Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gadis itu meluapkan emosinya dengan membanting raket. Sempat terpana, kedua tangannya membekap mulut. Dia seolah tidak percaya pada peristiwa yang baru saja dialaminya. Setelah sadar sebuah gelar telah diraihnya, senyumnya pun merekah. Lalu, dia berlari-lari kecil mendekati penonton. Di sana ada ibu dan adik perempuannya yang duduk di barisan depan. Dipeluknya kedua wanita itu bergantian dengan rasa bahagia.
Dialah Kim Clijsters. Sabtu dua pekan lalu, petenis putri asal Belgia ini baru saja menuntaskan pertarungan final dalam kejuaraan Amerika Serikat Terbuka di Flushing Meadows, New York. Menghadapi petenis Prancis Mary Pierce, dia menang dua set langsung, 6-3, 6-2. Inilah sukses pertama Kim merebut gelar juara di arena grand slam.
Gelar itu terasa manis karena selama ini dia selalu gagal menggapainya. Kim juga sempat beristirahat cukup lama karena cedera kaki dan tangannya. ”Sulit dipercaya. Ini sangat berarti bagi saya. Apalagi saya selalu gagal pada tahun-tahun sebelumnya,” kata perempuan 22 tahun itu.
Kesempatan untuk meraih gelar juara sebenarnya telah menghampiri Kim saat masih berusia 18 tahun. Dalam kejuaraan Prancis Terbuka 2001, dia telah mampu menembus babak final, tapi akhirnya dikalahkan oleh petenis Amerika, Jennifer Capriati. Kegagalan serupa terulang kemudian. Kendati lolos ke final, Kim tak mampu mencicipi gelar juara di Prancis Terbuka maupun Amerika Serikat Terbuka pada 2003. Dalam dua kejuaraan ini, dia ditaklukkan oleh rekan senegaranya, Justine Henin-Hardenne, yang lebih senior.
Walau hanya sebentar, Kim sempat bertengger di peringkat satu dunia pada Agustus 2003. Tapi posisi ini justru membebani dirinya karena mendapat julukan sebagai petenis nomor satu tanpa mahkota grand slam. Dia memang belum pernah meraih satu pun gelar dari kejuaraan kelas satu. ”Saat itu saya frustrasi bila pers menanyakan kegagalan saya,” ujarnya.
Lahir di Bilzen, Belgia, dia tumbuh dalam keluarga yang mencintai olahraga. Ayahnya, Lei Clijsters, adalah bekas pemain sepak bola nasional Belgia. Ibunya, Els Vandecaetsbeek, atlet nasional yang cukup terpandang di negara itu. Adapun adiknya, Elke Clijsters, saat ini tengah menekuni karier di tenis junior.
Orang tuanya tidak pernah memaksa Kim menekuni tenis. Kim sendirilah yang memilih olahraga ini. Dia memang memiliki bakat yang menonjol sejak kecil. Di usia enam tahun, Kim kecil telah ikut kompetisi tenis di Tennisdel in Genk. Saat itulah dia bertemu dengan Bart van Kerckhove, seorang pelatih yang kemudian tertarik menanganinya. Sang pelatih yakin, Kim kelak akan menjadi salah satu pemain terbaik dunia.
Ketika berusia 16 tahun, Kim masuk sekolah tenis Wilrijk di Belgia. Di sana dia bertemu dengan pelatih Carl Maes, yang kemudian mengantarkan menjadi petenis yang disegani sampai 2002. Setelah itu gadis berbakat ini diasah oleh Marc Dehous.
Di tangan Dehous, dia menjadi petenis yang amat agresif. Kim mengoleksi sembilan gelar sepanjang 2003, kendati tak satu pun gelar grand slam diraihnya. Pada tahun itu, dia bertanding 100 kali. Semangat memburu gelar tak redup pada tahun berikutnya, sampai akhirnya terkena cedera.
Cedera di kaki kirinya mulai muncul saat berlaga di kejuaraan Piala Hopman, sebuah ajang pemanasan Australia Terbuka 2004. Walau dibekap rasa sakit, Kim tetap turun di Australia Terbuka dengan mengabaikan nasihat dokter. Dia mampu menembus perempat final, meskipun akhirnya dikalahkan oleh Justine.
Selepas Australia Terbuka, Kim menjalani perawatan panjang. Tak hanya kaki kirinya yang cedera, lutut dan pergelangan tangannya juga bermasalah. Walaupun tetap berlatih di bawah pengawasan dokter, dia mesti absen dari sejumlah pertandingan penting, termasuk Prancis Terbuka.
Agar cederanya benar-benar sembuh, pada pertengahan 2004 dia menjalani operasi di pergelangan tangannya. Terpaksa, Kim beristirahat lebih lama, dan petenis yang pernah menjadi nomor satu dunia ini langsung merosot ke peringkat 134. Dokter Bruno Willems yang merawatnya berpendapat, meskipun sudah dioperasi, luka di pergelangan tangannya belum benar-benar pulih. ”Kalau tetap dipaksakan, dia akan mengakhiri kariernya sebagai petenis,” kata Willems.
Di tengah masa penyembuhan, Kim menghadapi masalah yang cukup berat dalam hidupnya. Dia terpaksa berpisah dengan tunangannya, Lleyton Hewit, pada Oktober 2004. Padahal hubungan mereka sudah terjalin selama setahun. Kim sendiri sempat mengumumkan kepada pers bahwa dirinya akan menikah dengan petenis Australia itu.
Menghadapi masa-masa kelam, pelatih Marc Dehous terus menemaninya berlatih. Dia juga sering meyakinkan Kim bahwa cederanya akan segera pulih, dan dia akan mampu bangkit lagi sebagai petenis yang disegani.
Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu datang pada Februari lalu. Dokter yang merawatnya telah mengizinkan Kim bertanding lagi. Dia pun muncul dalam sebuah turnamen di Antwerp, Belgia. Sejak itulah berbagai gelar diraihnya. Sampai Agustus lalu, Kim telah mengumpulkan 28 kemenangan dan 6 gelar. Semua gelar diraihnya dari kejuaraan bukan grand slam. Dua di antaranya diperoleh dari Rogers Cup di Toronto dan sebuah kejuaraan di Kanada. Sukses itu mendongkrak peringkatnya menembus empat besar dunia.
Keberhasilan Kim semakin sempurna setelah menjuarai Amerika Serikat di Flushing Meadows. Inilah sebuah gelar grand slam yang selama ini diimpikannya. Dia juga menjadi tidak takut lagi menghadapi pers. ”Semua kerja keras telah berbuah. Saya puas dan sekarang wartawan tak perlu lagi menanyakan kegagalan saya,” katanya.
Hanya Kim sadar, cedera masih terus menghantuinya. Sekarang dia tidak terlalu berambisi mengumpulkan banyak gelar dan berlama-lama bermain tenis. ”Saya kira saya akan berhenti pada 2007. Tubuh saya memiliki banyak masalah untuk bertanding,” ujar Kim.
Suseno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo