Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIEM Swie King mulai memukau lagi. Tak ada pemain di pelatnas
kini mampu merepotkannya. Malah tidak jarang kawannya berlatih
diberi voor sampai beberapa angka supaya permainan jadi
berimbang. " Kalau tidak begitu, ia bisa menurun lagi," kata
Kepala Biro Pelatnas PBSI, Willy sudiman.
Dalam berlatih, jika bisa meraih angka yang ditetapkan, ia
mendapat insentif tertentu (antara lain tiket buat menonton
bioskop) dari Eerry Sonneville. Di luar latihan, King
berkonsultasi dengan psikolog Dahlan dari Universitas Indonesia.
Ini dilakukannya tiap Sabtu. Semula dirinya susah tidur.
"Sekarang ini saya sudah siap secara fisik maupun menral untuk
bertanding," ujar King. Tampak ia akan menebus kekalahannya
melawan Han Jian dalam dwilomba Indonesia-RRC di Singapura
(Februari) dan Prakash Padukone pada turnamen All England di
London (Maret).
Posisi Sulit
Lius Pongoh, pemain Piala Thomas 1979, juga memperlihatkan
kemajuan pesat dalam soal teknis. Sekarang ia mantap dalam
memotong pengembalian bola lawan dengan smash mematikan.
Permainan di depan jaring maupun penempatan bolanya di pojok
mulai akurat. "Melihat Lius sekarang, saya yakin ia bisa
mencegat (Morten) Frost Hansen," komentar Christian Hadinata.
Hansen dari Denmark adalah pemain tunggal kaliber dunia.
Hendra Kartanegara (Tan Joe Hok) membenahi kelemahan Lius.
Misalnya, hampir tiap malam Lius digenjotnya untuk melakukan
pukulan-pukulan. Tugas Lius cuma mengembalikan bola yang
ditempatkan oleh Bobby Ertanto, kawan berlatihnya yang sengaja
diatur pada posisi sesulit mungkin. Pengembalian terbaiknya
untuk 33 pukulan, sementara ini tercatat 49 detik dengan 1 bola
mati. Hendra dan Ferry adalah bekas pemain Piala Thomas.
Keduanya diminta PBSI untuk memperbaiki segi teknis para pemain
menjelang Kejuaraan Dunia ke-2, yang akan berlangsung di Jakarta
26-31 Mei.
Perubahan yang terjadi di pelatnas tidak hanya pada soal
pembenahan teknis. Juga suasana bertukar. Dulu dipusatkan di
gedung C, latihan kini dipindahkan ke Istora -- keduanya masih
di Senayan, Jakarta. Para pemain dibikin terbiasa dengan ruang
yang akan menjadi arena pertandingan sesungguhnya.
Di mata Verawaty Wiharyo, selain perubahan tempat, kehadiran
tokoh beken seperti Hendra dan Ferry juga mempengaruhi pemain.
"Sekarang kami jadi lebih bersemangat, " katanya. Suasana
pelatnas seperti sekarang pernah rerjadi menjelang perebutan
Piala Thomas 1970 di Kuala Lumpur.
Bagaimana dengan kemajuan pemain putri? Ivanna yang diandalkan
tampak lebih lincah dan cekatan mencegat bola. Bahkan ketika
menghadapi pemain putra, ia tak mengecewakan. Mohammad Jundi,
bekas pemain nasional, misalnya, sering keteteran dibuat Ivanna.
Verawaty, baik bermain tunggal maupun berpasangan dengan Imelda
Wiguno, pun makin trampil. Kalau dulu sering terbawa arus
permainan lawan, ia kini mulai bisa memegang kendali. "Dalam
persiapan ini kami menginstruksikan para pemain jika lawan bisa
diberi nol, harus diberi nol," kata Ferry.
Waktu yang masih tersisa di pelatnas tampaknya akan
dimanfaatkan terus untuk memoles teknik. Penekanan terutama
diberikan pada kontrol, penguasaan bola, akurasi, dan lentu saja
stamina. "Dulu yang begini ini jarang dilakukan," kara Willy.
"Itulah sebabnya pemain kita dalam bertanding sering kehbakan."
Di sektor fisik, seperti dikatakan pelatih Tahir Jide, perubahan
mendasar tak banyak. "Kalaupun ada perbedaan, mungkin cuma dari
dosisnya," ujar Tahir. "Dulu dosis latihan fisik memang lebih.
Tapi itu sekarang disesuaikan dengan program latihan teknik."
Jenis latihan fisik yang diberikannya tak berbeda dengan
sebelumnya. Ada variasi latihan. Dulu main kasti, sekarang main
sepakbola (lihat Pokok & Tokoh).
Terjunnya Ferry dkk ke pelarnas, diakui Tahir, juga membedakan
pola latihan dulu dan kini. "Risikonya, tentu ada," kata Tahir.
"Kami harus mengikuti perkembangan setiap anak dan mengukur
latihan mana (fisik atau teknik) yang harus diperbesar
porsinya."
Kondisi fisik pemain (10 putra dan 7 putri), menurut Tahir,
tidak mengkhawatirkan. Termasuk Rudy Hartono, 30 tahun. "Dari
evaluasi umum yang saya lakukan para pemain akan mencapai
puncaknya dalam kejuaraan nanti," ucap Tahir.
Indonesia berharap bisa memboyong kelima gelar yang
diperebutkan. Bagi Prakash, juara All England 1980, dipersiapkan
PBSI 2 pemain (Rudy dan Hadiyanto) untuk mencegatnya. "Saya
berharap bisa mengalahkannya lagi," kata Hadiyanto. Skor dari 3
pertandingan internasional Hadiyanto melawan Prakash adalah 1-2.
Di bagian putri, ganjalan bagi Ivanna dkk mungkin cuma dari
pemain Jepang seperti Yoshiko Yonekura. Ia dalam Kejuaraan
Terbuka di Swedia dan Denmark (Marcr) mengalahkan Ivanna.
Kampiun All England 1980, Lene Koppen dari Denmark masih
tangguh, tapi cuaca di Jakarta tak begitu bersahabat dengannya.
Lima gelar buat Indonesia? Itu sekarang bukan mustahil, kendati
dalam Kejuaraan Dunia 1977 di Malmoe, Swedia, hanya pasangan
Tjuntjun/Johan Wahyudi yang memboyong gelar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo