LARI adalah jenis olahraga yang rupanya makin digemari. Juga
oleh Sukir. Sebagai penjual es, sudah layaknya dia memasang
angan-angan untuk panen dari keramaian rally sepeda hari itu di
Lapangan Parkir Timur, Senayan. Cuaca terik pagi itu. Tetapi
Sukir ternyata punya rencana lain. Dia ingin merebut medali emas
untuk kelompok umur 40 tahun dalam lomba Jakarta Marathon III.
Sasarannya 3 jam 30 menit.
Tiga jam setengah untuk jarak 42195 meter memang masuk akal buat
tukang es yang bertubuh cokelat seperti perunggu itu (tinggi 160
cm berat 60 hg). Baru 3 bulan dia menjadi pecandu lari jarak
jauh, Juni 1981, dalam usia 45 tahun dan punya 2 cucu, dia
berhasil mencapai finish 2 jam 2 menit untuk jarak 28 km. Dia
merenggut medali emas untuk kelompok seusianya. Sedangkan untuk
Proklamathon (45 km) 30 Agustus 1981 catatan waktunya 4 jam 9
menit.
Begitu pistol start bergetar pukul 5. 30 pagi itu, Sukir maju
perlahan dikawal anak laki-lakinya yang mengendarai sepeda.
Sepuluh km pertama ditempuhnya dalam 55 menit. Ini dirasakannya
terlalu lambat. Tetapi begitu dia mulai menaikkan kecepatan,
tiba-tiba pergelangan kaki dan lengan kanannya nyeri.
"Saya mau nekat setelah Bundaran Grogol," katanya selesai
perlombaan. Tetapi ketika pelari-pelari kelas satu sudah pulang
dari daerah Pluit menuju Monas (sekitar satu setengah jam lombd
berlangsung) Sukir dapat siksaan baru. Belum sampai Bundaran
Grogol menuju pulang, sepatunya mulai menggigit. Alas kaki itu
dilepaskannya.
Dihantam panasnya aspal, jangankan mempercepat langkah, untuk
bertahan saja dia sudah payah. Di persimpangan Tomang dia
terduduk di aspal mencopot beling yang nancap di tapak kakinya.
"Pak, kalau bisa bertahan, untuk dapat nomor 3 masih bisa," kata
anaknya dari samping. "Tak kuat lagi, sakitnya sampai ke dada,"
katanya nyengir kesakitan.
Dia menyerah di km 38 di depan gedung MPR. Sukir meninggalkan
rute pertandingan, membelok ke kanan dan kembali ke gerobak
esnya di Lapangan Atletik DKI dengan menerobos pagar belakang.
Istrinya yang erdagang ketoprak di ekat situ menyambutnya
dengan celetukan pedas "Pak e Pak e, wis tuek kok melu wong-wong
nom." (Pak, Bapak, sudah tua kok ikut anak-anak muda).
Kegagalannya sekali ini tidak membuat tukang es asal Sragen itu
jadi jera. Agustus mendatang dia mau ikut Proklamathon lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini