Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIVERPOOL – Sadio Mane, 27 tahun, bersandar santai di dinding lorong menuju ruang ganti di Stadion Anfield. Kakinya tak lagi dibungkus sepatu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di lorong itu, setelah memenangi laga Liverpool melawan Watford 2-0, Sabtu lalu, dia berbicara santai dengan Ismaila Saar, 22 tahun, pemain Watford yang juga asal Senegal. Obrolan mereka terhenti ketika Troy Deeney, kapten Watford, mendatangi Mane.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rupanya, dia ingin mengucapkan terima kasih karena mendapat kaus yang dipakai Mane dalam laga itu. Mane lagi-lagi bermain cemerlang. Salah satunya adalah assist atau operan yang membuat Mohammed Salah mencetak gol.
Mane membalas ucapan terima kasih itu sambil kemudian menyampaikan sebuah pesan penting. "Tolong jaga dia, ya," katanya.
Dia yang dimaksudkan Mane adalah Sarr, teman ngobrolnya itu. Pemain ini baru saja pindah dari Rennes, Prancis, pada awal musim ini.
Namanya juga anak baru. Performa Sarr tentu belum sehebat saat tampil bersama klub lamanya di Ligue 1 dan Liga Europa musim lalu.
Mane ingin Deeney ikut menjaga dan memompa semangat juniornya itu. "Dia anak yang pemalu," kata Mane. "Anak pemalu."
Deeney lantas menyebut Sarr sebagi pemain bagus dan selalu bekerja keras. "Dia hanya perlu bicara bahasa Inggris," katanya.
Sarr, yang juga bermain di sisi sayap seperti Mane, sebelumnya banyak diberitakan akan berlabuh di Arsenal. Namun, dalam perkembangan berikutnya, ternyata Watford yang lebih siap membawa dia.
Tanpa proses panjang, The Hornets–julukan Watford–berhasil mendapatkan Sarr dengan biaya transfer 30 juta pound.
Adaptasi Sarr terbilang tersendat. Dia memulai debutnya pada akhir November lalu. Namun, selepas itu, dia kemudian selalu menjadi pilihan utama pelatih Watford, Nigel Pearson.
Soal itu, Sarr pun menunjuk Mane sebagai orang yang berjasa dalam kiprahnya itu. Mereka terbilang akrab dan sering bicara banyak ketika sama-sama memakai seragam tim nasional Senegal.
"Dia banyak memberikan tip. Saya berusaha menjalankannya," kata Sarr.
Namun satu hal yang penting adalah pesan dari Mane agar dia selalu bersabar. Termasuk saat Sarr tidak dimainkan oleh manajer. "Tenang dan tetap lakukan semua pekerjaanmu. Semuanya akan baik-baik saja," kata Sarr, menirukan pesan Mane.
Kepedulian Mane akan masa depannya itu bukan semata karena Sarr sama-sama lulusan dari Academie Generation Foot yang terkenal di Dakar, Senegal. Namun memang seperti itulah Mane di luar lapangan.
Mane memang senang menolong. Dalam sebuah video yang sempat viral, terlihat Mane membantu seorang kit man membereskan barang bawaan tim nasional Senegal. Padahal pemain lain berlalu saja saat melewati lelaki itu.
Kebaikan yang tak mendadak. Di video lainnya, saat berada di Metz, Prancis, misalnya. Mane, yang menganut Islam, tak segan-segan ikut membersihkan kamar mandi di sebuah masjid di sana.
Hal itu pun terjadi di masjid di Liverpool. Abu Usamah Al-Tahabi, imam Masjid Al Rahma di kawasan Toxteth, Liverpool, menyebut Mane sebagai bukan orang yang mencari ketenaran. "Dia tidak arogan," kata Al-Tahabi. "Dia adalah orang yang ingin membantu."
Semua itu tentu ada sangkut-pautnya dengan masa lalunya. Sadio Mane tumbuh dan besar dalam keluarga yang miskin di Sedhiou, Senegal. Belajar dari masa lalunya yang sulit, dia ingin agar orang lain tidak mengalami kegetiran hidupnya. "Saya bermain sepak bola dengan kaki telanjang. Saya tidak mengecap pendidikan yang baik," kata Mane. "Kini, dengan apa yang saya dapatkan dari sepak bola, saya bisa menolong orang-orang."
Oktober lalu, media Spanyol, Marca, menulis bahwa Mane mengirim uang ke negeri asalnya, Senegal. Di daerah miskin, dia membantu mendirikan sekolah. Mane juga membeli baju, sepatu, dan makanan bagi mereka yang miskin. Uang sebanyak 70 euro diberikan setiap bulan kepada orang-orang di sana untuk memberdayakan ekonomi mereka.
"Saya tidak memerlukan mobil atau rumah mewah. Saya lebih memilih mereka yang menerima dari sedikit yang telah saya peroleh," katanya.
Di lapangan, Mane selalu ingin memberikan yang terbaik untuk timnya. Di luar lapangan, dia ingin menjadi apa saja yang bisa berguna bagi orang banyak.
Tidak harus selalu uang. Tapi juga perkataan yang baik. "Sadio sering menasihati saya, mana yang boleh dan mana yang tidak. Dia seperti kakak bagi saya," kata Ismaila Sarr. INDEPENDENT | DAILYMAIL | SPORTBIBLE | IRFAN BUDIMAN
Sebuah Pesan di Lorong Anfield
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo