Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIDIER Drogba, 31 tahun, adalah sosok yang lengkap. Kaya raya dan terkenal. Soal penampilan juga lengkap. Di depan gawang lawan, dia bisa menjadi singa yang buas tapi juga menjadi belut yang licin: susah dijinakkan. Namun dia bisa sangat licik. Sedikit disenggol, dia pun berguling-guling.
Drogba merupakan nyawa tim Pantai Gading. Tak ada dia sama saja nonton konser Rolling Stones tanpa Mick Jagger. Drogba menjadi kapten, pencetak gol terbanyak, dan pemain yang merangkap pelatih saat Uli Stielike, pelatih asal Jerman, minggat sebelum kontraknya usai. Dia juga tokoh yang paling disegani di tim. ”Dia adalah pemimpin kami. Totalitasnya di tim banyak memberikan pelajaran kepada kami,” kata Gnegneri Yaya Toure, pemain tengah.
Tentu ini hasil tempaan perjalanan waktu yang dilaluinya. Pada usia lima tahun, dia pergi ke Prancis bersama salah seorang pamannya, yang juga pemain sepak bola. Karena tak betah, dia sempat pulang kampung. Namun dia balik lagi ke Paris, yang membuatnya terjerumus pada permainan sepak bola.
Kelahiran anaknya, hasil perkawinannya dengan Alla, wanita asal Mali, mengubah hidupnya. Drogba, yang ketika itu masih berusia 21 tahun, menjadi lebih tekun dan serius dalam meniti kariernya sebagai pemain sepak bola. Kariernya makin maju. Setelah dari Marseille, dia mendarat di Chelsea.
Kariernya yang cemerlang membuat dia punya kesempatan melakukan kegiatan sosial. Didier Drogba Foundation adalah yayasan yang dibuat untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan, terutama di Abidjan, tanah kelahirannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo