Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Grand Master yang Pemalu

Susanto Megaranto, 17 tahun, kini menjadi grand master termuda di Indonesia. Amat pendiam dan pemalu.

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIADA letupan kegembiraan yang berlebihan saat Susanto Megaranto menginjakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Nyonya Darsinah, ibunya, memeluknya sebentar. Lalu ayahnya, Wasdirah, yang juga ikut menjemput, menepuk bahunya. Susanto sendiri hanya tersenyum kecil kepada mereka dan orang-orang yang menjemputnya. Ketika dimintai komentar oleh wartawan atas prestasi yang diraihnya, ia berkomentar pendek: "Senang."

Padahal, Senin malam lalu, Susanto, 17 tahun, baru saja pulang dari Olimpiade Catur di Calvia, Spanyol. Dari kejuaraan ini, ia menggondol grand master, gelar yang selalu didambakan oleh setiap pecatur. "Saya menduga Susanto bisa mencapainya akhir tahun ini atau awal tahun depan, tapi ternyata bisa lebih cepat. Syukurlah," kata sang ayah, bangga.

Olimpiade Catur di Calvia bukanlah ajang yang ramah bagi tim Indonesia. Dalam kejuaraan yang berlangsung pada 14-30 Oktober itu, tim putra dan putri Indonesia sama-sama gagal mewujudkan target masuk 30 besar. Tim putra hanya masuk urutan ke-48 dari 128 peserta, sedangkan tim putri mentok di urutan ke-59 dari 87 peserta. Untunglah, pecatur putri Irene Kharisma, 12 tahun, berhasil meraih medali perak untuk penampilannya di papan tiga, dan Susanto Megaranto mampu meraih gelar grand master.

Susanto, yang lahir di Indramayu, 8 Oktober 1987, mencatat rekor baru. Dialah pecatur termuda Indonesia yang mampu menyabet gelar grand master. Sebelumnya, rekor ini dipegang oleh Utut Adianto selama 18 tahun. Utut meraih grand master saat berusia 21 tahun pada 1986.

Termasuk Susanto dan Utut, kini Indonesia memiliki tujuh grand master. Lima lainnya ialah Herman Suradiredja, Ardiansyah, Edhi Handoko, Ruben Gunawan, dan Cerdas Barus. Lima pecatur terakhir umumnya menyabet grand master pada usia di atas 30 tahun. Herman, misalnya, meraihnya pada usia 38 tahun dan Cerdas memperolehnya pada usia 40 tahun. "Keberhasilan Susanto menjadi cakrawala baru bagi pecatur Indonesia. Kini mencapai gelar GM di bawah usia 20 tahun bukan hal yang mustahil," ujar Hendry Djamal, Ketua Bidang Pembinaan Prestasi PB Percasi.

Penampilan Susanto di Spanyol cukup memukau. Bermain di papan satu, dia beberapa kali menciptakan kejutan. Dia mampu mengalahkan seorang grand master super (dengan elorating di atas 2.600) serta menahan remis tiga lainnya. Hingga partai ke-12 dari 14 partai yang dipertandingkan, dia telah mengumpulkan Tournament Performance Ratings (TPR) 2.635.

Meski elorating Susanto masih terpaut 61 dari angka 2.500 yang merupakan syarat untuk menjadi seorang grand master, dengan prestasi itu dia berhak menyandang gelar grand master. Aturan baru dari Federasi Catur Dunia (FIDE) memang memungkinkan. Seorang pecatur yang meraih TPR di atas 2.600 sampai babak ke-12 di suatu turnamen kini berhak menyandang gelar itu.

Keberhasilan Susanto merupakan buah pembibitan di Sekolah Catur Utut Adianto (dulu bernama Sekolah Catur Enerpac). Berbeda dengan Utut yang berjuang sendiri untuk bisa meraih prestasi tinggi, Susanto sukses karena dibantu banyak pihak. "Boleh dibilang dia disuapin ramai-ramai," kata Hendry Djamal. Dia dibantu Percasi dan sponsor untuk bisa mengikuti berbagai kejuaraan dunia.

Lahir di Desa Tempel, Indramayu, Susanto sudah menunjukkan bakatnya sejak dini. Saat berusia tujuh tahun, bungsu dua bersaudara ini sudah dikenalkan dengan catur oleh ayahnya. Baru 2,5 bulan belajar, kemampuannya sudah melebihi orang dewasa di kampungnya. Tak lama kemudian, dia pun berhasil meraih gelar juara II dalam sebuah kejuaraan lokal di Cianjur.

Jangan heran bila Susanto selalu menjadi andalan Indramayu dan Jawa Barat dalam berbagai kejuaraan. Gelar demi gelar diraihnya, termasuk menjadi pemenang dalam kejuaraan nasional di Aceh pada 1997. Di ajang inilah bakatnya terpantau oleh Eka Putra Wirya, pemilik Enerpac Jakarta. Susanto lalu ditawari untuk belajar di sekolah ini. Eka bahkan bersedia menanggung hidup Susanto serta kedua orang tuanya yang ikut tinggal di mess sekolah agar anaknya bisa konsentrasi belajar.

Setelah setahun belajar di Enerpac, Susanto langsung menunjukkan prestasi. Dia meraih peringkat ke-11 pada Kejuaraan Dunia Catur Junior kelompok umur 10 tahun di Cannes, Prancis. Dia lalu dimasukkan dalam the dream team, bersama pecatur muda lainnya, seperti Taufik Halay, Tirta Chandra, dan Andrean Susilodinata. Tim ini diterjunkan dalam berbagai kejuaraan di dunia. Mereka antara lain menjadi juara pada Kejuaraan Catur Beregu Piala Merdeka usia 18 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Prestasi Susanto terus mengkilap. Pada 1999, dia menjadi juara III untuk kelompok umur 12 tahun pada kejuaraan dunia di Oropesa Del Mar, Spanyol. Ia juga meraih gelar Master Nasional pada tahun yang sama. Gelar Master Internasional (MI) kemudian diraihnya pada 2002. Terakhir, tahun lalu Susanto mempersembahkan medali perak SEA Games XXII di Vietnam bagi Indonesia.

Keberhasilan itu dicapai dengan usaha keras. Latihan dijalaninya setiap hari. Selama tujuh sampai delapan jam sehari dia selalu memelototi kombinasi-kombinasi permainan catur di bawah arahan para seniornya, termasuk Danny Yuswanto dan Utut Adianto. Kegiatan ini dilakoninya hingga kini. Bedanya, sekarang dia lebih banyak belajar sendiri berbekal sebuah laptop yang dibelinya setahun lalu.

Karena kesibukannya berlatih catur, Susanto keteteran di sekolahnya. Siswa kelas III SMU Taman Siswa Bekasi ini merosot prestasinya di kelas. "Rapornya banyak yang merah. Tahun ini saja mungkin ada lima," ungkap Wasdirah. Tapi, sang ayah meminta agar Susanto tak putus asa. "Saya meminta agar dia berusaha agar, paling tidak, bisa lulus," katanya.

Sang Grand Master merupakan sosok pendiam dan agak tertutup. Susanto amat pemalu dan tak bisa segera akrab dengan orang-orang yang baru ditemuinya. Bila tidak berlatih catur atau bermain bola yang jadi hobinya, dia lebih senang menghabiskan waktu sendirian di kamarnya.

Hendry Djamal melihat pribadi Susanto akan jadi hambatan untuk kemajuan kariernya. Itu sebabnya para pembimbingnya terus berusaha mengikis sifat pemalunya. Pergaulan dan pengalaman bertanding di luar negeri ikut mengubah sifatnya. "Kini dia sudah banyak kemajuan. Ke mana-mana sudah berani sendiri. Dia juga sudah berani menjawab pertanyaan wartawan," kata Djamal.

Kendati telah meraih grand master, Susanto mengaku belum merasa lengkap karena elorating-nya belum mencapai 2.500. "Saya masih harus meningkatkan elorating saya," katanya.

Menurut Wakil Sekjen Percasi, Sebastian Simanjuntak, peningkatan elorating amat penting untuk memperkuat posisi Susanto di persaingan catur dunia. Sebaiknya ia mengejar elorating GM Super: 2.600. "Bila sudah mencapai elo 2.600, banyak keuntungan yang didapatnya. Tiap kali ikut turnamen, dia akan mendapat bayaran minimal 5.000 dolar Amerika (sekitar Rp 45 juta)," ujar Sebastian.

Untuk melangkah ke arah itu, Susanto perlu banyak tampil pada kejuaraan di luar negeri. Ini berarti diperlukan banyak dana. "Dia butuh bantuan dari banyak pihak, dari PB Percasi, sponsor, atau pihak-pihak yang peduli seperti Pak Eka (Putra Wirya)," kata Wasdirah. Sang ayah sangat berharap suatu saat bisa melihat anaknya meraih apa yang diidam-idamkannya. "Dia ingin masuk 10 besar dunia. Saya sendiri berharap dia bisa mengharumkan negara dengan kemampuan caturnya," katanya.

Sejauh ini Susanto sudah bisa menghidupi keluarga lewat olahraga catur. Menurut Djamal, sejak 2001, ia bisa mengumpulkan pemasukan sekitar Rp 30 juta setahun dari kejuaraan-kejuaraan yang diikutinya. Susanto juga sudah mampu mengontrakkan rumah untuk kedua orang tuanya di daerah Narogong, Bekasi, tak jauh dari lokasi sekolah catur tempatnya belajar.

Catur bukan lagi sekadar hobi bagi Susanto. Olahraga ini sudah menjadi pilihan hidupnya. "Ya, saya sudah di sini. Inilah profesi saya sekarang. Saya tak mau tanggung-tanggung. Pokoknya, saya berusaha main terus," ujarnya, masih dengan agak malu-malu.

Nurdin Saleh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus