PAGI-PAGI dua orang petugas pajak sudah menunggu di kantor PT
Tempo, Jalan Kebun Sirih. "Untuk memeriksa recette pertandingan
kemarin barangkali," ujar Kostaman, bendahara klub Tunas Inti
yang pekan lalu bertanding melawan Niac Mitra di Stadion
Menteng.
Tunas Inti di bawah asuhan Sinyo Aliandu membuat kejutan hebat.
Ia berhasil mengimbangi Niac Mitra dengan permainan bersemangat
dan berdisiplin tinggi, meski akhirnya kalah 0-1. Tak pernah
sebelumnya publik Menteng yang terkenal cerewet itu terpukau
dari awal sampai peluit terakhir berbunyi. Taksiran orang tak
kurang dari 8000 penonton hadir. Karcis VIP dijual Rp 2000,
tribun kanan-kiri Rp 1500 dan berdiri di timur dan belakang
gawang rata-rata Rp 500.
Tapi dari secarik kertas yang terketik rapi, Kostaman membaca
bahwa yang terjual cuma 3296 lembar karcis dari berbagai kelas.
Tidak ada separuh dari 8000 helai yang diedarkan. Hasil bruto
menunjuk angka Rp 2.866.000.
Dari pendapatan kotor itu dipotong pajak tontonan 10%.
Kemudian biaya sewa lapangan Rp 10.000. Karena hasil bruto itu
melebihi satu juta rupiah, menurut ketentuan Persija yang
empunya stadion, penyelenggara dikenakan ekstra 10% lagi.
Setelah itu masih dipotong biaya keamanan Rp 200.000 dan tentu
saja biaya siluman lainnya.
Jadi dugaan orang bahwa Tunas Inti ketiban rejeki besar, impian
belaka. Konon Niac Mitra kurang percaya dengan recette itu.
Apalagi jawatan pajak, tentunya.
Pertandingan pertama Galatama bagi Beniardi, Ketua Tunas Inti,
berarti juga awal dari bisnis bola yang sebenarnya. Dia
memperhitungkan harga cetak karcis Rp 8 selembar yang
pencetakannya harus dilakukan oleh pihak pajak pula. Menjelang
pertandingan dia pasang iklan di Berita Buana dan Pos Kota.
Sedang di daerah Menteng dia sebarkan pamflet pertandingan.
Pajak tontonan dia panjar lebih dulu Rp 750.000 untuk jumlah
8000 lembar yang diperkirakan laku terjual. Tiga hari menjelang
pertandingan, tim Tunas Inti dia pindahkan dari kompleks Ragunan
ke Hotel Orchid Palace di Slipi. "Masa lawan tinggal di Hotel
Sari Pacific, anak-anak kita di Ragunan. Psikologis tidak baik,
bukan?" ujar Beniardi yang sehari-hari Managing Director PT
Tempo.
Dari seberang sana di Stadion Utama Senayan, Jakarta Arseto
menjadi penyelenggara pertandingan pembukaan. Ada drumband, ada
olkes tiup ABRI dan ada tendangan kehormatan oleh Menteri Kesra
Surono. Diperkirakan yang hadir di malam pertama (17 Maret),
tak kurang dari 45.000 penonton. Sedang di hari kedua yang
dibasuh hujan jumlah penonton anjlog sampai sekitar 12.000.
Karcis VIP Barat Rp 5.000, VIP Timur 3000, kelas I Rp 2.000, II
Rp 1.000, III Rp 300 dan anak-anak Rp 100.
Berapa recettenya? Hari pertama terjual 33.415 lembar dengan
hasil bruto Rp 17.506.400. Sedang di hari kedua hanya 8.159
lembar dengan Rp 3.694. 200. Untuk total 41.5i4 lembar yang
terjual dari berbagai kelas diperoleh omzet Rp 21.200.600.
Sewa lapangan di Stadion Utama Senayan, berkapasitas 100.000
orang, lebih berbelit. Untuk sewa lapangan berlaku tarif 10%
dari omzet setelah dipotong pajak tontonan. Tapi ada tarif
minimumnya. misalnya, untuk pertandingan nasional 1 kali
pemakaian maksimum 2 jam, Rp 500.000. Untuk pertandingan
internasional 1 kali pemakaian Rp 650.000. Untuk sekali latihan
tanpa lampu, maksimum 2 jam, berlaku tarif Rp 25.000. Dengan
lampu 2 jam tambah Rp 47.500.
Jadi berapa hasil bersih Arseto? Sampai akhir pekan lalu belum
ada pengumuman resmi ataupun tidak resmi dari pihak Arseto. Tapi
ada kabar, bahwa Arseto memperoleh laba sedikit (?).
Pengeluarannya total meliputi Rp 18 juta. Tapi ada pula yang
mengatakan, "Arseto tidak untung, juga tidak rugi" alias kit.
Dari Bogor, pertandingan Perkesa 78 lawan Pardedetex (20 Maret)
membawa cerita lain. Stadion Pajajaran yang punya daya tampung
2.000 orang duduk, 13.000 berdiri kebobolan beberapa pintunya.
Pertandingan itu paling banyak mendapat kunjungan penonton
sepanjang sejarah persepakbolaan Bogor. Panitia mencatat lebih
dari 15.000 penonton.
Bagaimana panitia berhasil menjaring demikian banyak penonton?
Ketua III Panitia Penyelenggara pertandingan Galatama Bogor,
Wiryadi SH mengatakan ada 3 hal yang mensukseskan kompetisi
Galatama di Bogor. Pertama, sepakbola Galatama soal baru. Kedua,
promosi kuat. Ketiga, Perkesa 78 sudah melekat di hati orang
Bogor.
Dalam hal promosi Perkesa 78 sungguh beruntung. Kebetulan Ketua
Panitia setempat adalah Kepala Staf Korem. Maka para Danramil
pun aktif membantu mempromosikan kompetisi Galatama ini.
Tapi ketika diminta recette yang konkrit, Wiryadi hanya
mengatakan bahwa "karcis yang terjual hanya 40%." Karcis VIP
atau duduk Rp 1.500, berdiri Rp 400. Data selanjutnya masih
dalam proses administrasi agaknya.
Sewa lapangan dan pengelolaannya oleh klub yang menjadi tuan
rumah atau panitia penyelenggara merupakan masalah tersendiri.
Di daerah, konon tarif sewa naik mendadak. Pendapatan dari
kareis umumnya tidak sesuai dengan jumlah penonton yang hadir.
Sulit bagi tim tamu yang hanya kebagian 25% dari hasil netto
menerima kenyataan ini. "Start sudah baik, tapi kita perlu
terbuka," kata Ketua Pelaksana Galatama Syarnubi Said. "Saya
tidak keberatan semua pemasukan dan pengeluaran diumumkan kepada
masyarakat untuk langsung dinilai."
Tapi apa pula yang mau dinilai bila di depan mata Ali Sadikin
sendiri, satu kampung orang menerobos masuk pintu VIP. "Sangat
menjengkelkan," komentar Ali Sadikin mengenai penjagaan pintu
masuk. "PSSI seolah sebuah usaha sosial yang padat karya,
menghidupi orang lain saja. Karena itu saya persilakan klub
mengatur penyelenggaraan sendiri. Saya harap mereka dapat
memberi pelajaran untuk perbaikan di dalam tubuh PSSI." PSSI
sendiri mencukai 10% dari hasil kotor pertandingan Galatama
setelah dikurangi pajak tontonan.
Apa reaksi klub-klub yang telah bertanding mengenai Yecette di
beberapa tempat, belum resmi diumumkan. Tapi untuk menghindarkan
saling curiga, Benny Mulyono dari Warna.Agung menyaran supaya
pada stadion yang bakal menampung kegiatan Galatama dilengkapi
dengan "pintu bernomor" (turn stile). Pintu kerangka besi itu
berputar dengan angka setiap kali didorong orang masuk. "Jadi
kita mendekati angka yang objektif dalam hal jumlah penonton.
Dan rasa saling curiga dapat kita hindarkan," kata Benny.
Tapi bagi Wenas, pimpinan Niac Mitra Surabaya, bisnis bola tidak
dikaji ketat seperti Beniardi dari Tunas Inti. "Hanya hobi kok.
Tak pernah terpikir bola untuk bisnis. Tiga tahun lalu kami
sudah mendirikan Yayasan Mitra yang bergerak di bidang
olahraga," kata pengusaha hiburan yang berkumis tebal ini.
Bersama Ketua Persebaya, Joko Sutopo yang juga menjadi penasehat
klub Niac Mitra, Wenas toh sedang memperjuangkan pembangunan
stadion bola di Surabaya. Kapasitasnya setengah dari Stadion 10
Nopember 20.000 penonton saja. Tentu Wenas kini mulai melihat
potensi Niac Mitra makin tinggi untuk bisnis Galatama.
Kesebelasannya kini memimpin putaran pertama kompetisi Galatama.
Dalam jangka panjang, stadion milik sendiri akan lumayan
menguntungkan. Apalagi, menurut Wenas, simpatisan Niac Mitra
tersebar di Jawa Timur. "Kami tinggal di (hotel) Sari Pacific
(Jakarta berkat sponsor simpatisan kami juga."
Dari 14 klub yang ikut kompetisi Galatama, tak satu pun yang
memiliki stadion sendiri. Namun beruntung sekali, misalnya, klub
Tidar Sakti yang berafiliasi pada pemerintah daerah Magelang.
Ketuanya, dr Moch. Subroto yang kebetulan Walikota Magelang.
Dialah juga pimpinan PT Tidar Sakti -- perusahaan Pemda -- yang
mensponsori klub Tidar Sakti. Dalam putaran pertama saja Tidar
Sakti dengan Stadion Abu Bakrin Magelang akan bertindak sebagai
tuan rumah 9 kali.
Bagaimana dengan yang lain? Dengan membubungnya tarif sewa
stadion, siapa lagi kalau bukan pimpinan PSSI sendiri turun
tangan dan mencari jalan keluar bersama pemerintah daerah yang
menguasai lapangan bola?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini