Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Musibah maut di gunung setan

Tim ekspedisi puncak tujuh benua (EPTB) UI kena musibah di Aconcagua, Argentina. Didiek Samsu, 30, tewas, sedang Norman Edwin, 37, belum ditemukan. tim Mapala UI kurang siap dalam peralatan.

4 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ACONCAGUA suka dijuluki puncak Gunung Setan. Alamnya sering tak bersahabat, badai salju dapat muncul berharihari. Suhu bisa jatuh sampai dengan minus 40 derajat Celcius. Tapi, nama itu sesungguhnya diambil dari bahasa lokal "KonKawa", yang artinya gunung bersalju. Ia pertama kali ditaklukkan oleh Tim Ekspedisi di bawah pimpinan Edward A. Fitzgerald pada tahun 1897. Pekan lalu, puncak setinggi 6.959 meter itu mengambil nyawa seorang pendaki gunung Mapala UI, Didiek Samsu, 30 tahun. Rekannya, yang lebih senior dan dianggap pendaki nomor wahid di Indonesia saat ini, Norman Edwin, 37 tahun, masih dicari. Norman dan Didiek memang bagian dari Tim Ekspedisi Puncak Tujuh Benua (EPTB) UI, yang sedang mencoba menaklukkan Aconcagua. Puncak di perbatasan CiliArgentina itu memang menantang. Norman pimpinan tim dan Didiek wakilnya. Anggotanya Rudy Nurcahyo, 24 tahun, Mohammad Fayez, 23 tahun, dan Dian Hapsari, 24 tahun -- cewek satusatunya dalam tim itu. Dari target tujuh puncak benua itu, bendera UI sudah dikibarkan di empat puncak: Carstensz Pyramid (4.884 meter) di Irian Jaya, McKinley (6.194 meter) di Alaska, AS, Kilimanjaro (5.894 meter) di Tanzania, Afrika, dan Elbrus (5.633 meter) di bekas negara Uni Soviet. Jadi, yang belum adalah Aconcagua, Puncak Vinson Massif (4.877 meter) di Kutub Selatan, dan Puncak Everest (8.848 meter) di Himalaya. Untuk mendaki Aconcagua disiapkan dana Rp 40 juta -- Rp 25 juta di antaranya "meminjam" dari Rektorat UI. Rombongan ini tiba di Santiago, Cili, 7 Februari lalu. Pada 12 Maret mereka berangkat ke Puente del Inca, desa kecil di kaki Aconcagua, dan menginap di sana semalam. Esoknya, mereka melanjutkan ke Punta de Vacas (tinggi 2.200 meter). Di Punta de Vacas, mereka menyewa dua ekor keledai untuk mengangkut perbekalan. Lalu, tim itu menuju ke Plaza Argentina, dataran karang bersalju di ketinggian 4.200 meter, dan akan membuat base camp (BC) di sana. Rute diambil melintasi batang Sungai Rio de Vacas, yang berkelok-kelok. Sewaktu melintas sungai itu, Dian terjatuh dan terseret arus. Sarjana Sastra Jerman UI yang baru saja lulus itu tertambat batu karang setelah terseret sekitar 100 meter. Tiga hari perjalanan, tim sampai di Plaza Argentina dan bertemu dengan dua ekor keledai pembawa beban. Lalu, mereka istirahat semalam. Esoknya, Minggu, 16 Februari, jalur pendakian Plaza Argentina Puncak Aconcagua dimulai. Jalur ini bukanlah jalur yang tersulit. Teknik pendakian memakai Himalayan Style, membagi rute dari tiga tahapan. Tahap pertama di ketinggian 4.850 meter dibuat kamp I, untuk gudang makanan. Setelah itu, sebagian anggota membuat kamp II pada ketinggian 5.900 meter. Setelah rampung, logistik pun dibawa ke kamp II. Berikutnya, membuat kamp III di lokasi 6.400 meter, dan mulus sehingga perbekalan dibawa ke sini. Senin, 24 Februari, tim beristirahat sehari di kamp III. Pendakian ditetapkan esok harinya. "Semua berharap cuaca hari itu baik agar memungkinkan pendakian," kata Fayez. Selasa pagi, Norman dan Didiek membuat jalan rintisan. Keduanya mampu mencapai titik 6.500 meter (Plaza Independencia). Dari sini, kata Norman, untuk mencapai puncak hanya dua jam pendakian. Namun, tiba-tiba cuaca memburuk. Keduanya pun buru-buru kembali ke kamp III. Selagi menanti hari baik itu, tim memutuskan menambah perbekalan. Jadi, harus ada yang mengambil makanan di kamp II. Tugas siapa? Terpilihlah Didiek dan Fayez. Risikonya, mereka dapat kehilangan kesempatan untuk mencapai puncak. Karena, jika cuaca baik, tim yang di kamp III dapat memutuskan naik. Maklum, cuaca sangat labil. Didiek dan Fayez pun menuruni bukit. Dataran salju dengan kemiringan 45 derajat pun ditempuh secara traversing (melipir). Karena, ada salju keras, tapi di bawahnya lembek. Walau sudah hatihati, toh, Fayez teperosok jatuh. "Persis di bibir jurang kaki kanan saya memblesek ke dalam salju. Tubuh saya tertahan," cerita Fayez. Jika melaju, tentu ia dapat remuk masuk ke jurang sedalam 4.000 meter. Tangan dan kaki kanan Fayez terkilir. Didiek buru-buru menolong. Ia buatkan lobang tangga-tangga dengan kapak esnya. Fayez pun dipapahnya. Karena kepayahan, ia ditempatkan di dekat karang agar terlindung badai. Setelah itu, barulah Didiek minta bantuan ke kamp III. Norman dan Rudy kemudian turun sambil berpesan, "Kalau tak kembali artinya langsung turun mencari pertolongan." Karena lama menunggu, Dian dan Didiek turun dari kamp III menuju Puente del Inca melalui jalur normal. Sampai di sana, ternyata sudah ada Norman, Didiek, dan Fayez -- yang tadinya saling mencari. Di sini ketahuan jari-jari tangan Rudy dan Norman kena frostbite (radang beku). "Betul-betul parah sampai menghitam," kata Fayez. Lima pendaki ini kemudian kembali ke Santiago. Di kota itulah, pada 5 Maret, Rudy dan Norman diamputasi. Satu ruas jari manis, tengah, telunjuk, dan kelingking kanan, serta satu ruas jari manis kiri milik Rudy dipotong. Norman kehilangan satu ruas jari tengah tangan kanannya. Rudy kabarnya sangat terpukul. Namun, Norman tidak. Ia tetap gembira. "Satu ruas jari tengah tidak ada artinya dibanding dengan nyawa yang telah terselamatkan," kata Norman seperti yang diceritakan Dian. Sementara Rudy dan Fayez harus opname, Norman membuat tulisan. Setelah itu, mereka sempat dijamu Dubes RI untuk Cili, Sukarno Hardjosudarno. Setelah sembuh, tim memutuskan: Dian dan Fayez pulang ke Jakarta. Norman dan Didiek bertekad kembali ke Aconcagua, dengan pertimbangan musim pendakian baru berakhir Maret. Selain itu, ketika di ketinggian 6.500 meter, kata Norman, puncak itu tinggal dua jam lagi didaki. Hari Rabu, 11 Maret, Norman dan Didiek sudah sampai di Puente del Inca. Izin dari Ranger di sana sudah diperoleh. "Artinya kan tak ada masalah. Baik kondisi Norman maupun Didiek sehat, dong. Kalau nggak sehat tentu tak boleh naik. Cuaca juga masih memungkinkan pendakian, masih onseason," kata Arianto, kini Ketua Panitia Penanganan Musibah Aconcagua. Apa yang terjadi kemudian pada Norman dan Didiek tak dapat lagi dipantau -- karena keduanya tak dapat bercerita. Namun, berdasar informasi yang dikumpulkan TEMPO, cerita selanjutnya adalah begini: Kamis, 21 Maret, pemilik keledai sewaan yang dibooking oleh Norman melapor ke pos patroli Ranger di Puente del Inca. Ia mengabarkan, mestinya Norman dan Didiek sudah berada di hut (pondok) terakhir antara 1820 Maret. Ternyata, hingga Kamis itu mereka belum muncul. Berdasarkan laporan itu, Ranger melapor ke KBRI di Santiago. Pihak Ranger bertambah yakin ada musibah, setelah esoknya tim pendaki dari Inggris dan Prancis melaporkan bahwa mereka bertemu dengan kedua pendaki dari Indonesia. Di ketinggian 6.400 meter itu, seseorang terlihat sakit pada tangannya (Norman) dan satu lagi kedinginan dan sakit mata (Didiek). Besar kemungkinan Didiek terkena snowblind, kebutaan temporer karena bias matahari yang mengenai mata, yang tak terlindungi kacamata gelap. Diduga kacamata Didiek rusak. Pencarian pun dilakukan. Senin, 23 Maret, Tim SAR Argentina menyusuri rute normal. Dari sini diperoleh informasi dari tim pendaki Prancis bahwa di ketinggian 6.400 meter mereka menemukan mayat pendaki Indonesia. Selain itu, ditemukan juga jejak pendaki lain mengarah ke Plaza Argentina -- jalur yang ada sungainya. Tapi, pencarian tak dapat dilanjutkan karena cuaca buruk. Tim SAR memutuskan kembali dan mengontak KBRI di Santiago. Tentu saja KBRI menjadi sibuk. Rudy yang sudah sembuh dikirim kembali ke Puente del Inca ditemani dua petugas KBRI untuk mengurus evakuasi jenazah. Ternyata sulit. Evakuasi jenazah Didiek ke Plaza de Mulos (4.200 meter) akan memerlukan waktu sekitar 10 hari. Semua rencana itu dapat berantakan kalau badai salju tetap terjadi. Mengapa Norman dan Didiek celaka? Berbagai analisa muncul. Harry Suliztiarso, ketua pelaksana harian Federasi Panjat Tebing Indonesia belum dapat memastikan sebab-sebabnya. "Kami memang masih memonitor terus," kata dia. Belum jelas juga, adakah Norman dan Didiek kena musibah saat turun atau mendaki. Tapi, agaknya, keduanya tak mengikatkan tali satu dengan lainnya. Tanpa tali itu, memang pendakian dapat cepat. Dan siapa tahu untuk menghindari badai agar dapat cepat berlindung. Pendaki mahir (sudah mendaki empat belas puncak di atas 8.000 meter) dari Tirol, Reinhold Messmer, misalnya, beranggapan speed is safety. Jadi, Norman dan Didiek memutuskan tanpa tali. Kemungkinan lain, ada serpihan salju beterbangan hingga tampak putih pekat dan menutupi pandangan. Jika itu yang terjadi, Norman dapat teperosok ke jurang. Yang disayangkan adalah terjadinya frostbite. Konon, Tim Mapala UI kurang siap dalam peralatan. "Kabarnya sarung tangan yang dipakai bolong sedikit dimakan serangga, tanpa disadari," ujar sumber TEMPO yang anggota Mapala UI. Don Hasman, pendaki yang cukup dekat dengan Norman, menduga Norman kena high altitude sickness. Di atas 5.000 meter udara sangat renggang, sekitar 35 persen. Jika di sini menyedot nafas sekali, di sana harus tiga kali untuk jumlah oksigen yang sama. "Tapi, kalau terlalu cepat bisa terjadi high altitude sickness," kata Don yang juga wartawan Mutiara itu. Nah, dalam beradaptasi itu, Norman agak payah. Soalnya, ia selalu ingin cepat sampai. "Ritmenya cepat dan ia tak sabaran," kata Don. Norman pernah kena high altitude sickness di Elbrus sampai tak sadarkan diri. Karena ngotot, akhirnya ia harus digotong. Oleh rekan-rekannya, Norman memang dianggap pendaki yang gemar bercanda dengan maut. Mungkin orang awam bertanya: apa sih yang dicari pendaki-pendaki ini? Norman sudah memberi jawaban dalam bukunya Mendaki Gunung. Ia mengutip ucapan pendaki gunung asal Inggris, George F. Mallory, yang menghilang di Puncak Everest: "Because it is there. Karena gunung ada di sana." Tentang kecelakaan, Norman pun menulis di bukunya itu, "Bukankah di jalanjalan raya banyak orang yang mati ditabrak mobil?" Widi Yarmanto, Ivan Haris, Sandra Hamid, dan Ida Farida

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus