Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPASANG kaki ramping Chris Jhon menari lincah di atas ring. Kepalan tangannya yang terbalut sarung tinju berkelebat-kelebat di udara. Sesekali ia merapatkan dua tangan ke wajahnya yang bersimbah peluh. Lalu, bergantian ia melancarkan pukulan kombinasi ke arah depan. Pukulan lurus dan ke arah atas (upper cut) menerjang udara kosong di depannya. Psst…!
Chris Jhon, 22 tahun, memang tidak sedang bertarung. Ia tengah melakukan shadow boxing, salah satu latihan dasar dalam olahraga tinju, di Sasana Bank Buana Indonesia, Kampung Lasipin, Semarang, Rabu pagi pekan silam. Latihan rutin itu dijalaninya selama kurang-lebih satu jam. Ia tampak serius. Hampir tak bersuara. Udara gerah Kota Semarang sepertinya tak membuatnya merasa letih.
Usai memukul udara kosong, latih tanding adalah menu latihan berikutnya. Kali ini ia bertarung dengan rekan satu sasana, selama 15 menit. Setelah puas, badannya berbalik ke arah sansak. Pak-pak-puk..., bertubi-tubi ia menghajar bantalan pukulan itu dari jarak dekat ataupun jauh. Si sansak warna putih bergoyang hebat, seolah hendak lepas dari tali penggantungnya. "Memukul sansak adalah rangkaian latihan terakhir untuk meningkatkan kekuatan pukulan," ujar Chris Jhon sambil berjalan menuju dispenser untuk menuang air putih.
Selain tempat berlatih, Sasana Bank Buana juga menjadi tempat tinggal bagi Chris Jhon. Ia merasa betah di sana. Hampir seluruh waktunya dihabiskan di tempat itu, dari bangun tidur pada subuh hingga berangkat ke peraduan malam harinya. Bukan apa-apa. Pelatih Sutan Rambing menerapkan disiplin ketat kepada para anak didiknya. Di sasana yang sebelumnya bernama Sasana Tugu Muda itu sekitar 25 petinju berlatih dan tinggal.
Petinju profesional kelahiran Banjarnegara itu kini sedang berlatih keras. Ia tak berpuas diri meski Sabtu dua pekan silam menjadi juara sementara (interim) kelas bulu versi Asosiasi Tinju Dunia (WBA). Ia menang angka atas petinju tangguh Kolombia, Oscar Leon, dalam pertarungan 12 ronde di Kuta, Bali.
Bagi petinju yang punya nama panjang Yohanes Christian Jhon itu, kemenangan di Kuta membuka pintu untuk merebut sabuk juara dunia WBA, yang kini disandang Derrick Gainer dari Amerika Serikat. Rencananya, dalam waktu dekat Gainer akan melakukan pertarungan penyatuan gelar melawan juara kelas bulu Federasi Tinju Internasional (IBF), Juan Manuel Marquez, dari Meksiko. Jika Gainer kalah, gelar WBA akan lowong. Sebagai juara sementara, Chris Jhon menjadi kandidat utama untuk merebut sabuk yang dilepaskan Gainer.
Jika Gainer batal bertarung dengan Marquez, ia harus melakukan pertarungan wajib melawan Chris Jhon. Menurut Sutan Rambing, Chris Jhon punya peluang sama besar untuk menang jika dipertemukan dengan Gainer. "Kelebihan Gainer jam terbang. Kalau teknik, sama saja. Gainer punya kelemahan pada pukulan jarak pendek," kata Sutan.
Prestasi Chris Jhon tentu sangat menggembirakan di tengah paceklik prestasi tinju Indonesia di lapak internasional. Sudah 14 tahun Indonesia tak punya juara dunia sejak Nico Thomas merajai kelas terbang mini IBF pada 1989. Nico melanjutkan tradisi emas yang diukir Ellyas Pical. Petinju asal Maluku ini berjaya di kelas bantam junior IBF pada 1985-1989.
Kini tak ada waktu untuk berleha-leha bagi Chris Jhon. Setelah sesi latihan pagi pada pukul 07.00-10.00 WIB, ia hanya beristirahat sebentar karena mulai pukul 15.30-18.00 WIB harus berlatih lagi. Setiap dua hari sekali, bersama rekan-rekannya ia berlari menempuh jarak 10 km pada tengah hari bolong. Latihan itu untuk meningkatkan stamina dan mempertahankan berat badan.
Usai latihan siang, di kamarnya yang berukuran 3 x 4 meter ia memutar video rekaman pertandingan petinju top dunia. Dari sekian banyak koleksinya, video rekaman mantan juara dunia kelas super-welter versi Badan Tinju Dunia (WBC), Oscar De La Hoya (AS), yang terbanyak. Tak aneh jika, dalam setiap pertarungan, Chris Jhon lebih terinspirasi gaya bertarung De La Hoya. Agresif dan enak ditonton.
Ia juga sangat serius memperhatikan gaya bertinju calon-calon lawannya. Barangkali itulah resep jitu mengapa ia tak pernah kalah dalam 33 pertarungannya. Teknik bertinjunya juga kaya. Ia mengaku tekniknya semakin kaya karena sejak beberapa tahun lalu menekuni wushu nomor sanshou (pertarungan). Bahkan, kini ia masuk tim pelatnas wushu untuk SEA Games 2003 di Vietnam, Desember mendatang. Dengan jurus wushu, ia mengaku semakin lincah di atas ring. Teknik memukul dalam sanshou mirip dengan tinju. Hanya, di sanshou ada bantingan, pitingan, dan tendangan, yang tidak dikenal di tinju.
Jenuh memelototi pertarungan tinju, ia memutar film-film laga kesukaannya. Hampir semua film laga ia gandrungi. Fasilitas kamar yang tidak terlalu luas itu cukup lengkap. Ada pesawat televisi dengan layar 19 inci dan VCD player. Setumpuk kaset video berserakan di lantai. Hampir semuanya rekaman video tinju dan film laga.
Kehebatan Chris Jhon tidak diperolehnya secara instan. Ia sudah berlatih sejak usia lima tahun di bawah bimbingan sang ayah, Johan Cahyadi, mantan petinju amatir di era 1970-an. Ia pertama kali naik ring saat masih duduk di bangku SLTP. Bukan di pertandingan resmi, melainkan pada acara pasar malam di Banjarnegara. "Bayarannya tak seberapa. Hanya cukup untuk jajan dan ongkos pijat," ia mengenang.
Setamat SLTP pada 1996, ia sempat berhenti setahun. Saat menganggur itulah ia ikut mendorong sepeda atau mobil pengangkut sayuran di Jalan Mandiraja, Banjarnegara, dekat tempat tinggalnya. Kegiatan itu tidak dilakukan untuk mencari uang semata, tetapi meningkatkan stamina fisiknya.
Melihat ketekunan anaknya, sang ayah mengirimnya ke Semarang untuk bersekolah di SMU sambil belajar di Sasana Tugu Muda. Tahun 2000 ia tamat dari SMU Pancasila, Semarang. Selepas SMU, ia lebih serius di ring profesional. Ia tidak melalui jenjang amatir terlebih dulu.
Sesungguhnya, ia sudah merintis karier saat program tinju sedang marak di stasiun televisi swasta pada 1997. Pertama kali ia turun di kelas bulu junior dan menerima bayaran Rp 350 ribu sekali tampil. Bak bintang kejora, kariernya terus melejit. Setelah menjadi juara kelas bulu nasional, ia segera merebut juara kelas bulu Pan Asian Boxing Association (PABA) dari tangan Dae Kyung Park (Korea Selatan) di ronde pertama.
Kini Chris Jhon menjadi bintang. Sementara dulu bayarannya hanya cukup untuk ongkos pijat, kini ia bisa meraup puluhan juta rupiah. Di Bali, dua pekan lalu, ia menerima bayaran Rp 100 juta. Tak mengherankan jika petinju bertinggi badan 171 sentimeter ini bisa membeli rumah tipe 66 seharga Rp 66 juta. Rumah yang dibeli pada 2001 itu terletak di kampung tak jauh dari Sasana Bank Buana.
Rumah itu kini tampak megah karena baru saja dipugar menjadi dua lantai. Chris Jhon sendiri lebih sering tidur di sasana, sekamar dengan adiknya yang juga petinju, Andrian Jhon. Rumah itu ditempati adik bungsunya, Andriani Margaretha, yang masih duduk di bangku SMU. Selain rumah, ia juga punya tunggangan motor Honda Mega Pro hadiah dari sponsor. "Kalau mobil, belumlah. Motor sudah cukup," ujarnya.
Tinggal selangkah lagi Chris Jhon menjadi juara dunia. Untuk mengalahkan Gainer, banyak hal harus dibenahi. Menurut pengamat tinju Syamsul Anwar Harahap, stamina dan kecepatan Gainer jauh lebih baik ketimbang Chris Jhon. Satu-satunya faktor yang bisa membuat Chris Jhon menang adalah semangat juang. "Determinasi harus dibenahi," kata Syamsul.
Sapto Yunus, Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo