Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIEM Swie King masih tanpa tanding. Tanpa kehilangan satu set
pun dari lawan, ia mempertahankan gelar, dalam turnamen
bulutangkis Piala Dunia II di Kyoto pekan lalu.
Selama 2« tahun terakhir, ia memang tak pernah terkalahkan, walau
oleh kampiun RRC sekalipun. Ia menjuarai turnamen All England 2
kali berturut-turut (1978 dan 1979) dan Asian Games VIII di
Bangkok (1978).
Tapi penampilannya di Kyoto itu bukan tanpa cela. Waktu
menghadapi finalis Masao Tsuchida dari Jepang, ia beberapa kali
mati langkah. Reaksinya tampak lamban. Juga belum cermat ia di
depan jaring. "Kondisi saya belum top," kata King yang
mempersiapkan diri cuma sebulan.
Prestasi tim Indonesia di Kyoto hanya dari regu putra. Pasangan
Christian Hadinata/Ade Chandra juga mempertahankan gelar. Dari
tim putri, kecuali pasangan Verawaty Wiharjo/Imelda Wiguna yang
sampai di final, gagal semua. Pelatih Tahir Jide menilai sistem
latihan mereka kurang efektif. Ia tak memerinci penilaiannya.
Tapi umumnya putri Indonesia dibanding lawan dari Jepang atau
Eropa masih kurang alot.
Gonta-ganti pasangan di Kyoto agaknya juga kelihatan cukup
merepotkan tim putri Indonesia. Misalnya, Ruth Damayanti yang
dipasang dengan Tjan So Gwan ternyata tak ampuh untuk turnamen
besar. Sebelumnya Ruth bermain dengan Theresia Widyastuti, dan
Tjan So Gwan bersama Ivanna.
Menurut pelatih Minarni, "penceraian" ini terjadi karena
Widyastuti memang tak terpilih. Sedang Ivanna tak ingin program
'khusus'nya di pelatnas terganggu. Ivanna, juara SEA Games X
(1979), tampak ingin mengulangi kebolehannya sebagai pemain
tunggal.
Verawaty? Di lapangan, ia masih sukar ditebak. Ia bisa seperti
orang kesetanan melayani lawan yang tangguh. Tapi juga mudah ia
terbawa arus bila ketemu yang lemah. Ia bersama Imelda
menghadapi finalis Atsuko Tokuda/Yoshiko Yonekura dari Jepang.
Mereka melayani permainan cepat lawan, dan akhirnya keteter
sendiri.
Tak Ada Persoalan
Indonesia, pemegang supremasi dunia versi International
Badminton Federation (IBF), akan diuji kembali. Ada turnamen
segera menghadang dwilomba Indonesia-RRC di Singapura (22 dan 23
Februari), turnamen All England di London (pertengahan Maret),
dan Kejuaraan Dunia II di Jakarta (Mei).
"Kalau kita turun dengan full team, RRC bisa kita kalahkan
lagi," ramal Titus Kurniadi dari PBSI. Ia memperkirakan dalam
dwilomba yang memakai sistem Piala Thomas (9 partai) itu
Indonesla akan menang minimal dengan angka 5. RRC waktu Asian
Games VIII dikalahkan Indonesia 4-1 dari 5 partai. Tim inti yang
dimaksud Titus terdiri dari Liem Swie King, juntjun, Johan
Wahyudi, Christian, Ade Chandra, dan satu lagi bisa Hastomo Arbi
atau Heryanto Saputra.
Dua kejuaraan lainnya, khusus untuk anggota IBF, tampak tak ada
persoalan bagi Indonesia. Di All England, rasanya tak akan sukar
bagi King maupun 2 pasangan ganda Tjuntjun/Johan Wahyudi serta
Christian/Ade Chandra untuk menjinakkan lawan. Saingannya cuma
Flemming Delf baik secara sendirian maupun berpasangan dengan
Steen Skovgard -- keduanya dari Denmark.
"Titik lemah kita saat ini adalah di bagian putri," kata Ketua
Komtek PBSI Jakarta, Syamsul Alam. Dari All England lalu
satu-satunya gelar yang lepas dari tim Indonesia adalah tunggal
putri.
Dalam Kejuaraan Dunia II, turnamen resmi IBF sebagai lanjutan
yang di Malmoe 1977, peluang Indonesia diperhitungkan akan sama
seperti menghadapi All England. Dengan catatan King bisa menemui
bentuk terbaiknya kembali. Kelihatan hal itu tak terlalu sulit
buat dia. "Bulutangkis adalah segalanya buat saya," katanya
seusai menjalankan skorsing PBSI selama 3 bulan, gara-gara
datang terlambat waktu pertandingan SEA Games X: Dan ia
membuktikan tekat itu di Kyoto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo