Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEJUARAAN Atletik Asia ke-6 ditutup dengan cemoohan penonton di Stadion Madya, Senayan, kepada sekitar 77 atlet Indonesia. Muncul dalam barisan terakhir dalam defile yang diikuti hampir semua atlet dari 28 negara Asia, rombongan atlet Indonesia, yang mengenakan seragam merah-merah, apa boleh buat, harus menerima ejekan penonton, pada kejuaraan yang ditutup Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah, Minggu malam pekan lalu. Ejekan itu bisa dimengerti. Sebab, ikut di semua nomor perlombaan, sebanyak 41 nomor, tak satu pun atlet - sebagian bahkan sudah dilatih sekitar tiga bulan di AS itu - mampu merebut emas. Padahal, sebelumnya, M. Sarengat, ketua Bidang Pembinaan PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) berharap, "Setidak-tidaknya kita bisa meraih dua medali emas." Antara lain lewat atlet andalan Purnomo di nomor lari 100 dan 200 meter. Harapan Sarengat ternyata tak kesampaian. Di nomor 100 meter, Purnomo, yang dari babak penyisihan hingga semifinal terlihat begitu meyakinkan, harus menerima kekalahan. Di final, ia secara telak dipecundangi pelari yang baru muncul di gelanggang atletik Asia, Zheng Chen, 20, asal RRC. Siswa Sekolah Guru Pendidikan Jasmani asal Kota Hangzhou, Provinsi Che Chiang yang tingginya 180 cm dengan berat sekitar 72 kg itu tak hanya merebut medali emas yang amat diharapkan ribuan penonton Indonesia, tapi sekaligus menggeser posisi Purnomo sebagai pelari tercepat Asia, dengan merontokkan rekor lari nomor yang baru dijuarainya. Anak bungsu dari empat bersaudara ini berhasil mencetak rekor baru 10,28 detik. Yang berarti, 0,06 detik lebih cepat dari rekor Purnomo di Taipei, tahun lalu. Atau berarti juga pemecahan rekor Asia yang sudah bertahan selama 17 tahun, sejak diciptakan oleh pelari Jepang Hideo Iijima di Meksiko. Sukses yang dicapai Zheng Chen, yang baru serius berlatih lari pada usia 16 tahun, itu menyiratkan juga keberhasilan kontingen atletik RRC di kejuaraan atletik yang baru pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia itu. Datang dengan atlet 58 orang - yang terbanyak setelah tuan rumah Indonesia - mereka berhasil merebut 41 medali emas, 15 perak, dan 7 perunggu dari masing-masing 41 medali (emas, perak, dan perunggu). Dua tahun lalu di Kuwait, sebagai pengumpul medali terbanyak mereka baru merebut 16 medali emas, 6 perak, dan 2 perunggu. Selain Zheng Chen, mereka juga berhasil memecahkan sejumlah rekor Asia dan Kejuaraan Asia. Antara lain di nomor lompat jauh putri atas nama Huang Donghuo, yang mampu melompat sejauh 6,60 meter. Itu berarti memecahkan rekor Kejuaraan Asia, Sumie Awara dari Jepang (lompatannya, 6,42 m), dan rekor Asia, Xiao Wenfen dari RRC (lompatannya 6,57 m). Apa yang menyebabkan mereka selalu unggul di Asia? Wakil ketua tim RRC, Chang Shi Heng, 53, mengatakan, "Kami datang dengan atlet-atlet terbaik, yang memang sudah dipersiapkan dengan matang." Mereka itu, 15 di antaranya adalah pemegang rekor Asia, antara lain Zhu Jianhua, peloncat tinggi, pemegang rekor dunia - sayang, ia demam setiba di Indonesia dan tak ikut bertarung. Atletik sesungguhnya merupakan olah raga impor bagi negeri dengan penduduk sekitar 1 milyar jiwa itu. Dibawa oleh misionaris Amerika yang berkunjung ke negeri itu, sekitar seabad yang lalu, atletik baru awal tahun lima puluhan mulai ramai dimainkan rakyat Cina, terutama mereka yang bermukim di Putian di Provinsi Fujian. Dari kota inilah, atletik menjalar ke seluruh RRC. Dan kota ini pula, setelah Persatuan Atletik RRC (Zhong Guo Xuehui) berdiri pada 1954, kemudian dijadikan pusat kegiatan atletik oleh Kementerian Olah Raga dan Kebudayaan RRC, pada 1964. Perhatian terhadap atletik makin bertambah di masa berlakunya kebijaksanaan pintu terbuka Deng Xiaoping, awal 1979. Hingga saat ini, hampir semua kota besar di RRC memiliki stadion atletik. Di Beijing, misalnya, terdapat tiga stadion dengan lapangan setingkat Stadion Madya di Senayan. Di bawah RRC, India dengan perolehan 10 emas, 5 perak, dan 6 perunggu di Jakarta, tampil meyakinkan sebagai negara Asia kedua yang paling jago di dunia atletik sekarang. Padahal, pada kejuaraan Asia di Kuwait, kedudukannya masih nomor empat. Punya federasi atletik sejak 1924, lebih dulu sekitar tiga puluh tahun dari RRC, India memiliki institut olah raga dan pusat-pusat latihan atletik. Menurut Ken O Bossen, 54, pelatih kepala kontingen India, di negerinya kini terdapat empat kota yang jadi tempat penggodokan atlet atletik. Yaitu, di Patiala dan Punjab, untuk latihan pada nomor-nomor lapangan dan lempar, serta untuk pendidikan pelatih pemula. Sedangkan dua lagi: Bangalor, untuk spesialisasi latihan atlet-atlet pelari jarak pendek dan Calcutta, khusus untuk atlet lompat dan loncat serta atlet jarak menengah dan jauh. Hasil sistem pembinaan ini terbukti dengan munculnya PT Usha, yang mampu merebut empat emas sekaligus (lihat: Usha dan Kerala). Akan halnya tuan rumah yang hanya memperoleh dua perak dan dua perunggu di kejuaraan kali ini, hasil itu bisa dianggap sebagai pelajaran pahit. Memang dibandingkan hasil Kuwait, dua tahun lalu, satu perak dan satu perunggu, hasil kali ini boleh dianggap meningkat. Apalagi, ditambah terpilihnya Emma Tahapary, 25, sebagai salah satu pelari nomor 400 yang akan ikut dalam lomba estafet 4 x 100 meter di Kejuaraan Atletik Dunia di Canberra, pekan ini. Namun, jika melihat posisi di ASEAN saja Malaysia, lewat pelari 800 meter, B. Raj Kumar, bisa merebut medali emas dan memecahkan rekor Kejuaraan Asia, serta Filipina, melalui Isidro Del Prado, memecahkan rekor lari 400 meter Asia, PASI agaknya bisa pula menebak-nebak apakah bisa berbuat banyak di Sea Games, Bangkok, Desember mendatang. Marah Sakti Laporan Rudy Novrianto & Ahmed Soeriawidjaja (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo