Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Italia masih kiblat sepak bola dunia saat ini. Selain di sana berkumpul bintang-bintang dunia, pembenahan ke dalam dilakukan terus-menerus, misalnya masalah wasit profesional. PIALA UEFA, yang menjadi kebanggaan masyarakat bola Eropa, hanya pindah-pindah kota saja di negeri spageti ItaIia. Kamis lalu, di Stadion Olimpiade Roma, klub tuan rumah AS Roma menang 1-0 melawan Inter Milan tetapi tak cukup memaksa piala UEFA itu tinggal di Roma. Piala itu dibawa ke Milan karena awal Mei lalu, di Stadion Giuseppe Meazza Milan, Inter menggasak Roma dengan 2-0. Tahun lalu, piala itu berada di Turino, markas klub Juventus. Tahun sebelumnya lagi, 1989, berada di Napoli. Italia, surga pemain bola profesional saat ini mungkin pantas disebut kiblat sepak bola dunia. Kompetisi Italia, terutama 18 klub di Seri A, begitu teratur dan ditonton jutaan penduduk di berbagai negara lewat siaran televisi. Namun, ada kecenderungan buruk yang disorot dari Italia belakangan ini. Bintang-bintang bola itu mulai "main tipu" di lapangan, misalnya pura-pura jatuh untuk mendapatkan penalti atau sekadar mengulur waktu atau berlagak berguling-guling kesakitan untuk mencuri kesempatan minum. Di Inggris, misalnya, bintang lapangannya lebih "jujur" kalau ia jatuh cepat sekali bangun. Yang positif, di Italia jarang terjadi perkelahian antarpemain. Apalagi wasit yang dikejar-kejar, digebuk, atau diinjak, seperti (maaf) yang terjadi di Indonesia. Para wasit di sana tak pernah gamang mencabut kartu kuning atau kartu merah. Mereka memang berwibawa. Apa resepnya? FIGC -PSSI-nya Italia -memperhatikan betul dunia perwasitan ini. Sejak berakhirnya Piala Dunia 1990 diperkenalkan sebuah proyek yang tugasnya menangani wasit profesional. Yang menyiapkan proyek wasit pro itu adalah Paolo Casarin - yang dijuluki Paolo il caldo, atau si panas. Wasit FIFA berusia 51 tahun ini memang dikenal temperamental. Casarin, yang pernah bertugas di Piala Dunia 1982 Spanyol, pernah kena hukum sembilan bulan gara-gara menghardik pemain. Pertandingan terakhir yang dipimpinnya adalah Belanda-Inggris di Piala Eropa 1988. Casarin sudah memimpin 200 pertandingan sejak 1958, di antaranya 40 pertandingan internasional. Tugas Casarin adalah menyiapkan wasit untuk kompetisi Seri A dan Seri B. Ini tidak mudah karena pemilik klub-klub kaya Italia sudah terkenal suka memilih-milih wasit. Dalam kompetisi tahun lalu, urusan wasit ini sempat runyam. Ada klub yang main 34 kali selama kompetisi tetapi dipimpin 14 wasit. Itu berarti, dua atau tiga pertandingan dipimpin wasit yang sama. Bahkan, tanpa mau menyebut klub yang mana, Casarin menyebut, "Ada sebuah klub yang selama enam pertandingan berturut-turut dipimpin seorang wasit yang sama." Saat ini, Casarin sudah punya 42 wasit, termasuk 18 wasit muda yang belum berpengalaman. Namun, sampai 15 kali pertandingan di Seri A, Casarin sudah bisa menurunkan 32 wasitnya. Artinya, ia sudah bisa memaksa klub-klub tunduk dan dipimpin wasit muda yang masih magang. Casarin membentuk tim penilai untuk seorang wasit. Tim itu sebanyak 19 orang, terdiri dari bekas wasit ternama di Italia. Seorang wasit yang bertugas dinilai kemampuannya menghukum kesalahan pemain, menghakimi ketidaksopanan pemain, dan kerja samanya dengan hakim garis. Bagian terpenting yang dinilai adalah kemampuan wasit menjaga keseimbangan pertandingan. Maksudnya, ketegasannya terhadap pemain yang sengaja membuat "bola mati" dengan berbagai ulah. "Bola mati" ini memang ancaman serius sepak bola. Di Piala Dunia 1990, waktu efektif permainan bola ternyata hanya 56 menit dari 90 menit yang tersedia. Sisanya, bola ke luar lapangan, terjadi pelanggaran, atau saat pemain pura-pura jatuh dan kesakitan. Casarin menargetkan, wasit Italia harus mengusahakan waktu efektif jadi 70 menit. Di Indonesia, waktu "bola mati" ini tentu lebih banyak: dipakai pemain mendorong-dorong wasit atau ketika terjadi "tawur" antarpemain. Pada akhir pertandingan, semua anggota tim Casarin harus punya angka untuk penampilan si wasit, yang nilainya dari 1 sampai 5. Pada musim kompetisi tahun lalu angka rata-rata penampilan wasit adalah 3,73. Paling rendah 3,4 dan paling tinggi 4. Musim kompetisi ini, angka rata-rata wasit itu naik, jadi 3,88. Kalau seorang wasit hanya mampu mencapai angka di bawah 3 dia dipecat pada akhir kompetisi, sedangkan yang memperoleh angka 4 dicalonkan sebagai wasit profesional. "Ide wasit pro ini adalah agar profesi wasit lebih dihormati," ujar Dr. Luig Frasso, presiden panitia proyek wasit pro Italia, kepada koresponden TEMPO di Napoli. Dalam perkembangan sepak bola, tutur Frasso, makin diperlukan wasit yang ahli, berpengalaman, dan terus-menerus melatih diri. Dan ini penting, tak menjadikan profesi wasit sebagai pekerjaan sampingan meski, dalam tahap awal, seorang wasit pro masih bebas bekerja sebagai pegawai atau apa saja. Calon wasit pro masih akan menjalani latihan khusus, mengikuti seminar, dan menjalani teori dan praktek dasar-dasar sepak bola. Konon, penghasilan setahun seorang wasit pro akan mencapai 100 juta lira atau sekitar Rp 150 juta. Namun, Frasso belum mau mengungkap angka resmi. "Yang penting, cukup baik agar dia tidak mendapat stres berat di luar lapangan," kata Frasso. Wasit pro di Indonesia? Menarik dijajaki. Paling tidak, kalau gaji wasit cukup, urusan suap-menyuap, yang sudah seperti legenda dalam sepak bola Indonesia, boleh diharap akan berkurang. Toriq Hadad (Jakarta) dan Lisa Sallusto (Napoli)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo