Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARAK antara kejuaraan Piala Dunia di Argentina dan PSSI di
Indonesia agaknya hanya terpisah segelinding bola. Dari topik
Mario Kempes kini orang beralih ke masalah Ronny Pasla.
"Bagaimana sih PSSI di di bawah Ali Sadikin," ujar Eddy Rusli
ketika Master Nasional catur ini kebetulan berjumpa dengan
wartawan TEMPO di Lokasari. "Ali Sadikin bisa membangun Jakarta,
tapi belum tentu ia bisa membangun PSSI."
Eddy, seperti juga kebanyakan penggemar olahraga lainnya, lebih
asyik mengunyah soal bola daripada memperbincangkan dwilomba
antara Karpov dan Korchnoi.
Tak kurang spontan adalah tanggapan M. Syarifuddin, Pemimpin
Redaksi Bintang Sport dan Film Medan. "Di mata penggemar bola di
Medan PSSI kini kian merosot," katanya. "Sebab tampaknya orang
sekeliling Bang Ali tak berani memberi voeding apa yang benar
dan apa yang salah. Ini sangat penting. Ali Sadikin kan masih
awam."
Dalam pembicaraan selanjutnya dengan wartawan TEMPO, Syarifuddin
mengingatkan agar Ali Sadikin jangan mencari-cari "kambing
hitam" untuk menutupi kegagalannya di lapangan hijau, yang tak
kunjung membaik sejak dia di situ. (Lihat Tabel Hasil
Pertandingan PSSI). "Jangan Ali Sadikin tenggelam dalam
pemberantasan suap-menyuap. Itu tugas polisi. Yang penting
bagaimana bertindak ke dalam memperjuangkan kesejahteraan,
memperkuat mental dan iman pemain."
Lakon Ali Sadikin di PSSI memang menarik. Ia bukan orang bola.
Setahun yang lalu di bulan Agustus ia digiring Kongres Luar
Biasa PSSI di Semarang untuk mengambil alih pimpinan dari
Bardosono. Ada keengganan semula terpancar dari wajahnya. Tapi
dasar orangnya enggan mundur jika ditantang, Ali Sadikin pun
memutuskan: "Saya terima."
Tepuk-sorak Kongres bergemuruh menyambut tokoh non-PSSI yang
baru meninggalkan kursi Gubernur sebulan sebelumnya. Ia
dipandang sebagai "juru selamat" sepakbola nasional. Tapi kini
setahun kemudian, suara gemuruh pula terdengar menuntut: Apa
prestasi PSSI di bawah Ali Sadikin. Malah seorang rekan wartawan
koran sore di Jakarta sementara menyimpulkan "PSSI di bawah Ali
Sadikin lebih buruk dari Bardosono." Ia sendiri tak tega
menurunkan kalimat tersebut. "Kasihan." katanya. Tapi menjelang
Sidang Paripurna Pengurus (SPP) PSSI pada tanggal 6 s/d 8
Oktober ini, tidak cuma suara yang mengecam terdengar. Dari
keluarga besar PSSI sendiri nada yang membela kepemimpinan Ali
Sadikin cukup santer. Dan kompak. Hanya tidak berkumandang
keluar.
Sekretaris Umum PSMS di Medan, drs. Bahrumsyah misalnya,
mengatakan pada Koresponden TEMPO di Medan bahwa "belum waktunya
menilai kepemimpinan Ali Sadikin hanya dalam waktu setahun.
Marilah kita tunggu sampai tahun 1981 nanti, setelah periode
kepengurusan habis." Agaknya, Bahrumsyah lengah, bahwa Ketua
Umum Bardosono pun dijatuhkan oleh para anggota PSSI sebelum
periode kepengurusannya habis (1975-1977).
Tapi pertimbangan untuk memberi waktu sampai 1981 bukan tanpa
dasar. "Selama setahun ini pengurus PSSI berhasil menerbitkan
kalender kegiatan. Ini sangat penting. Berkat kalender ini
kegiatan di daerah berlangsung lancar. Tidak bentrokan dengan
Pusat. Kompetisi di daerah membangkitkan pembibitan. Pemain
lewat kompetisi itu dapat memperlihatkan kemampuannya untuk
dipilih mewakili daerahnya secara adil."
Kesimpulan Bahrumsyah: Ali Sadikin belum gagal. Dan jika kasus
suap memang benar terjadi, itu pun menurut Bahrumsyah, tak perlu
dikaitkan dengan kedudukan Ali Sadikin, karena jelas peristiwa
itu di luar kemampuan dia.
Sejalan dengan Sekum PSMS Medan itu adalah fakta yang
ditonjolkan Ketua Harian PSIT Cirebon, drs. Kumaedhi. "Dari segi
organisasi sangat positif," katanya. Ia mengingatkan akan kursus
wasit dan latihan instruktur sepakbola di ke-26 Komda seluruh
Indonesia. Di samping itu, tentu saja masuknya Kota Udang dalam
daftar pertandingan internasional, sangat menyenangkan penggemar
bola di sini.
Juga dari Persipal Palu, Ketua Bidang pertandingan dan
Kompetisi, drs. Aminuddin Ponulele berpendapat sama. Malah,
menurut dia, ada kemajuan: Palu bisa menjadi tuan-rumah dalam
pertandingan dengan Feyenoord Belanda. Membandingkan
kepemimpinan Bardosono dan Ali Sadikin, Ponulele berkata "Tak
banyak beda. Yang sedikit berbeda mungkin dalam program kerja
dan proses pengambilan keputusan."
"Proses pengambilan keputusan" Ali Sadikin, oleh Ketua Harian
PSM Ujung Pandang, drs. H.M. Yusuf Kalla, diberi predikat
"demokratis". Karena itu, "buah demokrasi jangan dilihat
sekarang nanti sesudah satu atau dua tahun lagi.' Demikian pula
Ketua Komda Sulawesi Selatan, H. Faisal Thung, menilai Ali
Sadikin selalu bermusyawarah dalam seti ap tindakannya. "Cuma,"
kata Haji Thung, "dulu zaman Bardosono servis lebih baik. Kalau
menang atau seri ada bonus. Sekarang uang saku cuma 6 dolar."
Nada memberi kesempatan karena secara organisatoris PSSI lebih
baik, datang pula dari Ketua Persebaya, Joko Sutopo, yang dalam
KLB Semarang memegang palu pimpinan sidang pemilihan. "Kompetisi
lancar, tidak ada gontok-gontokan sesama pengurus, tidak ada
protes dan tidak ada juara kembar," katanya. "Kalau yang dinilai
dari tidak berhasilnya pemain dalam turnamen, ya repot.
Faktornya kan banyak. Atau kalau memang lawan lebih baik, kita
tidak menang."
Tampaknya bukan saja argumentasi yang rasionil, tapi juga yang
emosionil ikut mendukung Ali Sadikin jalan terus. Bagaimanakah
pendapat Kosasih Purwanegara SH, Ketua Kehormatan PSSI yang tak
dapat mencuci tangan dari corak PSSI hari ini?
"Apapun yang dicapai secara organisatoris baik, kalau tidak
tercermin di lapangan hijau, selalu dicap gagal," kata Kosasih.
Tapi ia ingatkan bahwa keadaan PSSI sekarang tidak lepas dari
perkembangan PSSI 10 tahun terakhir. "Katakanlah bagian saya 70
persen, Bardosono 20 persen dan Ali Sadikin 10 persen," katanya,
"jadi tidak fair kita menuntut terlampau banyak dari masa yang
begitu singkat."
Namun Kosasih menekankan bahwa dari dulu sampai sekarang
masalah pokoknya selalu berkisar pada pembinaan tim nasional.
Selama 10 tahun ini tanpaknya kondisi tim nasional memang belum
menunjukkan garis yang stabil malah merosot. Tahun 1968 PSSI
masih mampu menjadi juara King's Cup Banngkok, 1969 Runner-up
King's Cup. Akhir 1970 mencapai titik terendah di Asian Games VI
Bangkok. Tahun 1971 Frars Hutasoit dari unsur Jayakarta masuk
ke, pimpinan PSSI bidang teknik, tapi tak lama kemudian
mengundurkan diri. Kedudukannya digantikan Syarnubi Said sebagai
Kordinator Teknik/Ketua II. Ada perbaikan. 1972 PSSI A dan B
keduanya menjuarai Pesta Sukan di Singapura. Juga juara
Anniversary Cup III, setelah Kesebelasan PSSI mengalahkan Burma
(juara bertahan) 1-0 dalam pertandingan pembukaan dan
mengalahkan Korea Selatan 5-2 dalam final. Dalam dua tahun itu
penggemar sepakbola juga disuguhi permainan Cruzeiro dengan
Tostao-nya dan Santos dengan Pele-nya.
Syarnubi kemudian tak tahan juga. Ia mengundurkan diri. Masuklah
Suparyo Poncowinoto dari unsur PS Angkasa. Ia pun tak tahan.
Praktis ia telah mengundurkan diri sewaktu Tim PSSI yang ia ikut
pimpin masih dalam perlawatan di Eropa pada September 1974.
Tangan Bardosono ketika itu sudah jauh menjamah isi-perut PSSI.
Dengan bantuan Kosasih pula Bardosono mementingkan pemilihan
pengurus PSSI periode 1974-1978 dalam Kongres Yogya. Dan untuk
menghadapi Kongres itu ketiga tokoh eks-bidang-teknik itu
melembaga menjadi Trio Plus (+ Tony Poganik , dan Maulwi
Saelan).
"Jadi masalahnya dari dulu bagaimana kita tegakkan One-man
managership dalam pembinaan tim," kata Kosasih. "Orang itu
bertanggungjawab penuh, memiliki garis perintah langsung yang
tak boleh terganggu oleh rekan pimpinan lainnya." Ia mengambil
contoh di Inggeris. Ke arah itu harus PSSI dikemIangkan. "Tapi
pengelola tunggal yang kita inginkan belum ada, jadi tak dapat
dipaksakan." Meskipun harus diakui bahwa Coerver, di bawah
Bardosono yang nyaris mengalahkan Kesebelasan Korea Utara pada
Pra Olimpiade di Senayan awal 1976 yang lampau, telah
membuktikan suksesnya sistim pengelolaan tunggal dalam pembinaan
tim.
Pengurus PSSI yang sekarang menurut Kosasih, terdiri dari
raksasa-raksasa. Semuanya jenderal-jenderal," katanya. "Tapi,
kata orang Belanda, tentara Spanyol tak pernah berprestasi
karena mereka semuanya terdiri dari jenderal, tidak ada
serdadunya." Maksudnya, mereka semua merasa bisa, meskipun bukan
bidang kepengurusannya. Contohnya? "Kesebelasan Nasional yang
seharusnya masuk di bidang Acub Zainal, kenapa bisa dipegang
oleh Saelan yang Sekretaris Umum juga?"
Tapi kini Kosasih melihat titik terang. Jalan menuju pengelola
tunggal terbuka sudah. "Orangnya saya lihat ada," katanya
yakin. Siapa? "Pak Hutasoit." "Tapi," lanjutnya" dalam soal
keuangan tampaknya dia belum bisa otonom."
Lalu bagaimana pula sistim itu bisa jalan? "Saya kira Syarnubi
bisa diikut sertakan dalam unit itu. Bukankah hanya Syarnubi
dari Trio Plus yang belum diberi kesempatan lagi." Syarnubi yang
selama ini tercecer di luar, sesungguhnya tak pernah putus
hubungannya dengan para pemain maupun eks koleganya di PSSI.
"Tanyakan kepada para pemain, tanyakan pada Pak Paryo, Pak
Hutasoit, apakah karena saya secara formil organisatoris tidak
lagi menjadi pengurus PSSI, lalu saya tidak membantu sepakbola
nasional?" tantangnya pada TEMPO.
Dan bagaimanakah reaksi Ali Sadikin terhadap perkembangan PSSI
satu tahun ini, lebih-lebih menjelang Sidang Paripurna Pengurus?
"Saya anggap SPP itu rutin," katanya. "Waktu saya terima palu
pimpinan, manajemen organisasi tak jelas. Wasit tidak berwibawa.
Tak ada pembibitan. Setiap kali TC 50 persen waktu habis untuk
mengulang latihan dasar.
Karena itu langkah pertama yang dia tempuh adalah perbaikan
organisasi. "Strategi saya bahwa dalam mencapai sesuatu tujuan,
selalu lewat organisasi. Di KKO, di Perhubungan, di DKI
misalnya, saya utamakan perbaikan organisasi."
Tapi dalam hal sepakbola Ali Sadikin sadar benar bahwa "rakyat
sudah lapar kemenangan." Dalam kondisi ini, "saya baru bisa
menyuguhkan permainan Tim Nasional B (yang gagal di Seoul) dan
Junior asuhan Jamiat Dalhar."
Dalam tahun pertama ini Ali Sadikin merasa nasibnya memimpin
PSSI kurang baik. Kegagalannya di lapangan hijau seperti di
Kuala Lumpur (Merdeka Games) ia yakin di luar permainan yang
wajar. "Sekarang penyogokan itu jelas ada. Bagaimana kita bisa
berprestasi kalau akhirnya ditentukan oleh pihak luar?" Maka ia
tak akan berkompromi dan akan memberantasnya secara tuntas
(Lihat Apa Boleh Buat 1 Untuk Penyuap). Akan halnya isyu
sepakbola prof, Ali Sadikin tegas menolak istilah "profesional."
"Ini bisa melemahkan kedudukan PSSI di forum internasional,"
katanya. Seperti Kosasih ia setuju ditampung dalam sebuah wadah.
Wadah ini berdasarkan konsep Suparyo Poncowinoto, Ketua Bidang
Organisasi PSSI dan Kadir Yusuf, Komisi Sepakbola Prof, disebut
"Galatama", singkatan dari Liga Sepakbola Utama. (Lihat
Galatama).
Dari berbagai sumber TEMPO di daerah, .erlihat sikap Komda dan
Perserikatan yang makin lunak terhadap perkembangan sepakbola
non-amatir. lanya bagain-anakah nanti sikap itu dituangkan
dalam SPP bila masalah itu dilemparkan? Masih sulit diramalkan
sekarang. Karena sangat tergantung pada pembawa masalah maupun
pendekatannya.
Aktifitas klub-klub Persapja maupun sponsor yang makin
memperlihatkan bentuknya selama satu tahun ini tampaknya
merupakan gejala yang sehat: sepakbola nasional tidak ditentukan
dari atas saja, tapi tumbuh dari bawah, dari klub-klub yang
mampu memberi jaminan kesejahteraan dan kesinambunan pembinaan.
Bukankah sudah cukup lama ide "orientasi pada klub"
digembar-gemborkan lewat forum perserikatan, seminar dan
tulisan-tulisan di media massa, tapi dalam perkembangannya
mereka tidak mendapat tempat yang layak?
Peristiwa-peristiwa setahun di bawah pimpinan Ali Sadikin tidak
sepi, juga tidak nyaman. Keputusan KONI Pusat untuk tidak
mengirim tim nasional sepakbola ke Asian Games Bangkok Desember
1978 ini merupakan angka-mati buat prestasi PSSI di lapangan
hijau. Pengunduran diri Acub Zainal sebagai Ketua Bidang
Pembinaan Tim Nasional merupakan masalah tersendiri. Konon Ali
Sadikin akan langsung memegang jabatan yang ditinggalkan Acub.
Ini untuk menghindarkan kesan bahwa seolah kedudukan Ketua
Bidang tersebut memang sudah lama menjadi rebutan di antara para
pembantunya, meskipun secara teknis dapat saja Ali Sadikin
menguasakan kepada orang lain, yang dalam sistim pengelolaan
tunggal tetap menempatkan Ketua Umum Ali Sadikin sebagai
penguasa tertinggi.
Jadi di samping mengupas masalah rutin, tampaknya Ali Sadikin
akan menggalang konsensus lebih besar dari SPP -- dalam menata
kembali susunan pengurus PSSI. Dan memperjuangkan "garis
komando" langsung antara PSSI dan klub-klub, baik yang di dalam
maupun di luar perserikatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo