Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Gemerlap Bintang di Luar Arena

Penghasilan para bintang bulu tangkis di berbagai negara berbeda-beda. Gaya hidup mereka pun beragam.

17 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SORAK-sorai penonton yang menjejali Istana Olah Raga Senayan, Jakarta, sudah tidak terdengar lagi. Tim yang menggondol Piala Uber dan Piala Thomas sudah diketahui, Minggu lalu. Tiada hadiah duit buat tim juara, tapi mereka telah mempersembahkan piala bergengsi buat negaranya.

Jangan heran jika para pemain tim juara mendapat bonus dari negaranya. Sumbangan para dermawan pun selalu mengalir buat mereka. Ini akan membikin pundi-pundi para bintang bulu tangkis kian membengkak dan membuat gaya hidup mereka kian gemerlap di luar lapangan.

Selama ini olahraga bulu tangkis memang telah menjadi industri yang mampu menyejahterakan para bintangnya. Semakin tinggi prestasi mereka, terutama dalam kejuaraan perseorangan, kian banyak duit yang bisa dikantongi. Tidak aneh kalau pemain sekaliber Taufik Hidayat, 23 tahun, mampu bergaya hidup bak selebriti. Ke mana-mana, pemain andalan Indonesia ini selalu mengendarai mobil BMW Sport merah yang dibeli dari hasil keringatnya sendiri.

Gara-gara mobil kerennya itu pula, Senin siang pekan lalu, ia sempat terlibat pertikaian di Hotel Hilton, tempat semua anggota tim Indonesia menginap. Padahal, malamnya ia harus bertanding menghadapi tim Cina dalam babak penyisihan grup. Ceritanya, ketika keluar dari hotel, mobil Taufik tersenggol mobil lain. Pemain temperamental ini pun terlibat adu mulut dengan sopir penyenggol, sebuah sedan Nissan Infinity.

Kebetulan sekali, mobil "lawan" berpenumpang Ahmad Kalla, adik kandung Jusuf Kalla, calon wakil presiden dari Partai Demokrat. Sopir Ahmad Kalla mengaku sempat dipukul Taufik, tapi tak terjadi perkelahian lebih lanjut karena dilerai orang-orang yang lewat. Taufik sendiri membantah ihwal penamparan itu. Ketua Umum Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI), Chairul Tanjung, segera menetralkan kejadian ini melalui media massa. Maklum, situasi perebutan Piala Thomas saat itu masih genting.

Tahun lalu, cerita senggolan seperti itu juga menimpa Taufik. Ia bahkan sempat bersitegang dengan serombongan orang dari sebuah organisasi massa.

Taufik Hidayat lahir dari seorang keluarga petani sayur-mayur di Pangalengan, Jawa Barat, pasangan Aris Haris-Enok Dartilah. Kerja kerasnya membuahkan prestasi gemilang saat ia masih terbilang junior. Maka, sejak November 1996, ketika dia berusia 15 tahun, pemuda ganteng ini pun berhasil melewati gerbang Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) Cipayung. Inilah tempat paling bergengsi untuk penggodokan pemain bulu tangkis di Indonesia.

Ketika pertama kali berlatih di Cipayung, pemuda flamboyan ini sempat minder. Di hadapannya berjajar banyak mobil mewah milik para seniornya. Yang menyakitkan, rekan-rekan tuanya itu kerap mengolok-oloknya sembari memamerkan mobil mereka.

Untungnya, itu tak lama. Semangat pantang menyerah membuahkan banyak prestasi, terakhir gelar tunggal putra Kejuaraan Asia 2004. Di final, ia mengalahkan rekannya, Sony Dwi Kuncoro. Uang pun bukan masalah lagi bagi dia. Apalagi sekadar mobil yang sempat membuatnya iri itu. Taufik kini juga memiliki rumah mewah di Bukit Raflesia, Cibubur. Dia pun sanggup membeli sebidang tanah luas di dekat Pelatnas Cipayung dan sebidang lagi di Bukit Sentul, Bogor.

Taufik juga dikenal sering memprotes kebijakan PBSI yang menurut dia merugikan pemain. Ia juga sering berganti pelatih. "Sebenarnya enggak sulit menangani Taufik. Ajak saja dia bicara dari hati ke hati, pasti lancar," kata pelatihnya, Mulyo Handoyo, menjelang bergulirnya Piala Thomas.

Cerita Taufik bukan lagi sekadar kisah seorang pemain bulu tangkis. Ia telah menjadi selebriti untuk tingkat lokal, mirip David Beckham di dunia internasional sepak bola. Tengok saja gadis-gadis yang pernah jadi pacarnya, mulai dari petenis Wyne Prakusya, penyanyi Nola AB Three, sampai artis sinetron Jane Salimar. Semenjak awal 2000, pacar tetapnya adalah Deswita Maharani. Mereka bahkan telah berencana ke jenjang pelaminan.

"Itu wajar bagi seorang pemuda," kata Mulyo lebih lanjut. "Yang penting adalah prestasinya di lapangan, bukan? Dan sebaiknya, kita tak usah meributkan hal seperti itu, karena akan mengganggu kondisi tim Indonesia."

Penghargaan terhadap pemain bulu tangkis memang belum sebesar sepak bola. Beckham, misalnya, digaji sekitar Rp 1,35 miliar per pekan. Sedangkan di bulu tangkis, satu kejuaraan hanya berhadiah total (jumlah juara seluruh partai) Rp 1,53 miliar sampai Rp 2,25 miliar. Gong Ruina, pemain putri nomor satu Cina, cuma mendapat Rp 0,4 miliar sepanjang 2002, pendapatan tertinggi dalam kariernya.

Hanya, bintang bulu tangkis hampir selalu menjalin kontrak pribadi dengan sponsor. Jumlahnya berbeda di tiap negara. Untuk atlet Indonesia, saat jaya-jayanya, Susi Susanti mendapat kontrak Rp 25 juta per tiga bulan, artinya Rp 300 juta untuk tiga tahun. Bandingkan, tiga tahun lalu, Peter Rasmussen dari Denmark mendapat kontrak langsung dari sponsor Rp 13,5 miliar untuk jangka tiga tahun.

Untuk pemain Indonesia, uang kontrak sponsor, taruhlah dari Yonex, memang tidak seluruhnya masuk kantong pemain. Duit itu dibagi dengan PBSI, yang membesarkan pemain. Lembaga ini mengatur pembagian kontrak secara kolektif, para pemain mendapat bagian sesuai dengan prestasi masing-masing. Namun sekarang PBSI melonggarkan aturannya. Itu pun berkat Taufik yang berkoar-koar pada 2000.

Hadiah khusus dari pengusaha yang bersimpati atau bangga atas prestasi pemain sering juga mengalir. Susi Susanti, misalnya, pernah mendapat hadiah rumah di kawasan elite Bumi Serpong Damai, Tangerang, dari konglomerat Ciputra. Begitu juga dengan para anggota tim yang merebut Piala Thomas 2002. Mereka antara lain menerima Rp 50 juta dari Pemerintah Kota Bandung dan Rp 8,5 juta dari Kadin Bandung.

Dua tahun lalu, Sony Dwi Kuncoro belum jadi anggota tim Thomas Indonesia. Ia tak turut menikmati "hujan uang". Putra pasangan Muhammad Sumadji-Asmiati ini tak banyak kata menanggapi soal gaya hidupnya yang masih "belum selebriti". "Iya, saya masih seperti dulu, ke bioskop pun saya jarang. Bila ada waktu luang, saya hanya mengutak-atik mobil. Itu hobi saya di luar bulu tangkis," kata arek Suroboyo ini tanpa menjelaskan lebih jauh soal mobilnya.

Bagaimana dengan pemain di negara-negara pendatang baru dalam kancah bulu tangkis? Afrika Selatan bisa jadi contoh. "Badminton hanya olahraga kesekian di negeri saya, masih kalah jauh dibandingkan dengan rugbi atau sepak bola. Kami belum dapat berharap banyak untuk mencukupi kebutuhan hidup dari olahraga ini," kata Annari Viljoen, pemain tunggal putri Negeri Mandela. Saat ditanya tentang tiadanya suporter, Viljoen tertawa, "Tentu saja, karena Indonesia negeri jauh, dan bulu tangkis belum populer bagi kami." Annari memperkuat tim Afrika Selatan bersama saudara lelakinya, Wiaan Viljoen, di tim Thomas.

Cina lain lagi, kesejahteraan pemainnya ditanggung pemerintah, bahkan ada dana pensiun bagi bekas pemain. Untuk tunjangan lain, sebagai contoh atlet olimpiade, bila meraih emas, akan mendapat Rp 86,5 juta.

Penghargaan bagi bekas pemain itulah yang kurang diperhatikan Indonesia. Seorang Icuk Sugiarto harus mengeluarkan uang sendiri untuk tiket menonton pertandingan Piala Thomas-Uber, padahal di negara lain ia bisa mendapatkannya gratis. Untung, seperti bekas bintang bulu tangkis Indonesia umumnya, Icuk terbilang makmur.

Andy Marhaendra


Tim Majemuk ala Amerika

PASANGAN ganda Amerika Serikat memiliki kebiasaan berlainan menjelang turun main. "Saya mendengarkan musik-musik bernada keras. Ini akan menaikkan semangat saya," kata Howard Bach, 25 tahun. "Saya lebih memilih istirahat atau tiduran," ucap pasangannya, Kevin Han, 32 tahun.

Begitu juga di luar lapangan bulu tangkis. Bach lebih suka menghabiskan waktu dengan memancing, main boling, atau main ski bila musim salju. Sedangkan, "Saya lebih suka di depan komputer. Ini sesuai dengan pendidikan saya, programmer. Saya akan lebih menekuninya nanti, setelah pensiun," kata Han.

Bach dan Han menggambarkan uniknya tim Amerika yang tampil dalam kejuaraan Piala Thomas di Istora Senayan, Jakarta, pekan lalu. Tak sekadar berlainan hobi, mereka juga berasal dari latar belakang berbeda. Bach adalah keturunan Vietnam. Selain bermain, ia juga melatih pemain yunior di klub Orange County. Sementara itu, Han adalah keturunan Tionghoa. Datang dari Shanghai, Cina, ia bernama asli Han Qi Chi. Han merantau ke Amerika mengikuti ayahnya, yang seorang pengusaha restoran, pada 1989. Ia pun bermain bulu tangkis sambil jadi pelayan di restoran ayahnya.

Pada kejuaraan bulu tangkis nasional Amerika tahun 2002, mereka jadi juara ganda. Dalam pertarungan di partai tunggal, Han menjadi juara tunggal dan Bach runner-up-nya. Di negerinya, pasangan ini dijuluki "Batman and Robin".

Tiga anggota tim Amerika yang lain juga berasal dari negara berbeda. Di sana ada Eric Go, pemuda keturunan Filipina; Bob Malaythong, yang berasal dari Laos; dan Tony Gunawan, pemain yang pernah memberikan medali emas untuk Indonesia di Olimpiade 2000.

Tidak seperti pemain negara lain yang lebih profesional, para pemain Amerika masih bekerja atau kuliah di samping berlatih bulu tangkis. Tony Gunawan, misalnya, sehari-hari kuliah di DeVry University. "Bila lulus nanti, saya masih ingin bermain untuk Indonesia," kata mantan pasangan Chandra Wijaya ini. "Itu pun bila Indonesia masih membutuhkan tenaga saya."

AM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus