Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Berotot sedikit janganlah malu

Tim putri ke piala uber dinasihati di senayan supaya meniru pemain korea sun ai hwang. bermain keras, hingga tubuhnya kekar. persiapan tim putri sejak awal. (or)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ubah seperti ramalan cuaca di TVRI. Ada kalanya mereka bermain gemilang. Sering pula mengecewakan. Sejak penampilan pemain putri Indonesia di All England, dua dekade terakhir, misalnya, baru dua kali mereka jadi juara, yaitu pasangan 'ganda Minarni/Retno Kustiyah (1968) dan Verawaty/Imelda Wigoeno (1979). Sedang di partai tunggal jadi finalis saja pun mereka tak pernah. Sebelum turnamen All England ke-71 di stadion Wembley, London, akhir Maret, tim putri Indonesia diperhitungkan akan berhasil dalam partai tunggal atau ganda. Prestasi mereka semula boleh, diandalkan. Verawaty dan Ivanna adalah juara dan runner up pada Kejuaraan Bulutangkis Dunia 1980 di Jakarta. Sementara Verawaty/Imelda pernah jadi salah satu pasangan ganda yang tangguh di dunia. Ternyata tak satu pun putri Indonesia yang lolos ke final. Verawaty dikalahkan dalam semi final oleh Lene Koppen dari Denmark (11-8, 10-12, 9-11) dan Ivanna dijatuhkan oleh Sun Ai Hwang dari Korea Selatan (11-5, 7-11, 0-11). Sedang ganda Verawaty/Imelda disisihkan oleh Yu Jan Kim/Sang Hee Yu dari Korea Selatan di babak awal. Satu-satunya pasangan putri Indonesia yang mencapai perempat final adalah Theresia Widyastuti/Ruth Damayanti, tapi akhirnya dikalahkan oleh Atsuko Tokuda/Yoshiko Yonekura dari Jepang. Menurut pelatih fisik, merangkap manajer tim, Tahir Djide, kekalahan Verawaty dan Ivanna tidak perlu terjadi. Keduanya kurang tekun, katanya. Betulkah penilaian Tahir? Verawaty, menurut pelatih Minarni, mengalami kelainan di pangkal lengan kanannya. Ia tidak berada dalam kondisi prima waktu di semi final. Sementara Ivanna menyebut dirinya kalah tenaga dari lawan. "Kondisi fisik pemain putri kita memang agak payah dibanding atlet lain. Terutama dibanding Jepang atau Korea Selatan," kata Stanley Gouw sekembali dari All England. Gouw, anggota tim pembina ditugasi PBSI menangani regu Piala Uber yang akan bertanding di Tokyo, akhir Mei. Pemain putri Indonesia juga dinilainya kurang efektif dalam melakukan serve, dan penguasaan lapangan. "Pemain putri kita umumnya gemar bermain cantik, bukan bermain efektif," kata Gouw. Para pemain putri Senayan ini, menurut Minarni, banyak dipengaruhi oleh latar belakang orang Indonesia yang suka santai. Sedang lawan dari Jepang dan Korea Selatan sejak kecil sudah dibiasakan dengan disiplin. Di Korea Selatan, menurut Sun Ai Hwang, pembinaan pemain memang dilakukan secara keras dan ketat. Ia dan pemain lain berlatih enam jam sehari dan lima hari seminggu. Jadwalnya: pagi selama dua jam (06.00-08.00) latihan fisik, siang (11.00-12.30) latihan stroke dan malam (18.00-21.00) latihan bertanding. "Tak ada istilah kasihan dari pelatih," kata Sun Ai Hwang. Kalau jadwal itu cukup berat buat wanita." Sun Ai Hwang tak merasa malu akibat latihan tubuhnya jadi kekar. "Toh femininnya seorang atau tidak bukan ditentukan oleh bentuk tubuh," lanjutnya. Atsuko Tokuda dari Jepang konon sependapat. "Tidak demikian halnya dengan atlet kita. Berotot sedikit saja tangannya ia sudah malu," kata Gouw. Korea Selatan juga menerapkan sistem latihan baru bagi pemain bulutangkis Latihan fisik untuk angkat berat masih diberikan dua minggu sebelum pertandingan, misalnya. "Menurut pelatih dari Sun Ai Hwang, berat bebannya memang dikurangi. Tapi frekuensi angkatannya ditambah," kata Gouw. Tidak demikian halnya dengan para pemain Indonesia. Sun Ai Hwang tak sia-sia berlatih keras. Sejak Januari, ia menjuarai turnamen Piala Dunia di Tokyo, Kejuaraan Bulutangkis Terbuka Swedia di Malmoe, dan All England. "Penampilannya memang luar biasa," komentar Minarni. Selain fisiknya yang memang hebat, pulse (gerak pergelangan ungan) Sun Ai Hwang bajgus sekali. Hingga penempatan bolanya sukar ditebak, dan tajam. "Pemain kita juga akan bisa berbuat serupa," ujar Gouw. "Asalkan mau juga berlatih keras." Menghadapi turnamen Piala Uber di Tokyo, tim pembina akan dikoordinasikan oleh Ferry Sonneville. Para anggotanya ialah Hendra Kartanegara, Pujianto, Stanley Gouw, Mohammad Djundi dan Eddy Yusuf. Tim itu telah membina putri Indonesia untuk Kejuaraan Bulutangkis Dunia 1980. Latihan dimulai 6 April, sekitar lima jam sehari. Kawan berlatih mereka akan diambil dari pemain junior pria -- yang mirip dengan tipe permainan putri Inggris dan Jepang. Mereka juga akan dilatih melayani pemain seperti Dhany Sartika (kidal), Lius Pongoh, Bobby Ertanto dan Christian Hadinata. Minarni menyarankan agar kesempatan meningkatkan pengetahuan diberikan di pelatnas. Gouw dan Hendra Kartanegara dalam pelatnas tahun lalu memang selalu bicara dalam bahasa Inggris dengan pemain. Ini akan diterapkan mereka lagi dalam pelatnas Piala Uber. "Biar mereka tidak minder waktu ketemu pemain asing," kata Gouw. Mungkin Imelda menjadi playing captain, jika saran Eddy Yusuf diterima. Imelda dipandang lancar berkomunikasi dengan pemain asing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus