Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ELLYAS Pical, juara dunia yang baru dua pekan mempertahankan gelarnya, akhirnya mengaku: ia pun sebenarnya tak begitu puas dengan hasil kemenangannya atas Wayne Mulholland. "Beta sudah latihan begitu berat. Tapi, kalau baru dua-tiga ronde, lawan sudah jatuh dan terus takut main semua latihan yang beta terima dari bos jadi percuma. Penonton kurang puas dan kasihan, mereka sudah keluar uang banyak buat beli karcis," katanya kepada TEMPO. Ditemui ketika sedang santai di rumah salah seorang saudaranya, di daerah Karet Tengsin, Jakarta, Elly, 25, mengatakan "Payah, beta belum keluarkan pukulan keras, dia sudah takut." Karena itu, "Lain waktu, beta mau bilang sama promotor, supaya cari lawan yang seimbang buat beta," kata bujangan asal Saparua itu, sambil meremas-remas tangannya. Mengapa petinju seperti itu yang dihadapkan Boy Bolang pada Elly ? Promotor itu, yang untuk pertandingan yang diaturnya mendapat komisi sekitar Rp 33 juta, hanya tertawa lebar. "Ada beberapa pertimbangan. Intinya adalah paduan antara pertimbangan bisnis dan keharusan untuk melanggengkan gelar juara dunia di tangan Elly," kata promotor yang sejak dua bulan lalu sudah berhasil menyewa sebuah kantor seharga Rp 2 juta sebulan, di lantai delapan gedung Manggala Wana Bhakti, Jakarta, itu. Pertimbangan bisnisnya, menurut Boy, adalah karena Mulholland dibayar murah: sekitar Rp 18 juta. Posisinya, dibandingkan 12 peringkat lainnya penantang Elly yang terdaftar di IBF, juga lumayan. "Ketika saya hubungi tiga bulan lalu, ia ada di peringkat kelima," katanya. Selain itu, Mulholland orang kulit putih. Dari segi bisnis, pasti akan mengundang banyak penonton. Tambahan lagi, kata Boy Bolang, "ketangguhan Mulholland" paling ia ketahui dibandingkan penantang lainnya. Artinya, Elly, kalau bertanding lawan dia, pasti bisa menang. "Ini penting, malah yang paling penting karena, terus terang saja, saya tak mau melawan arus. Kebiasaan kita di sini, tak suka kekalahan. Contohnya, PSSI, yang sampai dilempari batu, karena terus menerus kalah. Saya tak mau itu terjadi pada tinju pro yang sudah capek-capek saya bangkitkan," kata Boy. Sudah barang tentu agar tak mengecewakan penonton resep Boy ini tak bisa diulang pada pertandingan Elly berikutnya. Itu sebabnya ia menjanjikan mencari petinju yang lebih tangguh buat lawan Elly, Desember mendatang. "Bisa juara dunia versi WBA, Kaosal Galexi, atau penantang nomor satu IBF, Shinobu Kawashima," katanya. Tapi ia sudah wanti-wanti agar tidak disalahkan nanti kalau Elly kalah dan kehilangan gelar. Buat Boy, sebagai promotor, haknya untuk mempertandingkan Elly memang tinggal sekali lagi. Mungkin karena itu sambil menunggu pertandingan Elly berikut promotor yang lihai mencari penyumbang dana ini tak langsung diam. Pekan lalu, ia sudah merencanakan pula pertandingan tinju yang lain: perebutan gelar kelas terbang yunior, juga versi IBF. Yakni, antara juara bertahan asal Filipina, Dodie Penalosa, dan Yani Hagler Dokolamo dari sasana Sawunggaling, Surabaya. Pertandingan akan dilaksanakan 12 Oktober mendatang. Dan, seperti biasa, Boy cepat meramal. "Seorang juara dunia baru lagi akan lahir," katanya seusai mengikat Dodie dengan kontrak Rp 80 juta lebih untuk pertarungan perebutan gelar 15 ronde di Jakarta nanti. Yani, 18, asal Ternate, menerima bayaran Rp 40 juta, rekor baru pula untuk seorang calon penantang juara dunia, setelah Elly yang empat bulan lalu, ketika menjadi penantang Ju Do Chun, menerima kontrak bayaran hanya Rp 36 juta. Tapi, yang menarik, agaknya, bagaimana Yani, yang bukan juara OPBF, seperti Elly dulu bisa jadi penantang juara dunia? "Harus diakui, itu setidak-tidaknya karena pengaruh Boy Bolang," kata ketua Komisi Tinju Indonesia H. Mohamad Anwar. Sebab, katanya, adalah Boy yang akhir Mei lalu menggolkan masuknya Yani dalam ratings IBF, di sebuah konvensi yang diselenggarakan badan tinju dunia itu di Detroit, AS. Sebenarnya, urusan mengusulkan masuknya seorang petinju - dalam IBF ditentukan harus juara nasional atau regional - ke dalam daftar penantang juara dunia adalah urusan komisi tinju negara masing-masing. Indonesia lewat KTI, misalnya, selama ini sudah mengusulkan sejumlah nama, juara nasional dan regional Timur Jauh, OPBF (Orient Pacific Boxing Federation) ke ketiga badan tinju dunia, WBC, WBA, dan IBF. Tapi, hanya Thomas Americo (WBA), Ellyas Pical, dan belakangan Yani Hagler (IBF) yang berhasil. "Memang, kami sekadar mengirimkan usulan saja. Jika dibantu oleh promotor sang petinju, seperti pengalaman Thomas Americo, Elly, dan Yani Hagler, harapan diterima bisa lebih besar," kata Anwar. Dalam kasus Yani, selain ia juara nasional kelas terbang yunior, ia juga penantang peringkat pertama OPBF. Sudah main 16 kali, dengan hasil 9 kali menang KO, 6 kali menang angka, dan sekali draw. Permainan Yani sempat dilihat oleh wakil presiden IBF, James Stevenson, ketika lawan Margo Sitompul pada partai tambahan pertandingan Elly - Chun, di Jakarta, Mei lalu. Kemudian bisa menahan seri petinju Filipina, Little Baquio, penantang peringkat ke-9 kelas terbang IBF, awal tahun ini di suatu pertarungan di Malang, Yani kemudian diusulkan Boy ke IBF untuk masuk daftar penantang. "Diperkuat oleh James Stevenson, saya akhirnya bisa meyakinkan Robert Lee, presiden IBF, Doug Beavers, ketua Komisi Peringkat IBF, dan terakhir Bill Brenman, ketua Komisi Kejuaraan IBF, untuk memasukkan Yani," kata Boy. Petinju bcrkepala botak itu kemudian tercatat pada peringkat ke-10 dalam daftar penantang di kelasnya. Tak mudah, untuk meyakinkan pejabat-pejabat IBF. Tapi, ujar Boy lagi, "Semuanya akhirnya bisa diselesaikan." Ini memang menjadi tugas Boy sebagai promotor agar ia juga tetap memiliki sumber bisnisnya. Marah Sakti Laporan Rudi Novrianto dan Toriq Hadad (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo