Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

’’Saya Tidak Mau Turun Pangkat”

17 Oktober 1999 | 00.00 WIB

’’Saya Tidak Mau Turun Pangkat”
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
WALAUPUN banyak pihak meminta B.J. Habibie mundur dari pencalonan sebagai presiden RI, orang Parepare berusia 64 tahun ini tetap yakin bahwa ia akan memenangi kursi orang nomor satu Republik. Di Gedung MPR Senayan, Kamis mendatang, para anggota MPR siap ’’membidik” pidato pertanggungjawabannya, tapi B.J. Habibie kelihatan santai. Sabtu sore lalu, di Istana Merdeka, Jakarta, ketika menerima Bambang Harymurti, Wahyu Muryadi, Andari Karina Anom, dan Purwani D. Prabandari serta fotografer Rully Kesuma dari TEMPO untuk sebuah wawancara khusus, ia kelihatan trendi dengan jas biru tua dan dasi Winnie The Pooh berwarna kuning biru. Sambil menjawab berbagai pertanyaan dengan semangat, tangan kanannya menggenggam tasbih berwarna cokelat. Berikut petikan wawancara sekitar satu setengah jam itu.

Mengapa hingga saat ini Anda tetap ingin maju sebagai presiden mendatang?

Manusia mempunyai pemikiran-pemikiran untuk dikembangkan. Seorang pemimpin bangsa dikatakan berhasil jika yang dipimpinnya itu lebih baik dari yang memimpin.

Motivasi Anda tetap maju?

Saya bukan orang muda lagi. Usia saya sekarang sudah jalan 64 tahun. Tapi saya melaksanakan semua tugas dengan sebaik-baiknya. Dan yang memberikan saya dorongan terbesar adalah sukses itu sendiri. Orang yang successful akan lebih mantap menghadapi yang lain, berbeda dengan orang yang selalu frustrated.

Anda ingin mengulang karena sukses?

Saya tidak mau mengatakan apakah saya sukses atau tidak dalam jabatan ini. Karena yang bisa menilai bukan saya, tetapi rakyat sendiri.

Hal apa yang menyebabkan Anda yakin bahwa Andalah yang paling layak menjadi presiden mendatang?

Saya tidak menganut pemikiran bahwa diri saya yang terbaik. I’m not that kind of man. That’s not my culture.

Jadi, apa yang membuat Anda yakin untuk terus maju?

Waktu saya dilantik menjadi presiden, kebetulan saya sedang berpuasa pada hari Kamis. Hari Jumat saya umumkan kabinet. Hari Sabtu saya melantik kabinet. Sabtu malam saya menerima Emil Salim, Nurcholish Madjid, dan lainnya. Mereka bilang saya harus mundur. Bulan Juni 1998, saya diwawancarai oleh Kompas, saya menjelaskan, saya sampaikan (pesawat) kita ini dalam kondisi superstall. Jalannya begini (tangannya menirukan kapal terbang yang menukik ke tanah, Red.). Kapal terbang ini menabrak gunung, kapten pilotnya semaput. Sebagai co-pilot, saya harus berusaha agar tidak menabrak lagi. Saat saya sedang berkonsentrasi menyelamatkan passenger saya yang 200 juta, tiba-tiba stewardess-nya ribut, menendang-nendang dan terus-menerus bertanya: kapan kita sampai? Saya bilang, jangan ganggu saya. Saat kapal terbang sedang turun, stewardess-nya bertanya terus: kapan bisa catch-up? Sesudah catch-up, saya harus naik lagi sebelum sampai ke posisi semula. Saya bilang, I need three months. Jadi, bulan September. Banyak orang berkomentar, Habibie itu crazy guy, otaknya tidak bisa keluar dari konteks kapal terbang. Payahnya, kenapa saya harus diganggu terus supaya catch-up. Padahal, saya masih harus naik lagi. Sambil saya naik lagi, sambil saya perbaiki, sampai ketinggian jelajah. Diketinggian ini tak akan terjadi superstall lagi.

Jadi, Anda pilot yang paling tepat untuk pesawat itu?

Tergantung mekanismenya. Saya tidak bisa menilai diri saya sendiri, dong. Waktu masih kuliah di Jerman, setiap ujian, misalnya kami diberi waktu lima jam untuk satu soal, biasanya dalam tiga jam saya sudah selesai. Di luar kelas, saya tanya pada beberapa kawan. Ada yang bilang ujian itu biasa saja. Ada pula yang bilang lumayan. Ternyata, ketika minggu depan kami melihat nilai, saya mendapat nilai 10. Mereka yang bilang bahwa ujian ini biasa saja malah cuma mendapat nilai 5. Kalau saya bisa, kenapa saya mesti ngomong-ngomong? Adalah sesuatu yang normal if you just do your best. Di sini yang menilai adalah rakyat.

Bagaimana jika rakyat menilai bapak lebih cocok jadi co-pilot atau wapres?

Saya tidak mau. Saya kan kapten, masa mau diturunkan pangkat. Nggak mau dong, ha-ha-ha....

Anda tidak mau kalau bukan kapten?

Bagi saya, selama membuat pesawat terbang, I’ll always be the captain.

Bagaimana jika dua wapres?

Ya, pesawatnya harus didesain dulu untuk dua co-pilot.

Kan bisa melalui amandemen UUD 45?

Ya, terserah saja. Kalau pesawat mau didesain untuk sepuluh ko-pilot pun boleh.

Jika pertanggungjawaban Anda tidak lulus, apakah tetap mau jadi kapten?

Ya, terserah. Kalau dibilang nggak lulus dan disuruh out, saya out. Kalau dibilang lulus dengan catatan dan boleh menjadi kapten, saya akan lihat dulu apakah kelulusan itu halal atau tidak, ikhlas atau tidak. Kalau nggak, ngapain?

Mengapa pingin sekali menjadi kapten?

Saya tidak kepingin jadi presiden. Saya menjadi presiden bukan karena saya merekayasa. No way. Manusia berusaha, Allah menentukan.

IMF dan Bank Dunia menekan bahwa jika longform PwC dalam kasus Bank Bali tidak dikeluarkan, mereka akan menghentikan bantuannya. Bagaimana ini?

Kita appreciate bantuan dari siapa pun. Tapi kita harus memperhatikan rambu-rambu dalam bentuk undang-undang yang berlaku hasil produk hukum wakil-wakil rakyat. Di negara kita yang paling tinggi adalah kedaulatan rakyat.

Bagaimana dengan kabar bahwa Timmy Habibie (adik Presiden) terlibat dalam masalah ini? Anda menyelidikinya?

Apanya yang mau diselidiki? Anda sendiri yang pertama menulis ada Rp 400 miliar ke rekening Habibie. Waktu itu saya pulang kantor, terus sekretarisnya Ibu bilang, ’’Ini, Pak, di TEMPO Bapak dibilang begini.” Saya tidak punya waktu membaca. Dia bertanya, ’’Bagaimana, nih, Pak.” Saya buang ke tempat sampah. Ini shit! Kenapa saya mau ribut-ribut? Saya juga tidak marah sama Anda. Ada yang menyarankan supaya saya menuntut, tapi kenapa saya harus melakukan itu. Nobody’s perfect. Kalau saya main tuntut dengan kekuasaan saya, ngapain? Saya malah bersyukur bahwa Indonesia memiliki manusia yang kritis seperti Anda-Anda.

Bagaimana dengan pelaksanaan ketetapan MPR mengenai korupsi dan mantan presiden Soeharto?

Kasus-kasus korupsi yang ada di sini tidak bisa diselesaikan dalam 512 hari atau 12.021 jam. Tapi kita lihat kasus Presiden Marcos yang baru bisa selesai setelah 13 tahun. Dia jadi presiden 20 tahun. Pak Harto menjadi presiden selama 32 tahun. Sedangkan saya? Masa, saya harus menyelesaikan dalam 17 bulan. Dan bukan cuma itu, masih banyak yang harus kita kerjakan, khususnya dalam menegakkan supremasi hukum. Kemarin, katanya, tanggal 8 Oktober, mereka akan merampungkan dan tanggal 11 mereka akan melaporkan kepada saya.

Bagaimana kisah opsi Tim-Tim itu?

Saya tidak bisa hidup tanpa ada wawasan yang saya yakini. Sebagai seorang ahli teknik, untuk keadaan apa pun, saya selalu menggambarkannya tidak sebagai roman tetapi sebagai matematik dalam bentuk kumpulan persamaan diferensial dan integral.

Apa hubungannya dengan dua opsi untuk Tim-Tim itu?

Sebentar dulu. Saya punya persamaan untuk Tim-Tim, tapi saya belum mengerti rambu-rambu atau batasannya. Karena itu, bulan Juni (1999), saya memanggil Uskup Belo. Ketika itu untuk pertama kali saya mendapat rambu-rambu atau batasan dari orang yang saya anggap jujur. Dengan memperhatikan itu, baiklah kita berikan kepada rakyat Tim-Tim untuk menentukan dia mau apa. Mengapa? Karena Tim-Tim tidak seperti ke-26 provinsi lain yang tidak memiliki masalah di PBB. Untuk Tim-Tim, ada delapan resolusi Sidang Umum PBB, dan tujuh resolusi Dewan Keamanan PBB.

Apakah saat itu Anda tahu kalau diberikan opsi lepas dari Indonesia, pasti opsi lepas yang diambil?

Tidak. Itu bukan maksud saya. Saya bukan mau menang. Bukan itu penyelesaiannya. Yang saya mau, supaya rakyat Tim-Tim memilih sendiri. Jadi, saya selesaikan [opsi] itu. Itikad saya satu, agar mereka mendapat ketenangan dan setelah itu hidup sebagai tetangga yang baik.

Waktu jajak pendapat itu dinilai kurang tepat....

Kalau mereka putuskan apa saja, saya harus melaporkan kepada Sidang Umum MPR. Dan (keputusan itu) harus dikukuhkan dengan ketetapan MPR. Karena itu, saya tidak bisa melakukannya setelah SU MPR.

Mungkin Anda cocok menjadi presiden di Eropa Barat. Jangan-jangan Indonesia belum siap memiliki presiden yang menyelesaikan soal dengan matematik?

Mungkin saja itu benar. Saya tidak tahu. Tetapi kita memasuki globalisasi dan masyarakat informasi. Kalau mereka sudah memanfaatkan metode-metode dan sistem yang sangat canggih, kita juga harus bisa menghadapi.

Hari Senin ini rapim Golkar. Mereka akan menarik dukungan pencalonan Anda?

Saya rasa Golkar cukup meyakinkan sebagai suatu organisasi politik yang mempunyai sistem yang berdisiplin dan konsisten. Saya tidak bisa membayangkan bahwa sesuatu yang telah begitu lama dia perjuangkan tiba-tiba dia ganti hanya dua hari sebelumnya. Itu counter-productive.

Jika Golkar meloloskan Anda, apakah itu rekayasa untuk membiarkan Anda memberikan pertanggungjawaban di sidang umum nanti. Dan kemudian kalau laporan Anda ditolak, mereka mencari calon lain?

Saya tidak melihat alasan untuk percaya adanya itu. Karena semua kader Golkar saya kenal baik selama 20 tahun. Jadi, saya kenal Pak Akbar Tandjung itu sudah begitu lama.

Mengapa Anda memilih Wiranto sebagai calon wapres?

Dalam memikirkan sistem itu, saya berpendapat bahwa dalam dwitunggal presiden dan wapres, kalau presidennya bukan orang Jawa, wapresnya harus Jawa. Kalau presidennya orang Jawa, wapresnya bisa Jawa, bisa juga non-Jawa. Walaupun yang mengandung Bacharuddin Jusuf Habibie itu rahimnya adalah orang Jawa 100 persen. Ibu saya orang Jawa. Di makamnya tertulis Raden Ayu Tuti Marini Puspowardojo. Dan kebetulan beliau cicit Dr. Citrowardojo, yang menjadi dokter tahun 1860-an. Jadi, berdasar itu, tetapi nanti terserah MPR, saya melihat kalau presidennya bukan orang Jawa, wapresnya harus dari Jawa. Bisa Sultan Hamengku Buwono atau siapa saja.

Mengapa harus militer?

Sekarang, dalam sementara waktu ini, saya, secara pribadi, berpendapat memang harus militer yang mendampingi saya. Sebab, saya bukan dari militer. Kalau saya dari militer, akan lain. Karena kita menghadapi globalisasi, demokratisasi. Persatuan dan kesatuan kita diganggu. Jadi, mereka kita butuhkan. Itu rasional.

Jadi, Wiranto sangat layak?

Untuk ini, bukan hanya Pak Wiranto, tetapi siapa pun juga yang pernah menjabat Panglima ABRI.

Tetapi bukannya popularitas Wiranto jauh menurun karena begitu banyaknya kekerasan militer akhir-akhir ini?

Dibandingkan dengan peralihan dari presiden pertama ke presiden kedua, sekarang relatif sedikit kekerasannya. Anda lihat waktu demo dulu. Bagaimana beliau (Wiranto) menghadapinya. Ribuan orang yang terlibat. Dan demonya sendiri terjadi sampai 3.200 kali. Bahkan lebih. Bagaimana beliau bisa mengamankan sidang istimewa. Itu bagus. Dan beliau lulusan nomor satu dari Akabri.

Jadi, Anda lebih suka dengan Wiranto?

Bukannya saya lebih suka. Saya hanya memberikan informasi mengenai Pak Wiranto. Saya tadi memberikan kriteria. Saya tidak dibenarkan untuk ’’lebih suka”. Yang menentukan bukan Habibie. Yang menentukan adalah anggota MPR yang terhormat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus