Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA pembina klub Galatama, menurut kalangan mereka sendiri,
dianggap orang gila. Meskipun dari serangkaian pertandingan
kompetisi Galatama putaran I yang berakhir November ini tidak
satupun menyatakan untung, mereka bertekad mengikuti putaran
berikutnya.
Hampir seluruh 14 klub yang turut ditunjang kehidupannya oleh
perusahaan induk. Pardedetex, misalnya, didukung oleh Pardede
Holding Company, yang punya beberapa suku usaha seperti pabrik
tekstil, rumah sakit dan pabrik udang. Sejak dirintis klub ini,
yang menggaji pemain RR 1 50.000-Rp 200.000 sebulan berikut
makan dan fasilitas lain, boss TD Pardede sudah merogoh hampir
Rp 100 juta. Sementara uang hasil pertandingan sering seret.
"Mau mundur rasanya malu," ungkap Pardede.
Juga Perkesa 78 masih harus ditunjang PT Nitrade untuk
kelangsungan hidupnya. Selama 7 bulan klub itu didirikan, kata
pemimpinnya Acub Zainal, sudah Rp 60 juta dikeluarkan. dengan
pemasukan yang tipis. Mau dibubarkan?
"Nanti akan kami lakukan evaluasi pada putaran kedua mengenai
untung ruginya," kata Acub.
"Pokoknya sampai 2 tahun mendatang, klub Galatama tidak akan
bisa memperoleh keuntungan," tambah Beniardi dari Tunas Inti.
"Kalau toh untung, pasti uangnya akan ditanamkan kembali untuk
bikin lapangan atau cari pemain baru."
Masih sedikit klub Galatama itu yang memiliki lapangan sendiri
untuk berlatih Antara lain Jayakarta di Ragunan, Pasar Minggu,
Jakarta. Sebagian besar berlatih menumpang pada beberapa pemilik
lapahgan atau bergantian. Indonesia Muda tampaknya dalam waktu
dekat akan mempunyai lapangan baru di Ragunan juga.
Bagaimana Arseto? Ia juga belum memiliki lapangan. Tapi Arseto,
dengan Dirktur Utama Sigit Haryoyudanto (putra Presiden
Soeharto), mengaku kehidupannya tanpa ditunjang perusahaan
induk. "Modalnya kami dapat dengan patungan. Kami berdiri
sendiri," kata Direktur Umum PT Arseto, Bambang Laksono Poesoro.
Sejak kompetisi dimulai, Arseto sudah mengeluarkan Rp 80 juta.
Mereka optimis akan memperoleh keuntungan. "Apapun dan berapapun
yang sudah ditanam, kami merasa sudah berhasil meningkatkan
prestasi pemain," kata Bambang.
Tapi ada juga yang kelangsungan hidupnya ditunjang uang donatur
dan pengurus Indonesia Muda, misalnya, yang didirikan Februari
1978 berasas koperasi. Selama 6 bulan pertama kepengurusan sudah
menghabiskan Rp 43 juta, sementara pengeluaran tiap bulan
berikutnya Rp 6 juta. Pemasukan dari pertandingan hanya Rp 26
juta, berarti masih rugi. "Karena itu boleh dibilang para
pengurus klub Galatama ini adalah orang gila semua," kata Dimas
Wahab, Wakil Ketua Indonesia Muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo