Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Investasi lewat Anak Ajaib

Klub-klub besar memburu bocah ajaib. Manchester City mendapatkan Rp 470 miliar dari sekolah sepak bolanya.

20 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerakannya sungguh mengagumkan. Gerak tubuhnya seperti rusa yang berlari. Meski meliuk-liuk, bola tak pernah jauh darinya. Beberapa pemain lawan takluk. Mereka tak bisa ”menebas” kakinya, apalagi merebut si kulit bundar.

Aksi Rhain Davis, 9 tahun, di sebuah lapangan sepak bola di Brisbane, Australia, sungguh enak dipandang. Tiga juta orang yang sudah menyaksikan videonya di situs internet YouTube tak bisa menyangkal bila dibilang kemampuan dan bakatnya memang istimewa.

Pantaslah Manchester United tak mau menunggu lama-lama untuk segera mengontraknya. Juli lalu, Rhain Davis resmi masuk skuad usia di bawah 12 tahun di klub itu. Langkah United itu sebenarnya bukan hal baru.

Dua tahun lalu, juga muncul Jean Carlos Chera, 9 tahun, asal Brasil. Aksinya tak kalah dengan Davis. Gaya meliuknya cantik dan unik dibungkus dengan kostum yang kebesaran. Namun, kabarnya tak terdengar lagi. Anderson—panggilannya—rupanya disimpan rapat oleh klubnya, Parana Sports Athletics Association (ADAP). ”Semuanya kami rahasiakan,” kata Adilson Batista Prado, Presiden ADAP.

Klub-klub, terutama dari Inggris, memang sedang getol memburu pemain belia. Ini ada kaitannya dengan upaya penghematan dan juga persaingan masa depan. Kok bisa? Andai saja Manchester United mendapatkan Cristiano Ronaldo, 22 tahun, saat masih piyik seperti Davis itu, tentu tak perlu membayar Rp 225 miliar untuk Sporting Lisbon, tiga musim lalu.

Mereka pun seperti berlomba menyiapkan pasukan cadangan sejak dini. Dan Malaysia memberikan wadah berupa kompetisi U-19 antarklub papan atas dunia bertepatan dengan program Visit Malaysia 2007. Negara itu mengundang AC Milan, Inter Milan, Juventus, Manchester United, Chelsea, Arsenal, Barcelona, Ajax, serta Flamengo dan Boca Juniors dari Amerika Latin untuk memamerkan barisan muda mereka

Dalam Champions Youth Cup, yang berakhir Ahad kemarin, gocekan-gocekan indah diperlihatkan oleh para pemain muda di tim, yang biasa disebut reverse. Merekalah yang menjadi cadangan tim utama masing-masing klub itu. Penampilan mereka masih polos, penuh semangat, dan sportif, minus tricky yang biasa mewarnai permainan bintang senior.

Kejuaraan ini seperti mewakili ketatnya persaingan masa mendatang. Tim-tim saling bantai. PSV mengalahkan Chelsea, AC Milan menaklukkan Arsenal, Inter Milan menundukkan Manchester United, atau Boca Juniors, yang rontok lebih dulu. Setelah melewati penyisihan dan perempat final, tinggallah AC Milan, Juventus, Manchester, dan Flamengo di semifinal.

Para pemain yang tampil sungguh berwarna. Ada remaja asal Eropa, Amerika Latin, Afrika, sampai Asia. Di antara para pemain, muncul nama-nama beken seperti Kieran Lee yang sempat memperkuat tim senior Manchester dan Sam Hutchenson, yang musim lalu pernah dicoba di tim senior Chelsea.

Ada juga pemain ”darah biru” seperti Davide Ancelotti di AC Milan. Ia adalah anak Carlo Ancelotti, mantan pelatih tim Rossoneri itu. Atau, Daley Blind (Ajax) anak mantan pemain Belanda Danny Blind. Pierre Aubemayang (Milan) adik Willy Aubemayang, yang menjadi pemain muda di tim senior Milan. Juga, Nigel Hasselbaink (PSV Eindhoven), keponakan mantan penyerang tim Belanda dan Chelsea, Jimmy Hasselbaink.

Jika mereka masih harus membuktikan kemampuan agar bisa tampil di tim senior, sejumlah pemain muda lain bahkan sudah merasakan ganasnya persaingan di tim utama. Sebut saja Anderson dan Nani, yang baru dibeli Manchester United. Theo Walcott dan Nicklas Bendtner di Arsenal, atau Micah Richards dan Michael Johnson di Manchester City. Mereka semua belum lagi genap 20 tahun.

Pada generasi sebelumnya, ada David Beckham yang bermain di tim senior Manchester saat berumur 17 tahun pada 1992. Michael Owen juga masih 17 tahun kala bermain di Liverpool pada 1996. Setelah itu, Wayne Rooney menjadi meteor ketika bermain di Everton dalam usia 15 tahun, sebelum akhirnya ke Manchester pada 2004.

Namun, mengambil bocah, yang ajaib sekalipun, bukanlah jaminan mereka akan sukses di masa depan. Pengalaman sudah banyak. Sky Andrew, seorang agen, menyatakan sulit untuk mendapatkan gambaran sesungguhnya dari seorang bocah yang baru 9 tahun. ”Terlebih bila dia mendapatkan embel-embel yang akan menjadi beban buat dia,” katanya.

Satu contoh yang patut dicatat adalah perjalanan Sonny Pike. Saat berusia 7 tahun, belia Inggris ini menjadi pemberitaan besar di media pada tahun 2000. Saking hebatnya dia, Ajax pun merekrutnya masuk ke sekolah sepak bolanya. Tapi, akibat beban yang dipikulnya, bakatnya tidak berkembang. Bahkan pada 2003 ia meninggalkan sepak bola.

Walau begitu, pengalaman pahit seperti tak menjadi pertimbangan klub besar. Alasannya, ya itu tadi, membeli pemain yang sudah jadi sungguh mahal. Arsenal, misalnya, harus merogoh Rp 64 miliar untuk mendapatkan Denilson, 19 tahun, dari Sao Paulo, Brasil, kendati ia belum banyak pengalaman. Siapa tahu, dengan menyemai bibit akan tumbuh pemain hebat. Kalaulah kurang bagus, bisa dijual ke klub lain untuk sekadar balik modal.

Maka, selain mencari ke berbagai pelosok benua, klub-klub besar pun punya strategi lain. Ibarat menangkap ikan, mereka pun memasang bubu di kolam yang tenang. Bubu itu adalah sekolah sepak bola dengan cap nama klub mereka. Kini sekolah-sekolah itu sudah tersebar di berbagai negara. Satu yang masuk rencana adalah pendirian sekolah sepak bola Real Madrid di Bali.

Contoh sukses lulusan kelas jauh itu ada pada sosok Zhang Chiming, 18 tahun, murid akademi sepak bola milik FC Porto di Cina. Ia terpilih masuk reverse team dan dikirim ke kejuaraan di Malaysia itu. Porto memang terjungkal di babak awal, tapi ia seolah sudah menemukan jalan lempang menuju kesuksesan. ”Awalnya saya masuk dalam kelas percobaan. Begitu selesai, mereka menawari kontrak selama dua tahun,” kata Chiming.

Pemain akan diambil dari mana saja. Beberapa pemain yang berhasil dijaring oleh pemandu bakat klub, antara lain, Joe Cole, yang mulai kelihatan bersinar saat masih 12 tahun. Dan jangan lupa, David Beckham terendus kemampuannya dari sebuah turnamen juggling alias adu pintar mengolah bola saat masih 8 tahun. Robinho juga mulai ketahuan bakatnya pada usia 9 tahun saat legenda Brasil, Pele, memasukkannya ke Santos FC.

Selanjutnya giliran akademi alias sekolah sepak bola masing-masing klub untuk memoles anak-anak berbakat itu. Sekitar 15 tahun silam, dari sekolahnya, Manchester menelurkan Beckham, Ryan Giggs, Paul Scholes, Nicky Butt, dan Neville Bersaudara: Phillip dan Garry. Mereka dikenal dengan nama Class of 92.

Arsenal melahirkan Bendtner, yang musim ini mengawali debut di Liga Primer. Hasil gemilang juga dipetik Manchester City. Beberapa pemainnya adalah binaan sendiri, seperti Johnson dan Richards. Ada juga Ishmael Miller dan Shaun Wright-Phillips, yang kemudian bergabung dengan Chelsea dua musim silam.

Jangan kaget kalau sekolah-sekolah itu juga bisa menghasilkan duit. Klub-klub itu makin tak sungkan membajak pemain dari sekolah klub pesaingnya. Manajer akademi Manchester City, Jim Cassell, mengatakan, saat ini, paling tidak dari pembibitan pemain itu, klubnya sudah mendapatkan Rp 470 miliar melalui transfer pemain.

Untuk urusan ini, harga tak lagi masuk hitungan. Para agen bak kucing garong yang siap menerkam apa saja yang ada di depan matanya. Tak ada lagi bedanya antara pemain junior dan pemain yang sudah jadi. Lagi-lagi, ini urusan duit.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus