Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KURUS, jangkung, dan murah senyum. Itulah sosok Rochmat Nugraha, pembalap tim nasional yang berlaga di Tour d'Indonesia. Sikapnya yang ramah bisa menipu para pesaingnya. Sebab, ia bisa begitu tangguh menggenjot sepeda di jalan raya dan sulit ditandingi lawan-lawannya. Terbukti, Rochmat menjuarai etape 9, etape datar sekaligus terakhir, yang berujung di Monumen Puputan, Denpasar, Bali, Rabu pekan lalu.
Ini sebuah kejutan karena Rochmat bukanlah sprinter sejati. Dalam tim, pemuda 27 tahun ini lebih sering bertugas sebagai tracker, pembalap yang kerap melepaskan diri dari rombongan untuk memecah konsentrasi lawan. Kendati begitu, ia mampu menaklukkan lintasan Banyuwangi-Denpasar sepanjang 135 kilometer dengan waktu tempuh 3 jam 26 menit 35 detik?kecepatan rata-rata sekitar 39 kilometer per jam. Dalam tur ini, total prestasi Rochmat pun lumayan bagus. Dia berada di urutan ketiga nomor sprint pada klasemen akhir.
Hanya, Rochmat tetap rendah hati. "Saya menang di etape terakhir karena para saingan berat tak terlalu ngotot. Mereka hanya main aman menjaga jarak," ujar orang Garut, Jawa Barat, ini.
Berlangsung selama 10 hari, Tour d'Indonesia dimulai di Jakarta dan berakhir di Denpasar dengan menempuh jarak 1.503 kilometer. Gelar juara perseorangan, yang mengumpulkan catatan waktu total terbaik, diraih oleh Nathan Dahlberg dari tim Greenfields Fresh Milk. Tim yang bermarkas di Belanda ini pula yang menjadi juara beregu.
Tak hanya gelar juara perseorangan dan beregu yang diperebutkan. Gelar raja tanjakan alias king of mountain dan juara sprint (lintasan datar) juga diperlombakan. Dari sembilan etape yang dilalui, hanya beberapa etape yang memiliki tanjakan dan lintasan sprint. Juara tanjakan dan sprint ditentukan dengan menghitung total catatan waktu pembalap di lintasan-lintasan khusus itu.
Indonesia masih beruntung karena memiliki Amin Suryana, yang berada di urutan kedua kategori perseorangan. Pada nomor tanjakan, pembalap asal Jawa Barat ini berada di urutan ketiga.
Yang menarik adalah kategori sprint. Tiga posisi teratas ditempati pembalap Indonesia dari tiga generasi yang berbeda. Pembalap kawakan Suwandra, 34 tahun, berada di peringkat pertama, disusul Reno Yudo Sansoko, 19 tahun (Kencana Bike Malang), dan kemudian Rochmat di urutan ketiga.
Suwandra, yang tergabung dalam tim nasional, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. "Bila tahun depan ada tur, saya akan berusaha tampil lagi," katanya. Total nilai sprint yang diraih Suwandra adalah 8. Angka ini didapat terutama dari etape 6 (Madiun-Surabaya). Reno dan Rochmat, yang mati-matian bertarung di etape 7 (Surabaya-Jember), hanya beroleh poin maksimal 7 dan 6. Jaket hijau sebagai simbol raja sprint pun berada di tubuh Suwandra dari etape 6 sampai finis terakhir di Denpasar.
Prestasi itu tidak terlalu mengejutkan karena dia memang dikenal sebagai pembalap andalan tim nasional. Dominasinya di jalur sprint membuat ia mengantongi hadiah Rp 14 juta. "Saya juga gembira dengan adanya generasi yang lebih muda. Mereka berbakat besar," kata pembalap asal Kalimantan Barat ini. Generasi muda yang dimaksud Suwandra tak lain dari Rochmat dan Reno.
Rochmat, yang mengantongi hadiah sekitar Rp 9,5 juta, sudah terbiasa bersepeda saat remaja. Itu karena ia menjadi loper koran ketika masih duduk di bangku SMA. Dengan sepeda, setiap hari ia mengantar koran ke sekitar 25 pelanggan di daerah Garut. Upahnya lumayan, Rp 400 ribu setiap bulan. "Sebagian duit yang saya kumpulkan saya belikan sebuah sepeda balap murah seharga Rp 600 ribu," ujar putra pasangan Utu Sadjidin-Ipah Saritah ini.
Berkat sepeda balapnya, ia menjadi juara MTB Open 1998 di Garut. Pengurus Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI) di Bogor lantas merekrutnya setahun kemudian. Prestasi Rochmat kian meroket setelah ia meraih medali emas dalam Pekan Olahraga Nasional 2000 di Surabaya pada nomor pursuit beregu. Setahun kemudian, Rochmat menjadi anggota tetap pemusatan latihan nasional Indonesia. Dari program Indonesia Bangkit, ia mendapat tunjangan Rp 2 juta per bulan.
Reno Yudo Sansoko? Dia pembalap muda yang amat potensial. Masih duduk di bangku kelas tiga SMAK 1 Malang, ia tak perlu menjadi loper koran untuk menjadi pembalap. "Tapi saya harus izin tak sekolah selama dua bulan untuk ikut tur ini," ujarnya.
Tour d'Indonesia adalah kejuaraan senior terpenting yang diikuti Reno, selain PON Palembang lalu. Untuk kategori junior, belasan gelar sudah ia raih. Arek Malang ini antara lain pernah memenangi nomor cross country di Kejuaraan Bumi Serpong Damai Tangerang 2000 dan Kejuaraan Nasional 2003 untuk nomor yang sama.
Dia mengenal balap sepeda ketika du-duk di sekolah dasar saat dibelikan ayahnya sebuah sepeda BMX. Reno mendapat bimbingan langsung dari dua kakaknya, Santia Tri Kusuma dan Priyo Susanto. Keduanya merupakan pembalap andalan Jawa Timur. Bahkan Santia terpilih menjadi wakil Indonesia di Olimpiade Athena lalu. Mereka pula yang mengawal Reno dari Jakarta sampai Denpasar.
Reno mengaku mendapat banyak pengalaman dari Tour d'Indonesia. Tekadnya untuk menjadi pembalap hebat pun kian bulat. "Saya ingin mengikuti jejak Tonton Susanto (pembalap andalan Indonesia yang absen dalam tur ini karena cedera) dan Suwandra...," katanya.
Andy Marhaendra
Hasil Tour d?Indonesia 2004
Perseorangan Nathan Dahlberg (Greenfields Fresh Milk) Amin Suryana (Sinar Sentosa Purwakarta) Wong Ngai Ching (Tim Hong Kong)
Tanjakan Yevgeniy Yakovlev (Polygon Sweet Nice) Ghader Mizbani (Giant Asia Racing) Amin Suryana (Sinar Sentosa Purwakarta)
Sprint Suwandra (Tim Indonesia) Reno Yudo Sansoko (Kencana Bike Malang) Rochmat Nugraha (Tim Indonesia)
Beregu Greenfields Fresh Milk (Belanda) Polygon Sweet Nice Pro Team (Surabaya) Pagcor Casino Pilipino (Filipina)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo