Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Sepak bola tidak lagi

Permainan sepak bola pada pon ix menggembirakan. pada pertandingan final dki jaya mengalahkan irian jaya. aceh mengalahkan sulawesi selatan. perlu peningkatan teknik dan taktik permainan. (or)

13 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA final sepakbola ukuran kesuksesan Pekan Olahraga Nasional maka PON IX dipersilakan tertawa lebar. Kesebelasan DKI Jaya dan Irian Jaya yang memperebutkan emas, kesebelasan Aceh dan Sulawesi Selatan yang memperebut perunggu, telah mempesonakan 70 ribu penonton Stadion Utama pada acara terakhir pertandingan sepakbola tanggal 2 Agustus malam. Selama 4 jam, ke4 kesebelasan itu bergumul dalam pertandingan yang diperpanjang. Dan dalam perpanjangan waktu itu DKI Jaya mengalahkan Irian Jaya 4-2 (2-2), Aceh mengalahkan Sulawesi Selatan 1-0 (0-0). Penonton stadion utama, Senayan yang pada turnamen "Piala Bang Ali," Juni yang lalu berubah ganas, kini seolah menjadi jinak oleh permainan yang bersemangat oleh 4 besar itu. Dan publik Senayan seolah telah menemukan kembali sifat-sifat sepakbola di lapangan hijau: toleransi pemain terhadap kesalahan wasit, permainan keras tanpa ekor baku-hantam. Dan yang lebih penting lagi, kedua pertandingan yang dipimpin oleh wasit R. Hatta (final) dan R. Hamlet (juara ketiga), seolah memberi kesempatan kepada setiap pemain yang galak untuk menghantam lawannya sejauh ada bola. Seni "makan orang" pada zaman Tanoto dan Ramang dipersilakan hadir di depan mata kedua wasit yang nyaris tersingkir karena berani melawan "instruksi atasan" itu. Sepakbola kini bukan lagi "biang kerok." Sumber kegaduhan telah beralih ke gelanggang tinju. Membutuhkan Disiplin Tapi apa komentar orang tentang mutu ke4 kesebelasan itu? Irian Jaya nampaknya masih diguyur harapan. Tanpa Johannes Auri dan Robby Binur yang pindah ke Jakarta, Irian Jaya toh masih sebuah kesebelasan yang kompak. Benny Yensenem di kanan luar dan Saul Sibi di kiri luar merupakan dua pemain yang berkepribadian kuat. Tapi agak dalam menilai Irian Jaya tak patut orang mempretelinya dari satu kesatuan. Mereka secara teknis matang. Yang kurang hanya segi taktis dan pola-pola permainan yang membutuhkan disiplin. Misalnya, andaikata imo Kapisa lebih berani meninggalkan daerah tengah untuk ikut menerjang ke depan, Oyong dkk niscaya akan mengalami kesulitan. Pemain-pemain Irian Jaya pada umumnya secara alamiah sudah tertanam ketrampilan bersepakbola. Lihatlahmereka mendorong, mendribel, menyetop (dengan kaki, badan dan kepala) bola, semuanya berlangsung dengan wajar. Gerak tubuh terkordinir dengan indah. Entah siapa pula yang mengajar mereka menendang bola dengan bagian dalam atau bagian luar kaki untuk memberi akibat efek. Faktor-faktor teknis dan alamiah ini sayangnya kurang didukung oleh faktor taktis. Mereka enggan merubah pola permainan yang mengasyikkan diri mereka. Bola sering dikuasai berlama-lama. Kalau sudah kepergok dan hampir mati langkah, baru disodorkan kepada kawannya. Tapi situasi semacam ini memang yang menggiurkan penonton. Persis seperti gaya pemain Amerika Latin atau Brasil. Itulah sebabnya ketika Irian Jaya berhasil menceploskan bola ke gawang Sudarno, mereka mulai lengah. Sebab ketika masih asyik menikmati kerjasama Yensenem dan Saul Sibi yang membuahkan gol pertama Irja itu, mereka kecolongan Iswadi yang membuat gol balasan. Seandainya mereka pandai membuat pertahanan yang sistimatis, misalnya dengan menarik mundur barisan tengahnya ke dalam pertahanan, selagi Junaedi, Ronny Patti dan Sofyan melakukan kegiatan di medan tengah, rasanya Persija sulit menemukan peluang melancarkan tembakan. Mallum, dalam body charge atau benturan badan, pemain Persija mana yang berani berduel dengan pemain Irja? Irian Jaya memang memerlukan permainan terbuka sebagai ekspresi kepribadian yang khas. Tapi mereka membutuhkan juga sistim pertahanan yang kuat. Apalagi kiper Jimrny Pieter terbilang yang paling lemah. Seyogyanya Bas Youwe, tim manajer Irja, menyadari hal ini. "Andaikata mereka memiliki Ronny Pasla, tidak mustahil Irja merupakan tim yang bertaraf internasional," begitu komentar seorang penonton VIP. Kekalahan Irja dari DKI Jaya tidak mengurangi kedudukan putera-putera Irian Jaya itu di mata publik. Mereka tetap dinantikan di lapangan hijau. Lebih-lebih dengan mutu pemunculan mereka di final, harapan penonton supaya mereka diberi peluang untuk berhadapan dengan tim luar negeri makin menjadi satu kebutuhan, bahkan tuntutan. Mereka perlu diberi kesempatan seperti tim-tim daerah lainnya dalam pertandingan internasional. Segi komersiilnya akan menjamin ongkos pembiayaannya. Kemelut Organisasi Sementara itu Kesebelasan Ibukota di bawah sorotan Pak Tjokro dan Bang Ali (plus kedua nyonya mereka) di final itu bermain dengan gaya rutin saja. Jebakan taktik off-side harus dibayar mahal: gol. Itu terjadi karena Simson Rumahpasal ragu ikut naik. Keseragaman langkah dalam satu komando perlu latihan juga. Kelemahan yang masih tampak di tubuh Persija, terletak pada kombinasi Ronny dan Junaedi. Mereka bergerak terlalu melebar. Banyak menyulitkan Iswadi dan Suhanta. Sedang kelemahan yang belum terobati masih saja di sisi kiri: Andilala. Kedudukan Lala menjadi goyah setelah orang menyaksikan kiri-luar Sulsel, Dullah Rahim. Yang terakhir ini lebih punya otak. Ini terlihat dari pertandingan Aceh-Sulsel. Munculnya DKI Jaya, Irian Jaya, Aceh dan Sulawesi Selatan dalam 4 besar PON IX 1977, memang belum sepenuhnya menggambarkan kekuatan persepakbolaan di Indonesia. Aceh, misalnya, masih gemar bermain-main dengan bola di udara. Bola rendah nampaknya menyulitkan mereka. Tapi semangat dan tekadnya (Aceh menundukkan Sumatera Utara 2-1) tak pernah kendor. Dengan modal itu tak boleh diramal Aceh tidak akan dapat mengalahkan kesebelasan Sulsel yang sama seandainya terjadi pertandingan revans. Aceh masih polos. Ia perlu diperkenalkan dengan praktek-praktek sepakbola mutakhir: makin mudah bola dimainkan makin tinggi teknik sepakbola itu. Hari terakhir pertandingan sepakbola PON IX membesarkan hati pencinta sepakbola. Permainan ini telah menemukan daya tariknya kembali. Harap saja suasana di lapangan ini tidak tercemarkan oleh kemelut di pucuk pimpinan PSSI. Di dunia ini nampaknya hanya di Indonesia, bahwa kemelut organisasi lebih ramai diperbincangkan orang daripada permainan sepakbola itu sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus