Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASIH bersisa 10 bulan masa kepengurusan Ali Sadikin yang
dilanjutkan oleh Presidium Suparjo Pontjowinoto Syarnubi Said
dan Hans Pandelaki di PSSI. Apakah sisa persoalan yang
dihadapinya? Pertanyaan ini dibahas oleh organisasi sepak bola
nasional itu dalam SPP (Sidang Pengurus Paripurna) pekan lalu .
Galatama ternyata banyak menyita waktu sidang itu yang
berlangsung di Jakarta. Sistem pembinaan pemain 'bayaran' ini
tadinya dipercepat oleh kasus suap di Kualalumpur (Juli 1978).
Namun Galatama belum menjamin bahwa nemain akan anti-suap. Kasus
Perkesa 78 Warna Agung kemudia menyusul, klub perserikatan
Persipura Jayapura dan PSMS Medan, membuktikan hal itu. Karena
itu pula PSSI mengusulkan RUU Suap yang belum lama ini disahkan
DPR.
Koordinasi PSSI terhadap perserikatan dan Galatama
dimantapkan oleh adanya SPP ini. Persoalannya ialah pertengahan
tahun ini sudah dirumuskan peraturan tentang transfer pemain
oleh PSSI dan Galatama, tapi "pencurian" pemain masih terjadi
juga. Misalnya, Komda PSSI Irja, Brigjen C.I. Santosa,
melontarkan keluhan tentang Metu Duaramuri. Persipura semula
mengirim pemain itu ke PSSI untuk memenuhi panggilan masuk tim
Utama. Kemudian namanya diumumkan di koran bahwa dia bergabung
dengan satu klub Galatama (Warna Agung). "Sejauh mana tanggung
jawab PSSI atas pemain perserikatan yang dipanggil ke pusat?"
tanya Santosa.
Selain mengeluh, Komda PSSI Irja juga melemparkan pikiran
tentang calon ketua umum menjelang kongres September 1981. Saran
Santosa itu dituangkan akhirnya dalam salah satu keputusan SPP
ini. Yaitu standar calon ketua umum itu hendaknya: kepemimpinan
yang bersih, berwibawa, terbuka dan mau turun ke bawah (1). Ia
juga harus memiliki keahlian managerial (2), mempunyai motivasi
(3), berjiwa pejuang (4), punya hubungan baik ke segala arah
(5), dan menghayati aspirasi masyarakat/ khususnya pencinta
sepakbola maupun pemain, perserikatan dan klub-klub (6). Tidak
otoriter (7), fleksibel, mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan situasi dan kondisi, sanggup mengusahakan sumber
dana dan daya (8). Mampu melaksanakan komando pengendalian dan
mempengaruhi staf (9). Tegas, konsekuen dan bertanggung jawab
(10).
Ujian Doktoral
Siapa yang dicalonkannya? Santosa tidak menyebut suatu nama
pun.
Ketua Presidium, Suparjo Pontjowinoto, mengusulkan supaya
calon ketua .lmum pandai menyusun konsep. Tidak semua anggota
SPP mendukungnya. Piet A. Tallo SH, Komda PSSI NTT, misalnya,
mengatakan, "Itu berarti calon ketua umum diharuskan menyusun
diktat seperti menghadapi ujian doktoral atau karyawan di LIPI."
Dalam SPP ini, tampaknya anggota dari luar Jawa lebih banyak
berbicara. Berkata Komda PSSI DKI, Erwin Baharuddin: "Kami cuma
mendengar saja."
Azwar Anas dari Sum-Bar menghendaki supaya turnamen 6 Besar
dan 12 Besar diganti menjadi 16 Besar,'s sehingga lebih banyak
daerah berkesempatan menampilkan pemain ke tingkat nasional."
Dan itu diterima.
Finalis 16 Besar dari 27 Perserikatan (setelah Kal-Teng
dipisahkan dari KalTim dalam SPP ini) diduga akan menghasilkan
bibit tim nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo