Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Gugurnya si tukang es

Salah seorang peserta lomba jakarta marathon iii, sukir, pedagang es, menyerah di km 28 karena kaki dan tangannya nyeri sebelum mencapai finish.

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LARI adalah jenis olahraga yang rupanya makin digemari. Juga oleh Sukir. Sebagai penjual es, sudah layaknya dia memasang angan-angan untuk panen dari keramaian rally sepeda hari itu di Lapangan Parkir Timur, Senayan. Cuaca terik pagi itu. Tetapi Sukir ternyata punya rencana lain. Dia ingin merebut medali emas untuk kelompok umur 40 tahun dalam lomba Jakarta Marathon III. Sasarannya 3 jam 30 menit. Tiga jam setengah untuk jarak 42195 meter memang masuk akal buat tukang es yang bertubuh cokelat seperti perunggu itu (tinggi 160 cm berat 60 hg). Baru 3 bulan dia menjadi pecandu lari jarak jauh, Juni 1981, dalam usia 45 tahun dan punya 2 cucu, dia berhasil mencapai finish 2 jam 2 menit untuk jarak 28 km. Dia merenggut medali emas untuk kelompok seusianya. Sedangkan untuk Proklamathon (45 km) 30 Agustus 1981 catatan waktunya 4 jam 9 menit. Begitu pistol start bergetar pukul 5. 30 pagi itu, Sukir maju perlahan dikawal anak laki-lakinya yang mengendarai sepeda. Sepuluh km pertama ditempuhnya dalam 55 menit. Ini dirasakannya terlalu lambat. Tetapi begitu dia mulai menaikkan kecepatan, tiba-tiba pergelangan kaki dan lengan kanannya nyeri. "Saya mau nekat setelah Bundaran Grogol," katanya selesai perlombaan. Tetapi ketika pelari-pelari kelas satu sudah pulang dari daerah Pluit menuju Monas (sekitar satu setengah jam lombd berlangsung) Sukir dapat siksaan baru. Belum sampai Bundaran Grogol menuju pulang, sepatunya mulai menggigit. Alas kaki itu dilepaskannya. Dihantam panasnya aspal, jangankan mempercepat langkah, untuk bertahan saja dia sudah payah. Di persimpangan Tomang dia terduduk di aspal mencopot beling yang nancap di tapak kakinya. "Pak, kalau bisa bertahan, untuk dapat nomor 3 masih bisa," kata anaknya dari samping. "Tak kuat lagi, sakitnya sampai ke dada," katanya nyengir kesakitan. Dia menyerah di km 38 di depan gedung MPR. Sukir meninggalkan rute pertandingan, membelok ke kanan dan kembali ke gerobak esnya di Lapangan Atletik DKI dengan menerobos pagar belakang. Istrinya yang erdagang ketoprak di ekat situ menyambutnya dengan celetukan pedas "Pak e Pak e, wis tuek kok melu wong-wong nom." (Pak, Bapak, sudah tua kok ikut anak-anak muda). Kegagalannya sekali ini tidak membuat tukang es asal Sragen itu jadi jera. Agustus mendatang dia mau ikut Proklamathon lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus