Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di lobi Hotel Marriott, Swansea, seorang laki-laki mendatangi Kasper Schmeichel. Tangannya memegang sebuah buku perjalanan kariernya dan meminta kiper Leicester itu untuk memberi tanda tangan. Kasper, tentu senang. Tangannya pun menggoreskan coretan nama di buku itu.
Si pria itu bungah. Dia pun berucap. "Kamu bermain dengan baik," kata dia. Kasper membalasnya dengan senyum. Namun, sedetik kemudian, gurat senang di bibir Kasper lenyap. Sebaris kalimat dari mulut si pria itu adalah sebabnya. "Tapi, kamu tidak akan bisa sehebat ayah kamu."
Kasper pun meminta izin untuk pergi. Tapi si pria itu tetap ngeyel. Dia mengungkapkan alasannya membandingkan dia dengan Peter Schmeichel-sang ayah, kiper legendaris Manchester United dan timnas Denmark. Pria itu tertawa meledek.
"Bung, apakah Anda tak pernah berpikir bahwa saya telah mendengarkan hal itu selama 15 tahun terakhir. Nah, silakan Anda tertawa. Maaf, saya harus pergi." Kasper pun berlalu.
Lebih dari separuh hidupnya, Kasper berada dalam keadaan yang tidak nyaman, yakni di bawah bayang-bayang sang ayah, Peter Schmeichel. Di mana pun, kapan pun, dia selalu dikenal sebagai anak dari Peter. Bukan Kasper.
"Saat saya masih kanak-kanak, ketika berlatih-saya mendengar beberapa orang anak di belakang gawang, membicarakan saya. 'Dia anaknya Peter Schmeichel'," kata dia.
Punya ayah nan hebat memang membanggakan. Tapi dibanding-bandingkan sungguh tak nyaman. Apalagi Peter telanjur hebat. Dia meraih treble bersama United pada 1999 dan membawa timnas Denmark menjadi juara Piala Eropa, tujuh tahun sebelumnya.
Derita ini juga sempat dialami Jordi Cruyff-anak dari Johan, maestro sepak bola Belanda yang berpulang beberapa pekan lalu. Jordi-yang sempat bermain di Manchester United-memang jauh kemampuannya dibandingkan dengan sang ayah.
Dia pun ogah selalu disebut anak Johan. Di punggungnya, dia memilih nama kecilnya: Jordi-bukan nama keluarga seperti sang ayah: Cruyff.
Pun dengan Kasper. Dia tak bisa lepas dari bayang-bayang Peter. Apalagi posisi yang dijalaninya pun sama, yakni penjaga gawang. Orang pun dengan mudah membuat membandingkan keduanya. Terlebih orang sudah kenal dia sejak kecil. Saat itu, dia sering dibawa Peter. Dia sering berfoto dengan sang ayah ketika Manchester United menjadi juara.
Komentar nyinyir tentu tidak bisa dihindarkan. Dibanding sang ayah yang memberi banyak piala untuk klubnya, Kasper baru punya dua piala. Itu pun kelasnya berbeda. Membawa Notts County menjadi juara League Two dan mempersembahkan juara untuk Leicester di divisi Championship.
Karier Kasper tak secemerlang bapaknya, meski sebenarnya dia punya jalan yang lebih sempurna. Pada 2005, saat berusia 19 tahun, dia dikontrak Manchester City-klub yang juga pernah dibela bapaknya.
Jalur cepat sebenarnya. Di sana dia mendapatkan kontrak bermain selama empat musim. Saat itu, media di Inggris pun memujinya. "Like father, like son," Begitu koran-koran di sana waktu itu menyebutnya.
Namun karier di sana cepat redup. Dia kemudian dipinjamkan ke berbagai klub. Perburuannya menjadi kiper nomor satu di sana hilang setelah kedatangan Joe Hart-yang hingga kini tetap menjadi pilihan utama. Dia pun berkelana ke berbagai klub. Saat itu dia dipinjamkan ke Cardiff City dan Coventry City.
Saat ditarik kembali, dia merasa sudah tak kerasan lagi berkostum Manchester City. Soal itu diungkap Peter saat menjadi komentator pertandingan sepak bola. "Anak saya sudah tidak ingin bersama City," kata dia.
Kalimat itulah yang kemudian membawa Kasper memulai sebuah perjalanan baru, yakni berlabuh di Notts County, Leeds United, dan akhirnya berlabuh di Leicester City. Semua klub itu bermain di papan bawah divisi Liga Inggris.
Jalan yang harus dilaluinya itu tak lepas dari peran Peter. Meski mengaku dia tidak menekan Kasper untuk jalan kariernya, Peter banyak melakukan campur tangan. Tak hanya jadi "juru bicara", tapi dia juga memompa semangat anaknya itu.
Kasper berkisah, seseorang melakukan hal serupa seperti yang terjadi di Swansea. "Ketika itu kami tengah makan malam, seseorang datang dan membanding-bandingkan aku dengannya," kata Kasper memulai cerita.
Tanpa banyak basa-basi, Peter-yang kini berusia 51 tahun-menatap tajam orang itu. "Silakan pergi. Anda datang hanya untuk meremehkan anak saya. Kalau Anda mau bicara dengan saya, bicara saja. Jangan datang untuk menertawakan dia. Saya senang bicara dengan orang yang tahu sopan santun," begitu Kasper menceritakan kembali peristiwa itu. Suasana jadi tak enak. Lelaki itu pun ngibrit.
Menurut Kasper, bukan sekali itu saja sang ayah melakukan hal itu. "Ayah saya selalu melindungi anak-anaknya. Dia selalu melindungi saya dan adik perempuan saya, sebisa mungkin yang dia lakukan."
Kasper tentu sangat beruntung memiliki ayah seperti itu. Bagi Kasper, sang ayah, meski terus membayangi langkahnya, adalah seorang teman, motivator, dan penjaga hidup dan kariernya. Mungkin itu sebabnya dia tetap memajang nama keluarganya di punggungnya. Satu yang berbeda dengan Jordi Cruyff.
Hampir dua windu Kasper menapaki pekerjaannya sebagai penjaga gawang. Namanya kini kembali diperbincangkan. Namun berbeda. Kini, dia dipuja-puja. Penampilan gemilangnya bersama Leicester City yang tak pernah diduga-duga pada musim ini adalah penyebabnya.
Hanya butuh sembilan poin lagi bagi pasukan Claudio Ranieri untuk mengukir sejarah baru di Liga Primer. Klub dengan biaya minim, tanpa bintang, bisa menjadi juara di era sepak bola yang makin bertabur uang.
Tertekankah dia sebagai orang yang menjaga pertahanan terakhir di klubnya, saat mereka mengejar juara? Tidak, ternyata. "Tekanan justru saya alami di musim lalu ketika kami harus lolos dari ancaman degradasi," kata dia. Kini, dia merasa enjoy bermain. Tak ada tekanan sama sekali. "Kami hanya harus bermain sebaik-baiknya."DAILYMAIL | BBC | MIRROR
Kasper Schmeichel
Klub:
Penampilan di musim 2015/2016
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo