Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Ada Yang Juara, Ada Yang "Jorok"

Eddy handoko ditawari tapi menolak. dan ia tetap mempertahankan gelar. banyak suap membuat kejurnas menjadi kotor.

8 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EDDY Handoko sengaja memilih losmen murahan di kawasan Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta. Alasannya ialah untuk menghindari kasak-kusuk sogok. "Walau menolak suapan lawan, toh dalam pertandingan konsentrasi tetap terganggu," katanya. Kampiun catur nasional 1978 itu ternyata berhasil mempertahankan mahkota pekan silam. Sebagian besar kandidat juara lain menginap di Hotel Sriwijaya dan Hotel Majapahit yang lebih nyaman. Rahasia Eddy mempertahankan gelar tak hanya itu. Ia juga membolak-balik ensiklopedi catur dan jurnal terbitan Filipina untuk menganalisa berbagai langkah pilihan. "Sejak sebulan terakhir saya selalu bangun jam empat pagi unruk menghirup oksigen bersih," lanjut Eddy. Resep ini konon diberikan oleh pelatihnya, G. Siahaan, "guna mempertinggi daya konsentrasi." Dari 19 partai dalam Kejuaraan Catur Nasional XIX di Wisma Catur Tanah Abang, Jakarta, Eddy mengantungi 16 angka kemenangan. Di antara lawan yang disisihkannya tercatat Grandmaster Herman Suradireja. "Ia memiliki keistimewaan dalam menjalankan langkah variant yang jarang dipergunakan," puji Herman. "Sulit bagi lawan untuk mengalahkannya." Eddy rupanya punya kebiasaan memasang gajah putih pada posisi c4 atau f4 dan gajah hitam di c5 atau f5. Saya Tolak Lahir di Surakarta 20 tahun lalu, Eddy sejak di SD mengenal permainan catur lewat bimbingan ayahnya, Liong Sie Wie. "Ayah adalah guru catur gajah (shang shi)," katanya. Ia mengaku tak pernah menyentuh buku catur di masa kecilnya. "Modal saya cuma kemauan keras." Eddy dari klub catur Pion Mas menurut Siahaan, punya kemampuan untuk jadi grandmaster. Joseph Dorfman dan Yuri Averbach, keduanya Grandmaster dari Uni Soviet, juga pernah melihat peluang itu pada Eddy. Mereka ditahan remis oleh sang juara nasional dalam sirkuit Asia di Jakarta, Mei 1979. Herman menganjurkan agar kesempatan untuk menaiki jenjang Grandmaster bagi Eddy diberikan sekarang. "Mumpung ia masih single, katanya. "Kalau sudah berkeluarga pasti susah." Eddy, yang dapat pendidikan formal sampai kelas II SMA jurusan Sosial di Surakarta, sekarang menjadi karyawan perusahaan Batik Keris. Ia putus sekolah tahun 1977. Dalam Kejuaraan Catur Nasional XIX kemarin Eddy juga ditawari lawan untuk mcndapatkan angka kemenangan. Tawaran itu diulurkan oleh seorang pemain senior dari Jakarta dengan syarat ia harus mengeluarkan sejumlah uang. Saya tolak," katanya. Ia menolak untuk mengungkapkan nama musuhnya. Abdul Muthalib, non master dari Kalimantan Selatan, mengatakan kepada TEMPO dirinya sempat dihubungi oleh Abir Dipo, wakil manajer tim Jakarta, untuk mengalah pada Herman. "Saya sudah mengalah," katanya. "Uangnya tak saya terima." Imbalan yang ditawarkan Rp 40.000. Ia menambahkan bahwa ia mengalah lantaran dirinya merupakan pemain terlemah dalam turnamen kali ini. Tak Tahu-Menahu Tapi Herman membantah dirinya terlibat dalam sogok-menyogok. "Saya cuma karyawan DKI (dinas pajak -- red.) dengan gaji Rp 60.000, mana saya ada uang," katanya. Ia mengatakan bahwa ia gagal meraih mahkota memang karena tak punya target untuk itu. "Kalau saya punya target tentu sudah lama mempersiapkan diri." Herman, juara kedua, sepulangnya dari Olympiade Catur 1978 di Buenos Aires, Argentina, memang kurang megikuti kegiatan nasional. Tentang tindakan Abir Dipo, ia mengatakan sama sekali tidak tahu-menahu. Tapi Herman membenarkan bahwa di kalangan atlet catur Jakarta memang ada kebiasaan untuk mengatur siapa sang harus dimenangkan. "Kesepakatan serupa juga terdapat di luar negeri," katanya. la menyebut contoh, antara lain, di Singapura. Adanya permainan uang untuk melontarkan pemain ke tangga Master Nasional atau juara bukanlah cerita baru di Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi). Penyakit ini sudah menggerayang sejak 7 tahun terakhir. Tapi, "kejurnas ini adalah yang paling jorok," komentar seorang pemain kawakan Jakarta. Dua pemain top dari Jakarta dan Sumatera Utara sudah mengeluarkan ancaman. "Jika Kejuaraan Catur Nasional tahun depan masih jorok begini, kami akan mengundurkan diri saja," kata salah seorang dari mereka. Kejuaraan terakhir ini dimaksudkan pula untuk menentukan urutan pemain catur nasional yang akan dibawa ke Olympiade Catur di Malta, Oktober depan. Biaya Rp 6 juta dicabutnya dari sponsor, antara lain PT Temprint, Nasional Gobel, Krama Yudha Tiga Berlian, Batik Keris, Grundig, Fuji Film, Star Motor, dan Nescafe.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus