Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Lionel Scaloni melambung ke langit ketujuh setelah membawa Argentina menjadi juara dunia. Sang pelatih telah membuktikan dirinya sebagai manajer terhebat dalam pentas sepak bola.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Argentina memenangi Piala Dunia ketiga mereka dengan mengalahkan Prancis lewat adu penalti di Stadion Lusail pada Ahad, 18 Desember lalu. Tugas mengulang kesuksesan Maradona yang menjadi juara Piala Dunia 1986 pernah dibebankan ke sederet pelatih kenamaan, dari Daniel Passarella, Jose Pekerman, Marcelo Bielsa, Alfio Basile, Alejandro Sabella, hingga Jorge Sampaoli. Semuanya gagal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Scaloni-lah yang mewujudkannya. Ini menjadi trofi ketiga dalam empat tahun kepemimpinannya di Albiceleste. Catatan yang gilang gemilang, apalagi melihat latar belakang karier kepelatihannya.
Lionel Scaloni di Stadion Lusail, Lusail, Qatar, 9 Desember 2022. REUTERS/Hamad I. Mohammed
Scaloni, 44 tahun, tak sengaja menjadi pelatih timnas Argentina. Dia datang sebagai asisten Jorge Sampaoli, yang ditunjuk federasi untuk memimpin timnas pada 2017. Setelah Sampaoli dipecat pada 2018 akibat kegagalan dalam Piala Dunia di Rusia, Scaloni menjadi pelatih sementara. Namun, karena semua calon yang dibidik federasi menolak, termasuk Diego Simeone (menangani Atletico Madrid) dan Mauricio Pochettino (Paris Saint-Germain), jabatannya sebagai pelatih kepala dipermanenkan.
Banyak yang ragu akan kemampuan Scaloni. Bukan apa-apa, dia sama sekali belum pernah menjadi pelatih kepala. Sang legenda Diego Maradona termasuk yang paling lantang memprotes kepemimpinan Scaloni. "Dia kurang menghormati bola. Dia tidak pernah menjadi pemain yang bagus. Hanya menendang orang, tidak lebih," ujar Maradona. Dia meninggal pada November 2020 pada usia 60 tahun.
Maradona mengkritik pemilihan pemain oleh Scaloni. Pada Maret 2019, sang pelatih mencoret Sergio Aguero, penyerang yang menyumbang 41 gol dalam 101 laga bersama Argentina. Dia memilih penyerang yang lebih muda, seperti Paulo Dybala, Angel Correa, dan Lautaro Martinez, untuk mendampingi Lionel Messi di lini serang.
"Kembalinya Lionel Messi menghibur saya, tapi dia belum memanggil Aguero," ujar Maradona saat itu. Belakangan, Aguero divonis menderita kelainan jantung. Penyakit itu memaksanya pensiun pada 2021 di umur 33 tahun.
Scaloni memang hanya berfokus pada Messi. Dia membangun tim dengan Messi sebagai kiblat. Pada Copa America 2019, Messi—saat itu berusia 32 tahun—memutuskan pensiun dari tim nasional. Kala itu, Argentina takluk 0-2 di tangan tuan rumah Brasil—yang kemudian menjadi juara.
Beruntung, Scaloni didampingi Pablo Aimar sebagai asisten pelatih. Messi, pemain terbaik dunia tujuh kali, mengidolakan Aimar sejak kecil. Gelandang serang ini membela timnas Argentina sebanyak 52 kali dalam kurun 1999-2009.
Bersama Aimar, Scaloni berhasil membujuk Messi kembali ke skuad. "Kami melakukan panggilan video dengannya dan Aimar menjelaskan rencana kami, memberi tahu dia bahwa pintu timnas terbuka," kata Scaloni. Leo—nama panggilan Messi—pun luluh dan kembali mengenakan seragam Albiceleste.
Messi dan Scaloni saat tiba di Ezeiza International Airport, Buenos Aires, 20 Desember 2022. REUTERS/Agustin Marcarian
Scaloni membangun timnas Argentina dengan tujuan mengoptimalkan peran Messi. Karena itu, dia membutuhkan kombinasi antara pemain muda yang siap menerima perintah dan pemain senior yang sehati dengan Messi. Setelah 6-8 pertandingan, tim itu mulai terbentuk. Dalam skuad terdapat pemain seperti Nicolas Otamendi dan Angel Di María, keduanya 34 tahun, serta Rodrigo De Paul (28).
Di luar lapangan, Scaloni membangun timnya sendiri. Dia mengajak teman-teman lamanya. Selain Aimar, 43 tahun, ada Walter Samuel (44). Mereka bertiga merupakan rekan satu tim saat Argentina menjuarai Piala Dunia U-20 1997 di Malaysia—turnamen yang sama dengan Piala Dunia U-20 di Indonesia tahun depan. Scaloni kerap membawa jersey U-20-nya itu, bernomor 18, saat memimpin Messi dkk. Scaloni juga meminta bantuan Roberto Ayala, 49 tahun, eks kapten timnas Argentina, sebagai asisten lapangan.
Harmoni di dalam dan luar lapangan tersebut membuahkan hasil pertama, yakni trofi Copa America 2021. Argentina keluar sebagai juara setelah berhasil mengalahkan musuh bebuyutannya, Brasil, melalui gol semata wayang Angel Di Maria. Kemenangan ini terasa dramatis, tidak hanya karena berlangsung di stadion kebanggaan Brasil, Maracana, tapi juga lantaran merupakan piala pertama Messi bersama Argentina.
Kesuksesan dalam Copa America menjadi titik tolak perjalanan Argentina menuju Piala Dunia 2022. Sejak di Maracana, mereka tak pernah kalah hingga Piala Dunia bergulir dengan mengarungi 13 kemenangan dan 3 kali seri, dengan 37 gol serta cuma 3 kali kebobolan.
Sempat tersandung akibat kalah oleh Arab Saudi dalam laga pembuka Piala Dunia 2022, Argentina melaju dengan mengandaskan Meksiko, Polandia, Australia, Belanda, dan Kroasia, sebelum menantang sang juara bertahan: Prancis.
#Info Olahraga 4.1.1-Lionel Sebastián Scaloni
Dalam pertandingan final di Stadion Lusail pada Ahad malam lalu, Scaloni mengulang kesuksesannya sebagai pemain yang mempersembahkan trofi Piala Dunia untuk negaranya. Pada Piala Dunia U-20 1997, dia bahu-membahu bersama Walter Samuel dan Pablo Aimar mengalahkan Uruguay dengan skor 2-1.
Di Lusail, kesuksesannya datang sebagai pelatih. Namun Scaloni merendah serta menunjuk Messi dan kawan-kawan sebagai yang paling pantas mendapat pujian atas kegemilangan dalam Piala Dunia 2022. "Para pemain telah banting tulang," ujar Scaloni.
Ketimbang menerima pujian, Scaloni punya cara sendiri menikmati momen indah di Lusail. Saat berparade di lapangan, sang pelatih mengenakan seragam Argentina saat menjuarai Piala Dunia U-20 1997. Jersey tersebut tampak kesempitan, tapi Scaloni merasa itulah saat paling melegakan sepanjang hidupnya.
DAFFA SIDQI (MAGANG) | MARCA | SPORTS BIBLE | MIRROR | THE GUARDIAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo