Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Usianya Singkat Di Brantas

Terancam sidementasi limbahan letusan tahun 1907 biang keladi masalah endapan. program penyelamatan disusun dan terbagi dua.

8 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROYEK kebanggaan Provinsi Ja-Tim dalam keadaan gawat. Bendungan Karangkates, 30 km sebelah barat daya Kota Malang, di hulu Sungai Brantas, terancam sedimentasi (pengendapan) yang luar biasa besarnya. Akibatnya umur bendungan ini mungkin hanya sampai 13 tahun lagi, padahal semula ia direncanakan untuk berfungsi sampai tahun 2023. Angka pengendapan itu semula diperkirakan hanya sebesar 510.000 m3 setahun, tapi kini ternyata sudah mencapai 6.200.000 m3 setahun, 12 kali lebih besar. Ini hasil pengukuran dalam periode antara 1973 -- tahun diresmikan bendungan Karangkates -- dan 1977 oleh sebuah perusahaan konsultan Inggris, Hydraulics Research Station, yang bekerja sama dengan PIKB (Proyek Induk Kali Brantas). Melupakan Memang angka ini belum dianggap mutlak, karena belum dilengkapi hasil pengukuran periode ke-2 sampai tahun 1982. Walaupun angka 5 juta m3 setahun, demikian Ir. Al Mizan/Abdullah, Kepala PIKB, pengendapan itu masih 10 kali lebih tinggi. Ir. Al Mizan menjelaskan di tahun 50-an -- ketika perusahaan Nippon Koi Ltd. merencanakan bendungan Karangkates itu -- tidak mudah memperoleh data endapan, debit air sungai dan curah hujan. Juga waktu 9 tahun untuk survei itu terlalu singkat. Nippon Koi Ltd. memulai perencanaannya di tahun 1952. Perhatian utama penelitiannya ketika itu ditujukan terhadap pengaruh limbahan Gunung Kelud yang baru meletus. Gunung api aktif ini sudah beberapa kali meletus di abad ke-20 ini dan setiap letusan memuntahkan sekitar 100 juta m3 limbahan vulkanis terutama berupa pasir. Pengaruh limbahan pasir Kelud ini besar sekali, hingga terpaksa dibentuk suatu program pengendalian. Program ini berasas kerja, menghela di hilir dan mendorong di hulu, berusaha menata DAS Brantas dengan cara membangun puluhan chekdam di lereng selatan dan barat Gunung Kelud serta menormalisasikan Kali Mas yang melintas Kota Surabaya. Tapi pihak perencana agaknya melupakan pengaruh letusan Gunung Semeru di tahun 1907. Baru sebuah penelitian terakhir -- oleh tim gabungan beberapa instansi di lingkungan provinsi dan kabupaten -- mengungkapkan bahwa justru limbahan letusan tahun 1907 itu biang keladi masalah endapan yang di luar perkiraan. Letusan tahun 1907 itu melanda lereng bagian barat Gunung Semeru. Tapi beberapa letusan kecil kemudian selalu melanda lereng bagian timur. Ternyata letusan itu sempat membentuk "bank pasir" di lereng barat itu, sekarang lokasi desa Poncokusumo dan sekitarnya, 40 km dari Kota Malang. Dari penelitian terakhir itu diketahui bahwa melalui puluhan saluran besar-kecil, pasir limbahan Semeru hanyut ke dalam Sungai Lesti, salah satu anak Sungai Brantas. Walaupun tidak diketahui betul berapa besarnya, simpanan pasir Gunung Semeru "selalu jadi momok bagi petugas Proyek Brantas," ujar Ir. Sudarto, Asisten Eksploitasi PIKB cukup kewalahan karenanya. Program, konservasi tanah tak mampu dilaksanakan. "Pihak Dinas Pertanian sudah angkat bahu," ucap Ir. Sudarto. Tapi Vervallen, seorang sarjana fisika asal Belanda, yang juga ahli ekofertilitas (penyuburan lingkungan), masih melihat kemungkinan. Ia diundang Departemen PU untuk mempelajari berbagai proyek pengairan di Pulau Jawa. Ketika berkunjung ke DAS Brantas, ia melihat sejenis tumbuhan setempat yang bersifat higroskopis, bisa bermanfaat melembabkan tanah selama musim kemarau. Sifat tumbuhan ini agaknya bisa dipakai untuk mengkonservasi tanah sekitar kali-kali pasir itu. Vervallen memperhitungkan perkembangan penduduk yang luar biasa di kawasan hulu Sungai Brantas itu. Selain jumlahnya meningkat banyak pola cocok tanam yang dianut penduduk itu juga, menurut Vervallen, menyebabkan tingkat erosi demikian tinggi. Tanah pebukitan di 5 dari 12 desa di Kecamatan Dampit -- kawasan Sungai Lesti yang merupakan catchement area di hulu Sungai Brantas - diperas untuk memberi nafkah kepada 4.000 KK. Teknik budi daya yang diterapkan di situ "tak mengindahkan konservasi tanah," ujar Ir. Sitino Wibowo, staf P3RP (Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan) DAS Brantas. Tanah itu, yang tak pernah ngaso, makin lama makin gembur dan mudah rontok. Sementara tanah garapan penduduk tak disusun dengan terasering yang baik. Walhasil, "di pertemuan anak-anak Sungai Lesti dengan induknya terlihat jelas hebatnya erosi," tutur staf perencanaan PIKB Ir. Sunardi. Kalau di hulu pertemuan itu air masih tampak jernih, di pertemuan itu sendiri air tampak keruh, berwarna persis seperti tanah pebukitan sekitarnya. Akan Menyusut Satu faktor lagi adalah soal hutan, terutama di hulu Sungai Brantas. Menurut keterangan Ir. Al Mizan, keadaan hutan di DAS Brantas relatif lebih baik ketimbang yang di DAS Bengawan Solo dan DAS Cinduy. Angka pcngelupasan tanah di DAS Brantas hanya sebesar 3,41 mm, dibanding 14 mm untuk DAS Bengawan Solo dan 6,5 mm untuk DAS Citanduy. Sedang wilayah Brantas yang tertutup hutan tercatat 32%. "Minimal 30% sudah bisa digolong baik," ucap Ir.AI Mizan. Tapi Ir. Sudarto melihat hutan itu belum cukup rapat. Di daerah Pujon misalnya, dari jalan besar memang hutan tampak rapat, tapi di baliknya terhampar padang semak. Mungkin dulu pernah ditumbuhi tanaman keras seperti pinus misalnya, tapi kini habis dibabat untuk kayu bakar dan bangunan rumah. Pembabatan hutan bisa menambah menimbulkan pengelupasan tanah. Program penyelamatan bendungan Karangkates kini terbagi dua jangka pendek, meliputi pembangunan dua bendungan dan 77 checkdam di hulu Karangkates. Jangka panjang, meliputi upaya konservasi tanah dan air DAS Brantas melalui pelaksanaan intensif program reboisasi dan penghijauan serta mengubah pola cocok tanam penduduk di hulu Sungai Brantas. "Kita harapkan dengan begitu usia bendungan Karangkates bisa diperpanjang," ujar Ir. Al Mizan. Tidak hanya bendungan Karangkates terancam sedimentasi. Juga bendungan Selorejo, di hulu Sungai Konto, anak Sungai Brantas, mengalami sedimentasi hebat. Menurut pengukuran yang juga dilakukan Hydraulics Research Station, Selorejo -- suatu unit PIKB -- yang terletak 30 km sebelah barat laut Kota Malang, sudah mengalami pengendapan 730.000 m3 setahun atau lebih 10 kali dari perkiraan semuia. Akibatnya usia bendungan ini pun -- semula diperkirakan bisa mencapai 40-50 tahun -- akan menyusut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus