PERGUNDIKAN kelihatannya akan dihidupkan lagi di Iran. Memang
sudah dilarang di zaman Syah, dengan Undang-undang 1967. Tapi
pelembagaannya kembali sekarang ini merupakan bagian dari
penyesuaian perkawinan dengan adat-istiadat Islam. Demikian
berita Assoctated Press yang juga dimuat Kompas belum lama
berselang -- bahkan juga dimuat di koran bahasa Inggeris di
Kuwait. Dan Majlis Ulama Indonesia protes.
Sudah tentu. Pergundikan, seperti dinyatakan dalam siaran pers
dewan pimpinan Majlis, justru merupakan adat jahiliah yang sudah
dilarang Islam sejak kedatangannya. Ayatnya pun jelas:
"Nikahilah mereka dengan izin keluarga mereka, dan berikan
kepada mereka maskawin mereka dengan patut, dengan berumah
tangga, bukan dengan cara durjana, bukan pula berhubungan
gelapgelapan" (Q.4:25).
Tetapi AP tidak sembarangan -- setidaknya ia menyebut sumber.
Yakni Hujjatul Islam Mufatih, konon ajudan terdekat Khumaini
yang menerangkan hal itu di hari Kamis 6 April. Sebab
pergundikan "merupakan tindakan efektif untuk menekan
berkembangnya pelacuran." Bahkan seorang lelaki yang misalnya
sudah beristeri empat boleh mengambil gundik berapa saja,
sekuatnya membayar. Gundik ini tentu saja seperti isteri benar,
hanya saja, diterangkan, ia misalnya tidak memiliki hak waris,
dan lebih penting: ia "berdinas" dengan pembayaran tertentu
selama waktu yang disetujui bersama.
Dan bila demikian, maka ternyata yang dimaksud bukanlah gundik
benar. Bukan pula selir atau konkubin atau "simpanan" seperti
yang biasa difaham. Melainkan isteri yang didapat dari
perkawinan yang disebut mut'ah. Dan kawin mut'ah boleh jadi
memang asing bagi si wartawan -- bahkan layaknya bagi orang
Islam umumnya sekarang, kecuali yang Syi'ah.
Mut'ah (artinya pemberian, atau senang-Senang), memang
perkawinan sementara. Ia merupakan kontrak yang dilaksanakan
dengan ijab kabul seperti dalam nikah biasa. Hanya saja yang
diucapkan di situ bukan sekedar kesediaan dan besarnya maskawin,
tapi juga batas waktu -- baik 1 hari maupun bertahun-tahun.
Mut'ah bagi umumnya Syi'ah Imamiyah tidak memerlukan saksi. Si
wanita tentu saja harus tidak bersuami waktu itu, juga tidak
hamil -- tetapi lelaki memang boleh sudah beristeri, walaupun
andaikata empat orang ditambah isteri-isteri mut'ah yang lain.
Ibarat Paspor
Tak ada kewajiban si lelaki untuk menyediakan pangan atau
perumahan bagi si wanita -- sebab 'kan sudah ada perjanjian
harta. Juga mereka tidak waris-mewarisi -- kecuali, menurut
sebagian sekte Imamiyah, bila disebut dalam ijab kabul. Mut'ah
akan habis sendirinya bila waktu-berlakunya berakhir ibarat
paspor. Tapi sebelum berakhir, tak ada perceraian. Dan berbeda
dengan paspor, tidak ada perpanjangan. Yang ada ialah nikah
baru. Untuk itu memang ada masa iddah bagi si wanita: bukan tiga
kali masa suci seperti pada nikah biasa, tapi dua kali, atau 45
hari. Tapi bila si wanita nikah kembali dengan orang yang sama,
masa antara itu bisa terhapus. Dan bila mereka sampai punya
anak, anak ini tanggung jawab (bekas) suami.
Mengapa sampai ada nikah seperti itu dalam Islam? Tak bisa
dipercaya bila mereka tidak berpegang pada Qur'an. Ayat 24
An-Nisa antara lain menyatakan: "Maka bila kalian telah
mengambil manfaat (atau berseketiduran, atau bersenang-senang)
dengan isteri kalian, berikanlah kepada mereka maskawin mereka
yang telah ditetapkan." Para sahabat Nabi, antara lain Ibnu
Abbas dan Hasan bin Ali, menerangkan maksudnya bila telah
terjadi percampuran suami-isteri, maka maskawin yang dijanjikan
di waktu nikah dan belum dibayar harus ditunaikan penuh (dan
bila tidak, ada ayat lain yang mengatur).
Tapi Ibnu Abbas bersama Mujahid dan dua-tiga Sahabat lain juga
menyatakan, bahwa yang dimaksud ayat itu sebenarnya kawin
mut'ah. Malah Ibnu Abbas dan Ibnu Jubair menganggap potongan
ayat itu sebenarnya berbunyi begini (terjemah): "Maka bila kamu
telah mengambil manfaat dengan/dari isteri kalian untuk waktu
tertentu (ilaa ajalin musammaa), maka berikanlah . . . " dan
seterusnya (Tafsir-tafsir Thabari dan Abu Hayyan Al-Andalusi).
Dan untuk waktu tertentu tentu saja menunjuk pada kawin mut'ah.
Hanya saja keduanya jelas "kalah suara". Masalahnya: terhadap
ayat yang akan dihimpun ke dalam buku Qur'an, waktu itu
dikenakan dua syarat: pertama harus dihafal oleh kebanyakan
orang, dan kedua harus ada bukti tertulisnya pada
kepingan-kepingan semua orang yang mencatat wahyu -- batu atau
pelepah korma atau semacamnya. Dan bahwa ketiga kata itu (untuk
waktu tertentu) akhirnya tidak tercantum dalam Qur'an yang
manapun, tentulah berhubungan dengan kedua syarat itu.
Hanya saja Ibnu Abbas, saudara sepupu Nabi yang tetap terpandang
sebagai ahli tafsir, tampaknya satu pribadi yang khas juga.
Sesudah Khalifah Umar bin Khattab dengan keras melarang kawin
mut'ah, sepeninggal Nabi, ia ada berkomentar: "Sekiranya Umar
tidak melarang, tentulah orang-orang itu tidak akan sampai
berzina" . . . Tetapi mengapa Umar, bagaikan Syah Iran, melarang
praktek itu?
Menyewakan Isteri
Sudah pasti karena ia, seperti juga umumnya para Sahabat lain,
yakin bahwa Nabi telah melarangnya. Dalam hal ini memang ada
sedikit keburaman dalam kancah hadis. Nabi memang pernah
mengizinkan mut'ah ini -- dan ini kenyataan -- pada Perang
Khaibar. Tapi sesudah itu Nabi melarangnya, hanya saja
hadis-hadis sekitar larangan ini bervariasi.
Yang jadi soal barangkali, seperti dikatakan Maulana Muhammad
Ali, karena perkawinan mut'ah merupakan kebiasaan yang sudah
beruratberakar di zaman jahiliah -- bersama kebiasaan menyewakan
isteri, mewarisi ibu tiri, dan pelacuran. Karena sudah tradisi,
menghilangkannya pun sukar -- dan Nabi sendiri agaknya
"mengambil kebijaksanaan" dalam melarangnya. Toh kesalah-fahaman
tampaknya telah terjadi -- sebab bukankah kawin mut'ah itu kawin
yang sah juga, bukan melacur? Sehingga walaupun Nabi sendiri
melarangnya -- bahkan pada enam kesempatan -- di zaman Umar pun
praktek itu rupanya masih perlu dilarang.
Sulitnya ialah: fikh yang dipegang orang Syi'ah, juga himpunan
hadisnya, berbeda dengan yang beredar di kalangan Islam
mayoritas. Mereka misalnya tidak bergantung pada Bukhari-Muslim
atau imam-imam hukum di kalangan Sunni.
Tapi menarik, bahwa dalam fiqh klasik sebenarnya terdapat
semacam "kompromi", yang sekaligus menunjukkan bahwa di zaman
yang lebih awal masalah ini cukup aktuil. Dari kalangan Sunni
misalnya, Imam Syafi'i dalam kitab induknya, Al Umm, ada memberi
jalan bagi perkawinan sementara -- asal batas waktu itu tidak
diucapkan dalam ijab kabul. Hukum-hukum nikahnya sama seperti
biasa, dan talak juga diucapkan pada akhirnya. Sedang perjanjian
"untuk sementara" itu dilakukan di luar upacara. Hanya saja imam
mazhab hukum ini memandang perkawinan semacam itu sebagai makruh
(satu tingkat sebelum haram).
Keberatan terhadap mut'ah memang bisa datang dari pandangan
falsafah syari'ah. Seperti kata Syekh Mahmud Syaltut, sesepuh
Al-Azhar, Kairo: asas perkawinan yang bisa disimpulkan dari
keseluruhan Qur'an adalah terbentuknya rumah tangga, kecintaan,
dan rahmat satu sama lain. Buahnya anak-turunan, penyelenggaraan
pendidikan bersama. Bila salah seorang berpulang lebih dulu, ada
waris-mewaris. "Maka alangkah jauhnya kawin mut'ah itu dari asas
yang seperti ini," katanya. Bahkan tokoh Syi'ah yang modern
seperti Seyd Amir Ali, dari segi itu memandang mut'ah sebagai
"tidak begitu terpuji."
Kenyataannya, kawin mut'ah di Iran itu biasa dimanfaatkan oleh
para lelaki yang misalnya sedang bepergian. Bahkan di sana
dikabarkan cukup mudah dijumpai broker yang bisa menghubungkan
anda dengan seorang wanita yang bisa dikawin sementara. Memang,
bagi si wanita sendiri, ataupun keluarganya, ini merupakan upaya
mengumpulkan kekayaan secara halal menurut keyakinan mereka.
Syah Iran barangkali saja "malu" terhadap praktek seperti itu.
Tapi sebenarnya toh belum jelas benar apa yang akan dilakukan
para ulama di sana itu.