Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERGOLAKAN di Cina dan peristiwa berdarah di Beijing sama sekali tak membekas di Istora Senayan. Pemain bulu tangkis Cina tetap dalam konsentrasi penuh menunjukkan keperkasaannya. Dalam final Kejuaraan Dunia Bulu tangkis VI, Ahad lalu di Istora Senayan, Jakarta, Cina menempatkan empat finalis dari lima partai yang dipertandingkan -- itu pun dua partai ALL Chinese Final. Hebatnya, keempat gelar itu disapu bersih. Sukses Cina di nomor perorangan ini memang sudah diduga sebelumnya. Pada kejuaraan yang paling bergengsi di dunia ini mereka menerjunkan 30 andalannya, separuh putra dan separuh putri. Di bagian putra ada Yang Yang (juara dunia 198), Jianhua (juara dunia 1985) dan Xiong Guobao untuk tunggal. Lalu ganda terkuat dunia Li Yongbo/Tian Bingyi serta Chen Kang/Chen Hongyong. Sedangkan di hagian putri, Cina menurunkan pemain topnya seperti Li Lingwei (juara dunia 1983), Han Aiping (juara dunia 1985 dan 1987) ganda putri Lin Ying/Guan Weizhen (juara dunia 1987), dan pemain mudanya, Tan Jiuhong dan Huang Hua. Ini merupakan rombongan yang terbesar dalam sejarah pengiriman pemain Cina ke luar negerinya. "Target kami adalah memboyong Piala Sudirman dan mempertahankan gelar yang kami rebut di Beijing dua tahun silam," ujar Hou Jiachang, Pelatih tim putra Cina menjelang kejuaraan dimulai. Pada kejuaraan serupa di Beiing 1987, Cina menyapu bersih lima gelar. Target itu memang meleset, sedikit. Piala Sudirman, yang baru pertama kali diperebutkan dan karenanya "kurang bergengsi" bagi Cina, lepas. Di kejuaraan perorangan, satu partai yakni ganda campuran, Cina tak menempatkan finalis. Juaranya pemain Korea Selatan, Park Joo Bong/Chung Myung Hee, setelah di final mengalahkan pasangan Eddy Hartono/Verawaty dengan 15-9 dan 15-9. Puncak keperkasaan Cina ada pada Yang Yang. Dialah pemain putra pertama yang berhasil menggondol gelar juara dunia dua kali berturut-turut. Itu setelah Yang Yang, 25 tahun, berjuang sekitar 55 menit untuk mengandaskan pemain harapan tuan rumah, Ardy Bernadus Wiranata, 19 tahun, dengan rubber set 15-10, 2-15, dan 15-5. "Suatu pertarungan yang sangat menguras tenaga. Untungnya, fisik Ardy cepat habis, kalau tidak saya bisa kalah," kata Yang Yang. Pada semifinal Yang Yang menundukkan pemain nomor satu Indonesia, Icuk Sugiarto, juga dengan rubber set, 13-15, 15-7, dan 15-9. Di semifinal ini jugalah Ardy bermain habis-habisan tiga set melawan Eddy Kurniawan 14-18, 15-10, dan 15-13, dalam waktu sekitar 93 menit. Seusai pertandingan Ardy berjalan agak pincang karena otot pahanya tertarik. Pertarungan antara Eddy dan Ardy yang sama-sama tak mau mengalah inilah yang ramai diperbincangkan, termasuk di kalangan pelatih, karena pemenangnya harus menghadapi Yang Yang. "Untuk melawan Yang Yang diperlukan fisik yang prima. Kalau tidak, jangan harap bisa mengalahkannya," kata Tahir Djide, Ketua Bidang Pembinaan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Tahir tak menyebutkan siapa yang sepantasnya "diberi kesempatan" ke final. Kekhawatiran Tahir Djide beralasan. Terbukti Ardy dengan stamina yang sudah dikuras sebelumnya gagal mengalahkan Yang Yang. Padahal, di set pertama ia menampilkan permainan cepat dengan kombinasi lob dan dropshot, dan memimpin 7-0, bahkan 10-7. Namun, keunggulan Ardy ini tidak bisa dipertahankan setelah ia mengubah permainan dengan mengajak main net. Kondisi fisiknya sudah menurun. Yang Yang pun menyusul dan menang. Pada set kedua Ardy kembali bermain cepat dengan bola-bola panjang dan tinggi yang cukup menguras tenaga. Rupanya, Yang Yang sengaja menyimpan tenaga dan membiarkan lawannya menguras tenaga. Set itu dilepas Yang Yang. Pada set ketiga yang menentukan, Yang Yang tampak segar sementara Ardy seperti tak cukup istirahat lima menit. Yang Yang pun menutup set ini dengan mudah, 15-5. Bagi Leo Ch. Wiranata, manajer tim Indonesia yang juga ayah kandung Ardy, pertarungan anaknya melawan Eddy di semifinal ada pengaruhnya ketika menghadapi Yang Yang. Tapi itu bukan alasan utama kekalahan. "Buktinya, Ardy mampu menahan Yang Yang dengan bermain tiga set," katanya. Tiga gelar lain yang diperoleh Cina didapat dari tunggal putri Li Lingwei yang menundukkan rekannya, Huang Hua, dengan 11-6 dan 12-9. Kemudian pasangan Li Yongbo/Tian Bingyi mengulang sukses mereka di kejuaraan serupa dua tahun silam dengan mengalahkan temannya sendiri, Chen ang/Chen Hongyong, 15-3 dan 15-12. Lalu ganda putrinya, Lin Ying/Guan Weizhen, mengalahkan ganda putri Korea Selatan dengan mudah, 15-1 dan 15-7. Indonesia yang menurunkan 27 pemain -- 12 di antaranya putri -- hanya menempatkan tiga pemainnya di dua nomor final, tunggal putra dan ganda campuran. Jika dibandingkan kejuaraan serupa di Calgary, Kanada,(1985) dan Beijing (1987), ada peningkatan. Di Calgary hanya pasangan Liem Swie King/Kartono yang masuk semifinal. Sedangkan Icuk, juara dunia di Denmark (1983), dikalahkan Yang Yang. Di Beijing bahkan hanya Icuk satu-satunya pemain yang berhasil masuk babak semifinal. Tapi ada kilah lain. "Target kita yang utama adalah merebut Piala Sudirman, sedangkan di nomor perorangan hanya ganda putra yang diharapkan bisa merebut gelar," ujar Syamsul Alam, project officer tim bulu tangkis Indonesia ke Olimpiade Barcelona, Spanyol, tahun 1992. Fisik pemain memang tidak mendukung untuk bermain terus-menerus selama hampir dua Minggu.Rudy Novrianto dan Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo