Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI kamar 815 Sea View Hotel, pelatih RRC Wang Wen Chiao (48
tahun) asyik membuat laporannya. "Untuk menjadi seorang pemain
yang paling top," tulisnya antara lain, "ternyata hanya
diperlukan selisih satu angka." Untuk mencapai itulah tampaknya
dia mengerahkan segenap ikhtiarnya.
Ada seperangkat video tape lengkap dengan rekaman permainan King
dkk. ada beberapa botol bubuk minuman elektrolit bikinan USA,
yang oleh dokter tim RRC, Tien Yung Fu, dinilai sangat berjasa
membantu stamina Han Jian dkk bertanding di lapangan Singapore
Badminton Association (22-23 Fcbruari).
Suasana mereka di hotel itu tampak santai-santai saja. Liu Zia
dan Zhang Ai Ling yang tidur sekamar di lantai 8, misalnya
membunuh waktu sambil mendengarkan musik The Dancing Queen dari
ABBA. Malah pinggul Ai Ling bergoyang-goyang mengikuti iramanya.
Kedua putri Shanghai ini tampil di Singapura dengan rambut yang
sudah digelombang. Kuku jari tangan pun mulai dipelihara. Ada
semacam suasana intim yang mereka suguhkan.
Wartawan TEMPO, Lukman Setiawan, sempat menjenguk mereka dan
melakukan wawancara dengan pelatih Wang Wen Chiao dalam bahasa
Indonesia. Dan dengan Han Jian dalam bahasa Mandarin.
Dengan Wang Wen Chiao
Wang Wen Chiao tahun, lahir di Solo. Waktu di Indonesia ia
lebih dikenal dengan nama Ong Bun Kaw. Ia satu generasi dengan
Ferry Sonneville dan Eddy Yusuf. Pulang ke RRC tahun 1954, ia
sekarang masih fasih berbahasa Indonesia maupun Jawa.
Ketika tahun 1973 membawa tim bulutangkis RRC untuk pertandingan
persahabatan di Kuala Lumpur, Wang tampak sulit sekali untuk
didekati. Lain dengan sekarang. Waktu itu, katanya, ada larangan
dari pemerintah RRC untuk berhubungan dengan orang luar. Faktor
itu pula yang membuat ia berpikir mau ke luar dari RRC. Kini?
"Sekarang sudah bebas, dan enak," katanya.
Jabatan Wang saat ini adalah pelatih kepala. Selama di
Singapura, dia melepaskan kerinduannya pada Indonesia lewat
rokok Gudang Garam. Ia mengatakan kepingin sekali suatu saat
bisa berkunjung ke Indonesia. Ia menikah dengan wanita kelahiran
RRC dan punya satu putri.
Bagaimana anda mempersiapkan generasi non-hoakiau mencapai
tingkat permainan sekarang?
Terus terang, ketika Tan Hok Siu dan saya pulang ke RRC tahun
1954, di sana bulutangkis belum sepopuler sekarang. Dengan mudah
kami dapat mencetak 15-0 lawan pemain setempat. Tapi pemerintah
lantas menyusun program pembinaan secara nasional. Target
pertama: mempopulerkan bulutangkis di belahan Selatan (di
selatan Sungai Chang Chiang), yang meliputi provinsi seperti Fu
Chien, Kwang Tung, Hunan, Hu pei. Masa 5 tahun sampai 1959
adalah tahap peletakan dasar bulutangkis. Jadi ketika Tang Hsien
Hu (37), Hou Chiang Chang (38) dan Chen Yu Niang (35) tiba di
RRC, pada tahun 1960, mereka belum terhitung pemain top. Fisik
mereka lemah. Melawan pemain putri setempat pun Hou pernah
kalah. Ini menandakan usaha mempopulerkan bulutangkis di selatan
Cina cukup berhasil sejak itu.
Tapi bagaimana Tang dan Hou cepat menanjak jadi pemain top di
dunia? Inilah soalnya. Mereka dipaksa menempuh latihan fisik
yang serius. Tang mempunyai kelebihan dalam smash, tapi kurang
didukung kondisi fisik yang terbaik. Hou terutama lemah
staminanya. Saya berpendapat seorang pemain baru mampu
mengembahgkan segala macam pukulan jika kondisi fisiknya
mengizinkan. Persetan orang bilang teknik yang tinggi dapat
menaklukkan pemain yang fisiknya lebih baik. Buktinya kita babat
Erland Kops, Svend Pri dan lain-lain. Tang dan Hou menjadi top
karena mereka merasa kuat untuk mengembangkan permainan.
Program latihan fisik anda?
Biasa saja. Menjelang turnamen besar seperti dwilomba ini, kami
kumpulkan pemain di pelatnas selama 2 bulan. Pagi latihan fisik,
malam latihan teknik. Setiap hari. Setelah selesai dwilomba
mereka kembali ke tempat masing-masing. Biasanya mereka
melakukan latihan pukulan 34 kali seminggu @2-3 jam. Tapi untuk
memelihara kondisi mereka lakukan sendiri-sendiri di pagi hari.
Ya akhirnya harus dikembalikan pada pribadi masing-masing kalau
kita bicara soal kondisi fisik.
Dari segi fisik, menurut anda, faktor apa saja yang menentukan?
Tenaga, kecepatan, kelincahan dan stamina. Ini harus komplit.
Tak boleh tanggung-tanggung.
Apa komentar anda tentang kekalahan Liem Swie King?
Dalam cerita Sam Kok (Romance of the Three Kingdoms) ada
pepatah: Tak ada jenderal yang tak pernah kalah. Saya pompakan
semangat ini pada Han Jian. Target kami, Han Jian boleh kalah
tapi harus dapat menahan King di atas 10. Mengapa? Lebih lama
dia bertahan lebih banyak pelajaran dia peroleh dari King.
Ternyata King yang lebih dulu kehabisan napas. Dan Han secara
tekun dan dingin menjebak King ke dalam rally yang panjang.
Singkatnya apa kelemahan King?
Mental. Ia dalam keadaan unggul malah naik emosinya. King
membanting raket untuk melampiaskan kekecewaannya, ini justru
memberi semangat pada lawan. Kedua, King tidak dapat menghemat
tenaga. Terlalu hambur.
Sekarang tentang Yan Yujiang, bagaimana ?
Semula kami memang agak ragu. Siapa di antara Chen Tian Long dan
Yan yang harus dimainkan. Fisik Chen lebih kuat dan tekniknya
lumayan. Tapi jika kami turunkan Chen, saya takut pihak
Indonesia pikir kami memandang enteng dan sengaja menyimpan
pemain nomor 1 seperti yang pernah terjadi di Hongkong. Kondisi
Yan belum pulih. Urat Achillesnya baru sembuh dan pergelangan
tangannya masih sakit. Namun demikian jika dia berhadapan dengan
Iie Sumirat, saya masih yakin Yan dapat merebut 1 point.
Perhitungan ini meleset, Iie benar-benar luar biasa.
Tentang pemain putri?
Mereka belum berpengalaman bermain di suhu yang begitu panas.
Tapi ini jangan dibesar-besarkan. Pemain-pemain putri Indonesia
memang berbeda dengan penampilannya di Hongkong.
Setelah dwilomlla Singapura bagaimana pandangan anda dengan
bulutangkis Cina?
Sejak tahun 1971 kami mengawali kampanye bulutangkis ke belahan
Utara (utara Sungai Chang-Chiang). Banyak pemain muda mulai
bermunculan. Tapi baru Han Jian yang berasal dari Shen Yang,
Provinsi Liao Ning, yang menonjol. Terus terang Indonesia
berjasa dalam olahraga bulutangkis di Tiongkok. Kita harus
jujur. Sejarah tak bisa dibohongi. Lebih sering kita bertanding
akan lebih tinggi mutu bulutangkis. Kekalahan King tidak
menanggalkan gelar Juara Dunia dan All England yang dia rebut.
Masalahnya sekarang bagaimana kami harus mempertahankan
prestasi Han Jian di masa yang akan datang. Terutama jika
berhadapan dengan King. Inilah motivasi yang dapat meningkatkan
mutu bulutangkis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo