PELATNAS untuk merebut Piala Thomas dari RRC dan Piala Uber
dari Jepang sudah dimulai 3 Oktober yang lalu. Bentuk latihan
barangkali tak berbeda. Namun, yang jelas, baru sekarang inilah
ada pemain yang menentukan siapa pelatihnya.
Pemain Indonesia pertama yang jadi kampiun All England, Tan Joe
Hok (sekarang Hendra Kartanegara), menjadi biji mata Liem Swie
King dan Hastomo Arbi. "Enak dilatih Oom Joe Hok. Latihannya
singkat tapi hasilnya banyak," kata Hastomo Arbi memuji.
Pengurus PBSI kelihatannya juga tidak ingin merusakkan "hubungan
batin" kedua pemain tadi dengan Joe Hok. Baik ketua umum, Ferry
Sonneville, maupun ketua bidang pembinaan PBSI, Rudy Hartono,
membiarkan pasangan itu saling menempel terus. "Mungkin dengan
begitu pemain mempunyai kemantapan dan kepercayaan dalam
berlatih sehingga kekurangan atau kelemahan mereka bisa
diatasi," ucap Rudy Hartono.
Hubungan Joc Hok dengan kedua pemain asal klub Jarum dari Kudus
itu mulai kental ketika mereka mempersiapkan diri mengikuti
Kejuaraan Malaysia Terbuka awal Agustus lalu. King sendiri tidak
jadi turut. Sedangkan Hastomo berhasil mencapai final. Dalam
Kejuaraan Indonesia Terbuka, akhir Agustus, berkat tangan bekas
pemain nasional yang bergerak dalam bisnis racun serangga itu,
King tampil sebagai juara, disusul Hastomo sebagai runner-up.
Banyak yang beranggapan, Joe Hok, 46 tahun, yang pernah melatih
di Meksiko dan Hong Kong awal 1970-an itu, memang punya hoki.
Selain ia sukses melatih King dan Hastomo, orang belum lupa
peranannya ketika aktif dalam tim pelatih regu Indonesia ke
Kejuaraan Dunia II yang berlangsung di Senayan, tahun 1980. Rudy
Hartono tampil sebagai juara. Dari lima nomor yang
dipertandingkan, hanya ganda putri yang tergelincir. Ketika
Piala Thomas direbut RRC dari lndonesia dalam pertandingan yang
berlangsung di London tahun lalu, dia sendiri tak ambil bagian.
Sebab, ada pertentangan pendapat antara dia dan pengurus PBSI.
Untuk merebut Piala Thomas dan Uber yang menjadi lambang
supremasi bulu tangkis putra dan putri, yang akan berlangsung di
Kuala Lumpur, Mei 1984, PBSI telah menetapkan Tan Joe Hok, Ade
Chandra, dan M. Ridwan sebagai pelatih untuk tim Piala Thomas.
Sedangkan Tahir Djide, Minarni, dan Imelda Wiguna untuk Piala
Uber. Pelatnas yang berlangsung di Jakarta dan memakan waktu 7
bulan itu diperkirakan menelan Rp 16 juta perbulan.
Dipisahkannya Tahir Djide dan Tan Joe Hok kelihatannya untuk
menghindari pertarungan pikiran mengenal sistem latihan yang
terdapat antara keduanya.
Begitu seorang pemain 'ditonton, orang tidak bisa melihat
perbandingan antara Tahir Djide dan Tan Joe Hok. Tetapi, di
belakang layar, memang terlihat perbedaan, baik pendekatan
maupun praktek melatih. Tahir Djide mendasarkan latihan pada
anggapan bahwa fisik seorang pemain harus ditingkatkan lebih
dulu. Kalau fisiknya sudah mantap, baru dilatih teknik. Karena
itu, dia memberikan beban latihan fisik yang berat di luar
lapangan bulu tangkis Joe Hok sendiri tidak meremehkan daya
tahan fisik pemain. Tetapi dia beranggapan, kalau itu memang
diperlukan, cukup dicari di lapangan bulu tangkis melalui
permainan.
"Prinsip saya dalam melatih, melihat bulu tangkis sebagai satu
kesatuan yang utuh. Bukan bagian per bagian," ujarnya. Yang
tampaknya paling menonjol pada sistem Joe Hok ini untuk mencapai
stamina adalah bentuk latihan seri pukulan 12 shuttle-cock. Bola
dipukul dengan jarak waktu yang sangat dekat, lantas sang
pelatih mengukur denyut nadi si pemain, untuk mengetahui jumlah
denyutannya. Kemudian Joe Hok mencatat berapa lama si pemain
memerlukan waktu untuk kembali pada kondisi sebelum di-drill.
Siapa pun tahu, dengan dua sistem itu Indonesia pernah membubung
dalam berbagai kejuaraan sehingga sulit menemukan kata pasti
mana yang paling manjur. "Saya tidak bisa mengatakan siapa yang
terbaik. Keduanya berjasa bagi peningkatan prestasi bulu tangkis
kita," ucap Rudy Hartono, orang yang saban hari berdoa agar
tidak timbul pertikaian antarpelatih selama pelatnas Thomas dan
Uber yang kebetulan bersamaan waktu.
Kerukunan di antara pelatih ini pula yang ditekankan oleh bekas
pemain nasional, Olich Solihin, 58 tahun, yang duduk dalam tim
penilaian pelatnas sekarang ini. "Jangan berbeda pendapat
terus," seru Olich. Dia sendiri katanya siap membantu pelatnas
sekalipun Korea Selatan dan Brunei sudah menawarinya untuk
menjadi pelatih di sana.
Dalam dua kutub sistem latihan (Djide dan Joe Hok) kelihatannya
memang hanya King dan Hastomo yang secara nyata memilih Joe Hok.
Para pemain lain lebih bersikap menerima. "Siapa saja pelatihnya
cocok saja buat saya. Sebab, saya menyadari bahwa Pak Tahir
tidak akan sesuai bia berkumpul dengan Tan Joe Hok dalam
menangani pemain," ucap juara dunia, Icuk Sugiarto, yang baru
meneken kontrak Rp 65 juta dengan perusahaan alat olah raga
Yonex.
Tan Joe Hok, yang sudah sejak lama menangani pemain-pemain
Jarum, tampaknya melangkah masuk pelatnas tanpa banyak
perhitungan. Sebab, dari 12 pemain yang masuk pelatnas, delapan
pemain (Liem Swie King, Hastomo Arbi, Christian Hadinata, Hafid
Yusuf, Kartono, Heryanto, Hadibowo, dan Bobby Ertanto) berasal
dari Jarum.
Sementara itu, Djide - yang punya andil dalam membawa regu putri
Indonesta untuk pertama kali merebut Piala Uber tahun 1975 -
tampak ogah-ogahan memenuhi panggilan. Dia tidak muncul dalam
upacara 3 oktober yang lalu.
"Saya lebih senang dan mengharapkan PBSI sudah punya pilihan
pelatih lain untuk menangani latihan fisik untuk tim Uber dan
Thomas Cup," katanya ketika ditemui di Bandung pekan lalu. Ia
menyatakan, berat meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen di
IKIP Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini