KURS Risdianto dan Hadi Ismanto melonjak terus di balik
kegagalan beruntun PSSI Utama. Karena dalam turnamen Pra Piala
Dunia Grup I Asia-Oceania sembilan gol bersarang tanpa balas di
gawang tim nasional Indonesia, orang seperti tak punya pilihan
lain. "Pemain seperti Ris dan Hadi masih dibutuhkan untuk tim
nasional," kata bekas Kapten PSSI tahun 60-an Sutjipto Suntoro.
"Dan belum terlambat untuk memanggil mereka."
Kedua pemain itu bukanlah muka baru dalam dunia sepakbola
nasional. Risdianto dari Klub Warna Agung dan Hadi dari
Indonesia Muda merupakan pencetak gol terbanyak dalam kompetisi
Galatama. Risdianto dalam putaran pertama 1981-1982 mencetak 16
gol. Sedang Hadi adalah pemegang "Sepatu Emas" -- lambang
supremasi pencetak gol terbanyak dalam kedua putaran Galatama
1979-1980.
Tapi Risdianto, 31 tahun, setelah memperkuar tim nasional dalam
SEA Games-1979 di Jakarta tak terpanggil lagi. Ia tak mendapat
"restu " dari Pengurus PSSI sekalipun kapten tim Ronny
Pattinasarany berulang memintanya. "Padahal kondisi Ris prima
sekali," kata Ronny yang seklub dengan Risdianto. "Latihannya
tetap teratur."
Ada yang menilai Risdianto tidak cocok menjadi salah satu mata
tombak kembar dari pola 4-4-2 1 jong. Walaupun dikenal "malas
bergerak ", ia menjadi macan di daerah penalti, lebih sesuai
dengan pola 4-3-3. Karena ia tinggal menunggu operan dari sayap
kiri atau kanan maupun lewat ternbosan tengah.
Materi pemain depan yang tersedia untuk mendampinginya cukup
banyak. Ada Hadi, Dullah Rahim, Joko Malis maupun Robby Binur
--semuanya bisa berperan sebagai pemain sayap.
Risdianto sehari-hari oleh teman dekatnya dipanggil Gayeng. Pada
usia 14 tahun ia sudah terpilih memperkuat tim Persekap -- bond
dari Pasuruan - bahkan menjadi pemain inti. Tahun 1970, ia sudah
masuk pelatnas. Tapi ia mulai terpakai dua tahun kemudian,
karena Waskito sakit. "Pokoknya di zaman saya susah sekali masuk
tim nasional, " ujar Risdianto yang sempat boyong ke Klub
McKinnons di Hongkong tahun 1975 .
Bagaimana kalau akhirnya dia terpilih masuk tim nasional? "Saya
khawatir masyarakat akan kecewa. Sebab saya bukanlah Ris yang
dulu lagi," kaatanya. Memang Risdianto kini menjadi ayah dari
seorang putri. "Kalau pun nanti dipanggil PSSI, saya akan
berpikir dua kali. Tapi saya cenderung menolaknya. "
Bagaimana dengan Hadi? Terserah pada boss, katanya. Hadi,
karyawan Pertamina, kabarnya dipersiapkan untuk jabatan baik di
kantornya. Tapi ia tidak dilarang untuk memperkuat tim nasional.
Hadi, 25 tahun, adalah produk Diklat Salatiga zaman kepengurusan
Bardosono periode 1974-1977. Baginya penyesuaian diri dalam tim
tampak tak begitu sukar. Bisa saja ia dipasang dalam berbagai
posisi -- penyerang tengah maupun digeser ke sayap. Tapi ia
belum tentu disukai pelatih Fischer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini