Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Rahasia Dari Beijing

Wawancara tempo dengan pelatih rrc wang wen chiao tentang keberhasilan timnya dan han jian atas kemenangannya terhadap liem swie king.

1 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kamar 815 Sea View Hotel, pelatih RRC Wang Wen Chiao (48 tahun) asyik membuat laporannya. "Untuk menjadi seorang pemain yang paling top," tulisnya antara lain, "ternyata hanya diperlukan selisih satu angka." Untuk mencapai itulah tampaknya dia mengerahkan segenap ikhtiarnya. Ada seperangkat video tape lengkap dengan rekaman permainan King dkk. ada beberapa botol bubuk minuman elektrolit bikinan USA, yang oleh dokter tim RRC, Tien Yung Fu, dinilai sangat berjasa membantu stamina Han Jian dkk bertanding di lapangan Singapore Badminton Association (22-23 Fcbruari). Suasana mereka di hotel itu tampak santai-santai saja. Liu Zia dan Zhang Ai Ling yang tidur sekamar di lantai 8, misalnya membunuh waktu sambil mendengarkan musik The Dancing Queen dari ABBA. Malah pinggul Ai Ling bergoyang-goyang mengikuti iramanya. Kedua putri Shanghai ini tampil di Singapura dengan rambut yang sudah digelombang. Kuku jari tangan pun mulai dipelihara. Ada semacam suasana intim yang mereka suguhkan. Wartawan TEMPO, Lukman Setiawan, sempat menjenguk mereka dan melakukan wawancara dengan pelatih Wang Wen Chiao dalam bahasa Indonesia. Dan dengan Han Jian dalam bahasa Mandarin. Dengan Wang Wen Chiao Wang Wen Chiao tahun, lahir di Solo. Waktu di Indonesia ia lebih dikenal dengan nama Ong Bun Kaw. Ia satu generasi dengan Ferry Sonneville dan Eddy Yusuf. Pulang ke RRC tahun 1954, ia sekarang masih fasih berbahasa Indonesia maupun Jawa. Ketika tahun 1973 membawa tim bulutangkis RRC untuk pertandingan persahabatan di Kuala Lumpur, Wang tampak sulit sekali untuk didekati. Lain dengan sekarang. Waktu itu, katanya, ada larangan dari pemerintah RRC untuk berhubungan dengan orang luar. Faktor itu pula yang membuat ia berpikir mau ke luar dari RRC. Kini? "Sekarang sudah bebas, dan enak," katanya. Jabatan Wang saat ini adalah pelatih kepala. Selama di Singapura, dia melepaskan kerinduannya pada Indonesia lewat rokok Gudang Garam. Ia mengatakan kepingin sekali suatu saat bisa berkunjung ke Indonesia. Ia menikah dengan wanita kelahiran RRC dan punya satu putri. Bagaimana anda mempersiapkan generasi non-hoakiau mencapai tingkat permainan sekarang? Terus terang, ketika Tan Hok Siu dan saya pulang ke RRC tahun 1954, di sana bulutangkis belum sepopuler sekarang. Dengan mudah kami dapat mencetak 15-0 lawan pemain setempat. Tapi pemerintah lantas menyusun program pembinaan secara nasional. Target pertama: mempopulerkan bulutangkis di belahan Selatan (di selatan Sungai Chang Chiang), yang meliputi provinsi seperti Fu Chien, Kwang Tung, Hunan, Hu pei. Masa 5 tahun sampai 1959 adalah tahap peletakan dasar bulutangkis. Jadi ketika Tang Hsien Hu (37), Hou Chiang Chang (38) dan Chen Yu Niang (35) tiba di RRC, pada tahun 1960, mereka belum terhitung pemain top. Fisik mereka lemah. Melawan pemain putri setempat pun Hou pernah kalah. Ini menandakan usaha mempopulerkan bulutangkis di selatan Cina cukup berhasil sejak itu. Tapi bagaimana Tang dan Hou cepat menanjak jadi pemain top di dunia? Inilah soalnya. Mereka dipaksa menempuh latihan fisik yang serius. Tang mempunyai kelebihan dalam smash, tapi kurang didukung kondisi fisik yang terbaik. Hou terutama lemah staminanya. Saya berpendapat seorang pemain baru mampu mengembahgkan segala macam pukulan jika kondisi fisiknya mengizinkan. Persetan orang bilang teknik yang tinggi dapat menaklukkan pemain yang fisiknya lebih baik. Buktinya kita babat Erland Kops, Svend Pri dan lain-lain. Tang dan Hou menjadi top karena mereka merasa kuat untuk mengembangkan permainan. Program latihan fisik anda? Biasa saja. Menjelang turnamen besar seperti dwilomba ini, kami kumpulkan pemain di pelatnas selama 2 bulan. Pagi latihan fisik, malam latihan teknik. Setiap hari. Setelah selesai dwilomba mereka kembali ke tempat masing-masing. Biasanya mereka melakukan latihan pukulan 34 kali seminggu @2-3 jam. Tapi untuk memelihara kondisi mereka lakukan sendiri-sendiri di pagi hari. Ya akhirnya harus dikembalikan pada pribadi masing-masing kalau kita bicara soal kondisi fisik. Dari segi fisik, menurut anda, faktor apa saja yang menentukan? Tenaga, kecepatan, kelincahan dan stamina. Ini harus komplit. Tak boleh tanggung-tanggung. Apa komentar anda tentang kekalahan Liem Swie King? Dalam cerita Sam Kok (Romance of the Three Kingdoms) ada pepatah: Tak ada jenderal yang tak pernah kalah. Saya pompakan semangat ini pada Han Jian. Target kami, Han Jian boleh kalah tapi harus dapat menahan King di atas 10. Mengapa? Lebih lama dia bertahan lebih banyak pelajaran dia peroleh dari King. Ternyata King yang lebih dulu kehabisan napas. Dan Han secara tekun dan dingin menjebak King ke dalam rally yang panjang. Singkatnya apa kelemahan King? Mental. Ia dalam keadaan unggul malah naik emosinya. King membanting raket untuk melampiaskan kekecewaannya, ini justru memberi semangat pada lawan. Kedua, King tidak dapat menghemat tenaga. Terlalu hambur. Sekarang tentang Yan Yujiang, bagaimana ? Semula kami memang agak ragu. Siapa di antara Chen Tian Long dan Yan yang harus dimainkan. Fisik Chen lebih kuat dan tekniknya lumayan. Tapi jika kami turunkan Chen, saya takut pihak Indonesia pikir kami memandang enteng dan sengaja menyimpan pemain nomor 1 seperti yang pernah terjadi di Hongkong. Kondisi Yan belum pulih. Urat Achillesnya baru sembuh dan pergelangan tangannya masih sakit. Namun demikian jika dia berhadapan dengan Iie Sumirat, saya masih yakin Yan dapat merebut 1 point. Perhitungan ini meleset, Iie benar-benar luar biasa. Tentang pemain putri? Mereka belum berpengalaman bermain di suhu yang begitu panas. Tapi ini jangan dibesar-besarkan. Pemain-pemain putri Indonesia memang berbeda dengan penampilannya di Hongkong. Setelah dwilomlla Singapura bagaimana pandangan anda dengan bulutangkis Cina? Sejak tahun 1971 kami mengawali kampanye bulutangkis ke belahan Utara (utara Sungai Chang-Chiang). Banyak pemain muda mulai bermunculan. Tapi baru Han Jian yang berasal dari Shen Yang, Provinsi Liao Ning, yang menonjol. Terus terang Indonesia berjasa dalam olahraga bulutangkis di Tiongkok. Kita harus jujur. Sejarah tak bisa dibohongi. Lebih sering kita bertanding akan lebih tinggi mutu bulutangkis. Kekalahan King tidak menanggalkan gelar Juara Dunia dan All England yang dia rebut. Masalahnya sekarang bagaimana kami harus mempertahankan prestasi Han Jian di masa yang akan datang. Terutama jika berhadapan dengan King. Inilah motivasi yang dapat meningkatkan mutu bulutangkis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus