Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Iran akan menghidupkan lagi pergundikan sebagai tindakan untuk menahan berkembangnya pelacuran. nabi telah melarang kawin mut'ah, tapi keyakinan kaum syi'ah berbeda dengan islam umumnya. (ag)

5 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERGUNDIKAN kelihatannya akan dihidupkan lagi di Iran. Memang sudah dilarang di zaman Syah, dengan Undang-undang 1967. Tapi pelembagaannya kembali sekarang ini merupakan bagian dari penyesuaian perkawinan dengan adat-istiadat Islam. Demikian berita Assoctated Press yang juga dimuat Kompas belum lama berselang -- bahkan juga dimuat di koran bahasa Inggeris di Kuwait. Dan Majlis Ulama Indonesia protes. Sudah tentu. Pergundikan, seperti dinyatakan dalam siaran pers dewan pimpinan Majlis, justru merupakan adat jahiliah yang sudah dilarang Islam sejak kedatangannya. Ayatnya pun jelas: "Nikahilah mereka dengan izin keluarga mereka, dan berikan kepada mereka maskawin mereka dengan patut, dengan berumah tangga, bukan dengan cara durjana, bukan pula berhubungan gelapgelapan" (Q.4:25). Tetapi AP tidak sembarangan -- setidaknya ia menyebut sumber. Yakni Hujjatul Islam Mufatih, konon ajudan terdekat Khumaini yang menerangkan hal itu di hari Kamis 6 April. Sebab pergundikan "merupakan tindakan efektif untuk menekan berkembangnya pelacuran." Bahkan seorang lelaki yang misalnya sudah beristeri empat boleh mengambil gundik berapa saja, sekuatnya membayar. Gundik ini tentu saja seperti isteri benar, hanya saja, diterangkan, ia misalnya tidak memiliki hak waris, dan lebih penting: ia "berdinas" dengan pembayaran tertentu selama waktu yang disetujui bersama. Dan bila demikian, maka ternyata yang dimaksud bukanlah gundik benar. Bukan pula selir atau konkubin atau "simpanan" seperti yang biasa difaham. Melainkan isteri yang didapat dari perkawinan yang disebut mut'ah. Dan kawin mut'ah boleh jadi memang asing bagi si wartawan -- bahkan layaknya bagi orang Islam umumnya sekarang, kecuali yang Syi'ah. Mut'ah (artinya pemberian, atau senang-Senang), memang perkawinan sementara. Ia merupakan kontrak yang dilaksanakan dengan ijab kabul seperti dalam nikah biasa. Hanya saja yang diucapkan di situ bukan sekedar kesediaan dan besarnya maskawin, tapi juga batas waktu -- baik 1 hari maupun bertahun-tahun. Mut'ah bagi umumnya Syi'ah Imamiyah tidak memerlukan saksi. Si wanita tentu saja harus tidak bersuami waktu itu, juga tidak hamil -- tetapi lelaki memang boleh sudah beristeri, walaupun andaikata empat orang ditambah isteri-isteri mut'ah yang lain. Ibarat Paspor Tak ada kewajiban si lelaki untuk menyediakan pangan atau perumahan bagi si wanita -- sebab 'kan sudah ada perjanjian harta. Juga mereka tidak waris-mewarisi -- kecuali, menurut sebagian sekte Imamiyah, bila disebut dalam ijab kabul. Mut'ah akan habis sendirinya bila waktu-berlakunya berakhir ibarat paspor. Tapi sebelum berakhir, tak ada perceraian. Dan berbeda dengan paspor, tidak ada perpanjangan. Yang ada ialah nikah baru. Untuk itu memang ada masa iddah bagi si wanita: bukan tiga kali masa suci seperti pada nikah biasa, tapi dua kali, atau 45 hari. Tapi bila si wanita nikah kembali dengan orang yang sama, masa antara itu bisa terhapus. Dan bila mereka sampai punya anak, anak ini tanggung jawab (bekas) suami. Mengapa sampai ada nikah seperti itu dalam Islam? Tak bisa dipercaya bila mereka tidak berpegang pada Qur'an. Ayat 24 An-Nisa antara lain menyatakan: "Maka bila kalian telah mengambil manfaat (atau berseketiduran, atau bersenang-senang) dengan isteri kalian, berikanlah kepada mereka maskawin mereka yang telah ditetapkan." Para sahabat Nabi, antara lain Ibnu Abbas dan Hasan bin Ali, menerangkan maksudnya bila telah terjadi percampuran suami-isteri, maka maskawin yang dijanjikan di waktu nikah dan belum dibayar harus ditunaikan penuh (dan bila tidak, ada ayat lain yang mengatur). Tapi Ibnu Abbas bersama Mujahid dan dua-tiga Sahabat lain juga menyatakan, bahwa yang dimaksud ayat itu sebenarnya kawin mut'ah. Malah Ibnu Abbas dan Ibnu Jubair menganggap potongan ayat itu sebenarnya berbunyi begini (terjemah): "Maka bila kamu telah mengambil manfaat dengan/dari isteri kalian untuk waktu tertentu (ilaa ajalin musammaa), maka berikanlah . . . " dan seterusnya (Tafsir-tafsir Thabari dan Abu Hayyan Al-Andalusi). Dan untuk waktu tertentu tentu saja menunjuk pada kawin mut'ah. Hanya saja keduanya jelas "kalah suara". Masalahnya: terhadap ayat yang akan dihimpun ke dalam buku Qur'an, waktu itu dikenakan dua syarat: pertama harus dihafal oleh kebanyakan orang, dan kedua harus ada bukti tertulisnya pada kepingan-kepingan semua orang yang mencatat wahyu -- batu atau pelepah korma atau semacamnya. Dan bahwa ketiga kata itu (untuk waktu tertentu) akhirnya tidak tercantum dalam Qur'an yang manapun, tentulah berhubungan dengan kedua syarat itu. Hanya saja Ibnu Abbas, saudara sepupu Nabi yang tetap terpandang sebagai ahli tafsir, tampaknya satu pribadi yang khas juga. Sesudah Khalifah Umar bin Khattab dengan keras melarang kawin mut'ah, sepeninggal Nabi, ia ada berkomentar: "Sekiranya Umar tidak melarang, tentulah orang-orang itu tidak akan sampai berzina" . . . Tetapi mengapa Umar, bagaikan Syah Iran, melarang praktek itu? Menyewakan Isteri Sudah pasti karena ia, seperti juga umumnya para Sahabat lain, yakin bahwa Nabi telah melarangnya. Dalam hal ini memang ada sedikit keburaman dalam kancah hadis. Nabi memang pernah mengizinkan mut'ah ini -- dan ini kenyataan -- pada Perang Khaibar. Tapi sesudah itu Nabi melarangnya, hanya saja hadis-hadis sekitar larangan ini bervariasi. Yang jadi soal barangkali, seperti dikatakan Maulana Muhammad Ali, karena perkawinan mut'ah merupakan kebiasaan yang sudah beruratberakar di zaman jahiliah -- bersama kebiasaan menyewakan isteri, mewarisi ibu tiri, dan pelacuran. Karena sudah tradisi, menghilangkannya pun sukar -- dan Nabi sendiri agaknya "mengambil kebijaksanaan" dalam melarangnya. Toh kesalah-fahaman tampaknya telah terjadi -- sebab bukankah kawin mut'ah itu kawin yang sah juga, bukan melacur? Sehingga walaupun Nabi sendiri melarangnya -- bahkan pada enam kesempatan -- di zaman Umar pun praktek itu rupanya masih perlu dilarang. Sulitnya ialah: fikh yang dipegang orang Syi'ah, juga himpunan hadisnya, berbeda dengan yang beredar di kalangan Islam mayoritas. Mereka misalnya tidak bergantung pada Bukhari-Muslim atau imam-imam hukum di kalangan Sunni. Tapi menarik, bahwa dalam fiqh klasik sebenarnya terdapat semacam "kompromi", yang sekaligus menunjukkan bahwa di zaman yang lebih awal masalah ini cukup aktuil. Dari kalangan Sunni misalnya, Imam Syafi'i dalam kitab induknya, Al Umm, ada memberi jalan bagi perkawinan sementara -- asal batas waktu itu tidak diucapkan dalam ijab kabul. Hukum-hukum nikahnya sama seperti biasa, dan talak juga diucapkan pada akhirnya. Sedang perjanjian "untuk sementara" itu dilakukan di luar upacara. Hanya saja imam mazhab hukum ini memandang perkawinan semacam itu sebagai makruh (satu tingkat sebelum haram). Keberatan terhadap mut'ah memang bisa datang dari pandangan falsafah syari'ah. Seperti kata Syekh Mahmud Syaltut, sesepuh Al-Azhar, Kairo: asas perkawinan yang bisa disimpulkan dari keseluruhan Qur'an adalah terbentuknya rumah tangga, kecintaan, dan rahmat satu sama lain. Buahnya anak-turunan, penyelenggaraan pendidikan bersama. Bila salah seorang berpulang lebih dulu, ada waris-mewaris. "Maka alangkah jauhnya kawin mut'ah itu dari asas yang seperti ini," katanya. Bahkan tokoh Syi'ah yang modern seperti Seyd Amir Ali, dari segi itu memandang mut'ah sebagai "tidak begitu terpuji." Kenyataannya, kawin mut'ah di Iran itu biasa dimanfaatkan oleh para lelaki yang misalnya sedang bepergian. Bahkan di sana dikabarkan cukup mudah dijumpai broker yang bisa menghubungkan anda dengan seorang wanita yang bisa dikawin sementara. Memang, bagi si wanita sendiri, ataupun keluarganya, ini merupakan upaya mengumpulkan kekayaan secara halal menurut keyakinan mereka. Syah Iran barangkali saja "malu" terhadap praktek seperti itu. Tapi sebenarnya toh belum jelas benar apa yang akan dilakukan para ulama di sana itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus