Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sulit menemukan Desa Gelang di dalam peta. Tapi seorang Chrisjon mampu membuatnya terkenal. Desa yang terletak di Kecamatan Rakit, Banjarnegara, Jawa Tengah itu jadi pembicaraan orang tatkala dia merebut gelar juara dunia tinju kelas bulu versi Asosiasi Tinju Dunia (WBA). "Saya kira, seluruh warga desa ini bangga dengannya. Faktanya, dia me-mang punya prestasi," kata Kusnadi, tetangganya. Dalam usianya yang merambat tua, 60 tahun, ia bahkan tak malu-malu mengakui dirinya sebagai penggemar Chrisjon.
Bagi masyarakat setempat, Chrisjon adalah idola. Dia petinju Indonesia yang merebut gelar juara dunia setelah era Ellyas Pical dan Nico Thomas. Dia bahkan sudah mampu mempertahankan gelarnya dengan mengalahkan petinju Je-pang, Usamo Sato, 4 Juni lalu. Awal bulan depan, tepatnya 3 Desember, dia bakal melakukan pertarungan wajib (mandatory fight) menghadapi penantang utamanya, Derrick Gainer (Amerika Serikat) di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Akankah dia menang lagi? "Mudah-mudahan saja," ujar Chrisjon sambil tersenyum.
Ketika pertarungan itu berlangsung, bisalah dipastikan Gelang bakal sepi. Seluruh warganya akan terpaku di depan layar televisi, di rumah, di warung, atau di pos ronda. Tak ada yang mau ketinggalan menyaksikan penampilan pahlawan mereka di atas ring.
Chrisjon layaklah disebut juara sejati. Tak terhitung petinju yang terpaksa menyerah karena tak kuat menahan laju bogem mentahnya. Dari 34 lawan yang pernah menjajalnya, 29 di antaranya bergelimpangan di atas ring karena kalah knock out (KO) atau technical knock out (TKO).
Dengan reputasi seperti itu, Chrisjon tak pernah memunculkan sikap angkuh. Dia bergaul dengan orang kebanyakan. Petinju Sasana Bank Buana Semarang ini tetap ramah dengan para tetangganya di Desa Gelang. Sesekali, dia temani kawan-kawan seusianya nongkrong dan ngobrol.
Seorang ibu muda, Admi, 27 tahun, yang rumahnya hanya berjarak seratus meter dengan rumah Chrisjon, bertutur dirinya mengenal Chris dengan baik meski tidak terlalu dekat. "Dia selalu bertegur sapa dengan semua tetangga jika pulang ke sini. Hanya saja dia jarang pulang karena tinggal di Semarang sejak SMA," katanya. Chrisjon biasanya selalu pulang ke Gelang seusai bertarung. Tapi itu hanya sebentar. Beberapa jam di rumah, dia sudah harus kembali lagi ke Semarang. Meski sekarang sudah menjadi petinju terkenal, kepribadian Chris, menurut Admi, tetap seperti ketika belum menjadi petinju, sopan dan selalu bertegur sapa dengan orang dan tetangga yang bertemu dengannya.
Kesan yang sama diungkap Sapirin, 33 tahun, tetangga dekat Chrisjon. Sejak kecil, kata Sapirin, Chris memang telah menampakkan keseriusannya menjadi petinju. "Dia berbeda dengan anak-anak sebayanya. Tiap hari berlatih keras," katanya. Sapirin masih ingat, di usia remajanya dulu, setiap pagi Chris selalu lari mengitari lapangan bola yang berjarak sekitar 300 meter dari rumahnya. "Kalau lari keliling lapangan, bisa sampai lebih dari 50 kali sehari. Belum lagi sore harinya," kata dia. Bukan hanya di lapangan, Chris juga terbiasa berlari-lari di jalanan menanjak beberapa kilometer dari kampungnya. Di sana dia lari sambil mengangkat beban.
Chrisjon sebenarnya tak hanya ahli bertinju. Dia juga jagoan di cabang bela diri lainnya, wushu. Pemuda yang lahir dari rahim Warsiti, perempuan berusia 47 tahun itu, bahkan pernah masuk kontingen Indonesia di arena SEA Games. Sungguhpun begitu, dia tak pernah menggunakannya di luar jalur resmi. Di desanya, tak pernah dia terlibat perkelahian atau membuat masalah. "Dia jadi petinju karena cita-cita, bukan mbeling, nakal, atau suka berkelahi," kata Kusnadi.
Sementara Chrisjon punya keinginan besar jadi petinju, Muhammad Rachman Sawaludin, juara dunia lainnya yang dimiliki negeri ini, punya kehidupan yang berbeda. Terjunnya Rachman ke ring tinju tak lepas dari kebiasaannya ketika masih remaja. Bersama teman-temannya, dia suka keluyuran di Merauke, kota kelahirannya. Waktu itu, berkelahi sudah jadi santapannya sehari-hari. Itulah yang membentuk wataknya jadi keras. "Kehidupan malam kan keras. Makanya saya sering berantem ketika begadang," tutur juara dunia kelas terbang mini versi Federasi Tinju Internasional (IBF) ini. Rachman merebut gelar tersebut setelah menang angka atas petinju Kolombia, Daniel Reyes, di Sport Mall Kelapa Gading, Jakarta, pada 14 September lalu.
Menyalurkan hobi berkelahi di atas ring, Rachman sering berpindah-pindah sasana. Dia mengawalinya di Sasana Rajawali Merauke pada usia 13 tahun. Dikirim orang tuanya ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikan, Rachman justru asyik bertinju dan tak pernah menyentuh bangku kuliah. Dia bergabung di Sasana Pirih, pindah ke Sasana Masalindri, Sasana Hantika Solo, sampai kemudian mendapatkan tempat yang nyaman di Sasana Akas Probolinggo, Jawa Timur. "Saya lihat Sasana Akas memiliki banyak petinju yang bagus. Jadi, saya terima saja tawaran itu," katanya. Padahal, ketika itu Rachman hanya ditawari jadi rekan latihan bagi Anis Roga. Tangan dingin pelatih M. Yunus yang kemudian mengantarnya ke tangga juara dunia.
Selain latihan intensif di bawah Yunus, Rachman punya resep khusus lain, terutama dalam menopang tenaganya. Dia suka mengkonsumsi madu Sumbawa. Sehari, dia kadang bisa menghabiskan sebotol madu berisikan setengah liter. "Tubuh saya terasa segar dan latihan pun terasa ringan," katanya memberi alasan.
Kemenangan Rachman atas Reyes menjadi istimewa setelah sebuah media Jawa Timur menjuluki pertarungan itu dengan titel duel lelananging jagat (laga penakluk hati wanita). Kedua petinju merupakan penganut poligami. Mereka sama-sama memiliki istri lebih dari satu dan semuanya hingga kini masih terjalin dengan baik. Reyes saat ini memiliki tiga istri dengan dikaruniai tujuh anak. Sedangkan Rachman memiliki dua istri dengan dua anak.
Nuning Purwiyati, 30 tahun, adalah wanita pertama yang dinikahi Rachman pada 12 Mei 1996 lalu. Kini, dia tinggal di Jombang bersama dua anaknya, Rangga Ardian (7 tahun) dan Puri Arastasia (6 tahun). Istri kedua Rachman adalah Cut Asna Aulia, 29 tahun, tinggal bersama dirinya di Probolinggo. Sejak dinikahi Rachman pada 2001, Cut Asna selalu mendampinginya latihan di Sasana Akas. "Bagi saya, seorang petinju memiliki istri banyak tidak ada masalah. Yang penting kita bertanggung jawab," katanya. Rachman harus pintar membagi waktu. Lima hari dalam seminggu dia ada di Probolinggo, dua hari lainnya diam di Jombang.
Zulfirman, Jojo Raharjo, Ari Aji H.S. (Banjarnegara)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo