Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NEW Delhi, calon tuan rumah Asian Games 1982, mencoret
bulutangkis. Ini suatu tragedi," komentar Azis Bokhari Bab,
sekretaris Persatuan Bulutangkis Malaysia. Tapi "itu hak tuan
rumah," keluh Soeworo, sekretaris Komite Olympiade Indonesia.
Adalah ndonesia yang memasukkan bulutangkis dalam AG 1962 di
Jakarta. Dari cabang ini pula Indonesia selalu menaruh harapan
untuk memperoleh medali emas AG, sebagaimana halnya di Bangkok
Desember lalu. Sikap India mencoretnya pada hakekatnya juga
tragedi bagi Indonesia, yang sedang unggul di dunia bulutangkis.
Apa reaksi PBSI ? "Kita malah jadi leluasa," komentar Ketua Umum
Sudirman. Maksudnya, PBSI merasa lebih bebas menentukan
partisipasinya dalam "Bulutangkis Terbuka" -- turnamen ala tenis
profesional yang memperebutkan hadiah. IBF di Inggeris September
nanti menyelengarakan turnamen itu dengan hadiah total
sebesar ? 20.000 (sekitar Rp 27 juta). "Kami telah menentukan
sikap untuk mengambil bagian," kata Sudirman pada TEMPO. "PBSI
kini tidak bisa buta dan tuli terhadap peranan uang dalam
olahraga."
Namun dalam memilih status -- "pemain amatir" atau "pemain
berlisensi".
PBSI dalam rapatnya pekan lalu memilih yang amatir. Status
"pemain berlisensi" adalah untuk mereka yang bertanding untuk
memperoleh hadiah uang. Mereka tidak kehilangan haknya untuk
bertanding dalam turnamen Piala Thomas, Piala Uber maupun
turnamen lainnya yang diselenggarakan IBF, tapi tidak boleh
mengambil bagian dalam multi-event games seperti dalam Olympic
Games, Asian Games dan sebagainya.
Lalu bagaimana PBSI memilih status "amatir" bagi Lim Swie King
dan Rudy Hartono yang kabarnya akan diikutsertakan ke
"Bulutangkis Terbuka" September nanti? "Bisa diatur," kata
Sudirman. "Hadiah -- jika menang -- diterima PBSI. Jadi, lewat
organisasi. Selanjutnya antara PBSI dan pemain yang bersangkutan
dapat diatur secara intern. Dengan demikian status pemain itu
dapat dipertahankan."
Dapatkah sikap ganda itu dibenarkan peraturan "Bulutangkis
Terbuka"? Tak mudah menjawabnya, karena peraturan teknisnya baru
akan diperbincangkan para anggota IBF bulan Mei, bertepatan
dengan babak final perebutan Piala Thomas di Jakarta.
Sikap ganda PBSI dapat dimengerti. PBSI telah dan masih bersama
IBF gigih memperjoangkan bulutangkis supaya dipertandingkan di
Olympic Games. Tahun 1977, bulutangkis pada prinsipnya diterima
sebagai olahraga olympik (olympic sport), namun sampai saat ini
masih belum mendapat dukungan tuan rumah (penyelenggara). Dan di
Olympiade Moskow bulutangkis pasti tidak akan masuk acara.
Dengan calon tuan rumah Olympiade 1984 di Los Angeles, soal
bulutangkis belum disinggung untuk masuk acara pertandingannya.
PBSI rupanya masih menaruh harapan.
Tapi tipis kemungkinannya bagi bulutangkis akan diterima oleh
penyelenggara di Los Angeles itu. Pertama, karena Asian Games
sendiri toh sudah mulai mencoretnya untuk festival olahraga
1982. Kedua, di Amerika sendiri bulutangkis belum populer.
Ketiga, tuan rumah Olympiade mungkin tidak tertarik terutama
bila atlit mereka sendiri belum menonjol dalam bulutangkis.
Justru pertimbangan ketiga itu pula yng mendorong India
mencoretnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo