mungkin dulu pernah
ditumbuhi tanaman keras seperti pinus misalnya, tapi kini habis
dibabat untuk kayu bakar dan bangunan rumah. Pembabatan hutan
bisa menambah menimbulkan pengelupasan tanah.
Program penyelamatan bendungan Karangkates kini terbagi dua
jangka pendek, meliputi pembangunan dua bendungan dan 77
checkdam di hulu Karangkates. Jangka panjang, meliputi upaya
konservasi tanah dan air DAS Brantas melalui pelaksanaan
intensif program reboisasi dan penghijauan serta mengubah pola
cocok tanam penduduk di hulu Sungai Brantas. "Kita harapkan
dengan begitu usia bendungan Karangkates bisa diperpanjang,"
ujar Ir. Al Mizan.
Tidak hanya bendungan Karangkates terancam sedimentasi. Juga
bendungan Selorejo, di hulu Sungai Konto, anak Sungai Brantas,
mengalami sedimentasi hebat. Menurut pengukuran yang juga
dilakukan Hydraulics Research Station, Selorejo -- suatu unit
PIKB -- yang terletak 30 km sebelah barat laut Kota Malang,
sudah mengalami pengendapan 730.000 m3 setahun atau lebih 10
kali dari perkiraan semuia. Akibatnya usia bendungan ini pun --
semula diperkirakan bisa mencapai 40-50 tahun -- akan menyusut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo