Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH mengundang beberapa tokoh PPP dan PDI untuk diwawancarai
di kantor TEMPO, serombongan wartawan TEMPO atas permintaan -
telah berkunjung ke MB DPP Golkar, Jl. Majapahit, Jakarta.
Mereka diterima oleh Cosmas Batubara, 38, sekretaris bidang
organisasi David Napitupulu, 42, sekretaris bidang pemuda dan
ketua umum KNPI dan Moerdopo, 41, bendahara. Selain ketiga
anggota DPP itu, hadir pula empat anggota DPR dari Fraksi Karya:
Sarwono Kusumaatmadja, 34 dulu ketua dewan mahasiswa ITB,
Rachmat Witular, 36, Ida Ayu Utanzi Piddda, 33 dan Djoko
Sudyatmiko, 33. Selain keempat eksponen Bandung itu, turut hadir
calon anggota DPR dari Golkar, Akbar Tanjung, 33, tadinya ketua
umum HMI.
Di samping wawancara malam itu, yang berlangsung antara jam 8
sampai 11 malam, tokoh-tokoh Dewan Pembina Golkar pun
diwawancarai, seperti Mayjen Mas Isman (ketua umum Kosgoro) dan
Mayjen R.H. Sugandhy (ketua umum MKGR). Sayang, TEMPO tidak
berhasil bertemu dengan anggota Dewan Pembina lainnya, Letjen
Ali Murtopo dan ketua umum DPP Golkar Amir Murtono. Tapi dua
orang cendekiawan yang dekat dengan Golkar sempat dihubungi:
Harry Tjan Silalahi SH (staf Centre for Strategie and
International Studies) dan D.H. Assegaff (penanggungjawab harian
Suara Karya). Rahman Tolleng juga berhasil ditemui. Ia bekas
sekretaris bidang Tani dan Nelayan serta anggota Fraksi Karya
Pembangunan.
Seorang menteri yang ikut kampanye untuk Golkar pun memberikan
keterangannya: Menteri Perhubungan Emil Salim. Sementara itu ada
beberapa pendapat tentang Golkar yang dalam laporan terdahulu
belum sempat dimuat. Misalnya dari bekas tokoh PNI Ruslan
Abdulgani dan dua tokoh PDI, rans Seda dan Manai Sophiaan.
GOLKA menang lagi. Tapi dibanding hasil yang dicapai dalam
Pemilu 1971 (62,8%), dalam pemilu 1977 ini (62,14%), Golkar
mengalami sedikit penurunan sekitar 0,5%. Padahal jauh
sebelumnya, ketua umum DPP Golkar Amir Murtono sudah
mentargetkan suara yang minimal sama dengan hasil pemilu 1971.
Tapi tampaknya hal itu juga sudah disadari oleh Amir Murtono,
yang menyebut bahwa mencapai hasil seperti tahun 1971 "sudah
cukup berat". Sebab baginya, "meraih kemenangan lebih gampang
dari mempertahankannya".
Di mata Chris Siner Key Timu, ketua umum PMKRI, kemenangan
Golkar tahun 1977 ini dinilai sebagai kemenangan antara
tandakutip. Dengan fasilitas macam-n1acam, dengan mengerahkan
hampir semua materi dan pejabat daerah, prosentase suara Golkar
malah kurang dibanding tahun 1971. "Mestinya Golkar bisa menang
100%", kata Chris.
TEMPO. Apakah kemenanan itu sudah maksimal dan seperti yang
diharapkan? Apakah kasus Jakarta, di mana PPP unggul, merupakan
petunjuk bahwa di daerah di mana demokrasi berkembang - dan ada
kemampuan membanding yang kritis di kalangan pemilih -- maka
Golkar kalah? Dan karenanya bisa pula disebut bahwa: Semakin
iauh dari Jakarta, demokrasi semakin berkurang hingga Golkar
menang?
Cosmas Batubara: Memang secara nasional faktanya suara Golkar
berkurang. Tapi di beberapa daerah suara itu meningkat. Misalnya
di Jawa Timur, karena ada pembinaan. Di banyak kabupaten suara
Golkar bertambah. Pasangsurut jumlah suara itu juga ditentukan
oleh berubahnya sikap pemilih. Adanya fasilitas tak dengan
sendirinya dapat dihubungkan dengan banyak sedikitnya suara yang
diperoleh.
Moerdopo: Suara Golkar banyak terkumpul di daerah di mana sarana
pembangunan selama 5 tahun ini membaik. Di 11 kabupaten Jawa
Timur, tahun 1971 suara Golkar minim. Tapi tahun 1977, karena
adanya pembangunan, suara yang minim itu tinggal 5 kabupaten
saja. Kasus Jakarta, belum cukup merupakan gambaran umum. Juga
bila dibanding dengan kota besar lainnya. Di kotamadya Surabaya.
suara Golkar lebih baik dari tahun 1971. Dan tidak benar bahwa
semakin jauh dari Jakarta, demokrasi berkurang. Contohnya Aceh,
yang paling jauh dari Jakarta. Kalau dikatakan di sana demokrasi
kurang tentunya Golkar menang. Tapi nyatanya kok kalah.
Moerdopo juga mengemukakan penjelasan apa sebabnya kursi Golkar
kini berkurang di Jawa. Ini menyangkut perubahan jumlah kursi
untuk setiap propinsi di Jawa. Menurut Moerdopo, berbeda dengan
pemilu tahun 1971, untuk memperoleh sebuah kursi di Jawa kini
dibutuhkan jumlah suara yang lebih banyak. "Jadi harga kursi di
Jawa sekarang lebih mahal", kata Moerdopo.
Sarwono Kusumaatmadja: Saya juga punya asumsi bahwa di daerah
yang belum terbina, suara Golkar turun. Anehnya di Bandung, di
mana mahasiswa aktif bergerak, suara Golkar mestinya turun. Tapi
baik di TPS di kampus atau asrama ITB maupun di pinggiran
Bandung, Golkar menang berimbang dengan kontestan lain.
TEMPO: Apa yang dimaksud dengan 'pembinaan' itu ? Dan caranya
bagaimana?
Moerdopo: Pembinaan organisasi. Di daerah di mana belum ada
komisaris Golkar, tentunya massa pemilih dibina oleh komisaris
kontestan lain.
TEMPO: Tampaknya Golkar kuran memperhatikan angkatan muda.
Mengapa? Dalam pemilu 1977 ini, angkatan muda dan mahasiswa
lebih banyak bersimpah pada parpol.
Sarwono: Bahwa angkatan muda cenderung pada parpol, itu tak
begitu menggembirakan bagi Colkar. Tapi secara nasional,
menguntungkan. Dan dilihat dari sudut perombakan struktur
politik, hal itu positif. Seperti halnya di Amerika, tidak ada
lagi ikatan yang tidak berubah terhadap satu kontestan. Dan hal
itu biasa, sebab generasi muda dibesarkan dalam suasana politik
sesudah 1966. Cuma harus diingat bahwa semua fihak tentunya
menghendaki perbaikan kwalitatif.
ADA yang berpendapat bahwa kampanye tahun 1977 ini lebih
'santai' dibanding tahun 1971. Tapi Manai Sophiaan. bekas tokoh
PNI berpendapat lain. "Sekarangpenekanan terhadap parpol lebih
keras dibanding tahun 1971 dulu", katanya. "Dulu Golkar tidak
takut kalah, karena situasinya sudah jelas. Sekarang Golkar
ketir-ketir, apalagi melihat massa PPP yang begitu meluap. Di
kota-kota besar, penekanan itu memang tidak terasa. Tapi coba
lihat di daerah".
TEMPO: Apakah Golkar juga mendengar adanya kekerasan, penekanan
yang umumnya dialami oleh PPP dan PDI? Hal seperti ini menurut
pengakuan orang parpol memang tak dilakukan oleh Golkar.
Melainkan oleh aparat pemerintah dan keamanan. Dan nyatanya hal
seperti ini, sepanjang yang kami baca di suratkabar - juga
berdasarkan laporan yang kami terima - tidak pernah dialami oleh
Golkar.
Cosmas: Kami juga punya setumpuk daftar massa Golkar yang
menjadi korban kekerasan. Di Yogya misalnya, Golkar diperlakukan
dengan keras oleh PPP. Dan menyebut Golkar sebagai 'kafir' saya
kira lebih keras dari pada disebut sebagai koruptor. Kami juga
sudah mendengar adanya kekerasan yang banyak dibicarakan dalam
Forum Kontak dan Komunikasi. Kami sendiri kadang-kadang berfikir
apa memang hal seperti itu bisa terjadi. Kami selalu melihat
dulu laporan yang mana, benar atau tidak. Tapi setelah dicek,
kenyataannya lain, dibesar-besarkan. Dan kami kan tidak mau
bantah-membantah.
Moerdopo: Soal kekerasan, kita harus tahu dulu apa sebenarnya
yang ada di benak parpol hingga mereka berkata begitu. Tapi
dalam hal ini toh sudah diselesaikan dengan para pejabat
setempat. Dan yang dituduh melakukannya kan bukan Golkar.
Laporan surat-surat kabar pun belum tentu benar.
TEMPO: Benarkah 'penekanan' dalam pemilu 1977 ini lebih keras
dari tahun 1971?
David: Kalau ada anggapan bahwa penekanan tahun 1977 lebih keras
dari tahun 1971, barangkali soalnya demikian: Tahun 1977,
kebebasan menyatakan pendapat, juga keberanian orang, lebih
banyak peluangnya. Dibanding tahun 1971, maka 1977 ruang gerak
itu lebih luas. Orang lebih berani bersuara. Itu yang pasti.
Moerdopo: Yang jelas dalam pemilu 1977 ada perubahan yang dulu
tidak ada. Misalnya banyaknya jalan yang bisa dilalui sepeda
motor dan kolt untuk membawa massa. Ini dapat mempengaruhi
suasana kampanye.
Tentang ekses pemilu itu, ada pendapat yang menarik. Yaitu dari
Harry Tjan Silalahi SH, staf CSIS (Centre for Strategic and
International Studies). Ia mengumpamakannya sebagai usaha
'imunisasi' seorang anak. "Setelah anak disuntik, biasanya lalu
timbul panas. Gejala ini harus diterima sebagai konsekwensi
untuk membuatnya kebal terhadap serangan yang lebih berbahaya.
Efek samping itu mutlak", katanya. Tapi kita toh tidak tinggal
diam untuk mencegah efek samping itu. Jadi suasana panas itu
lazim timbul dalam proses pemilihan. Tapi pemerintah juga tidak
boleh tinggal diam untuk mengatasi efek itu", kata Harry.
Masalahnya tentu, apakah suntikan itu cukup sepadan - hingga
kelak si "anak" tidak jadi kapok.
Sementara itu, dalam wawancara khusus, baik Akbar Tanjung maupun
Sarwono Kusumaatmadja menyayangkan kontestan yang mengandalkan
"ikatan-ikatan primordial" seperti menampilkan tema agama.
TEMPO: Bahwa PPP menampilkan lema agama, barangkali masih bisa
diterima. Tapi kalau dalam kampanye nyatanya Golkar juga
menampilkan tematema agama, apakah itu bukan berarti menyimpang
dari orientasi perombakan struktur politik, seperti dulu sering
didengung-dengungkan oleh Golkar?
Cosrnas: Golkar sekedar menjelaskan, mendudukkan persoalan agama
pada proporsinya.
Moerdopo: Lagi pula agama bukan titik berat kampanye Golkar.
Titik berat kampanye Golkar adalah pemerataan pemhangunan.
KRITIK terhadap Golkar karena menampilkan tema agama, juga
datang dari Rahman Tolleng, bekas sekretaris bidang Tani dan
Nelayan DPP Golkar, bekas anggota DPR raksi Karya Pembangunan.
Baginya, itu merupakan set back (kemunduran - Red.). "Golkar
yang dikenal berorientasi pada program itu seharusnya
mengemukakan program-programnya", kata Tolleng. "Tapi nyatanya
Golkar malah mengikuti pola permainan lawan. Lucunya, kok malah
PPP yang banyak bicara tentaulg mempertahankan Pancasila dan UUD
'45, sementara Golkar sibuk dengan tema-tema agama".
Tapi apa kata Mayjen R. Sugandhy, salah seorang anggota Dewan
Pembina DPP Golkar. "Soalnya Golkar menyadari sepenuhnya bahwa
90% pnduduk beragama Islam. Jadi untuk mengajak mereka, harus
digunakan bahasa yang sama dengan bahasa mereka", katanya. "Dan
ini direncanakan dengan baik, dengan maksud menunjukkan kepada
mereka hasil pemilu 1971, yaitu suksesnya pemerintah dan Golkar
dalam pembangunan", kata Sugandhy.
Bagi Menteri Penerangan Mashuri, kemenangan Golkar juga salah
satu sebabnya ialah karena masyarakat kita masih
"paternalistis". Dengan kata lain suara 'dari atas' menentukan
suara dari bawah.
TEMPO: Tidakkah patemalisme itu justru bertentangan dengan
gagasan floating mass (masa mengambang)?
Sarwono: Paternalisme itu adalah salah satu jenis dari sikap
manusia. Tapi massa PPP maupun PDI kan juga paternalistis.
Mereka memilih PPP misalnya, karena faktor-faktor fanatisme.
Yang ideal ialah bila massa memilih kontestan menurut
kepentingannya, karena alasan-alasan program. Golkar
menginginkan yang ideal itu, yang lebih maju.
Bagi D.H. Assegaff, Golkar yang baru berusia 10 tahun, tidak
seuntung parpol. "Golkar harus menciptakan infra struktur
sebaik.baiknya. Parpol yang lahir jauh sebelum kemerdekaan punya
infra struktur baik sampai desa. Dan meskipun sekarang parpol
tidak boleh sampai di desa, tapi saya kira kader-kader Kasimo
ataupun Natsir masih ada", kata penanggungjawab Suara Karya,
koran Golkar itu.
Di lain fihak, inilah pendapat Mayjen Isman alias Mas Isman,
anggota Dewan Pembina DPP Golkar. "Sejak dulu saya tidak setuju
dengan massa mengambang. Sebab akan menimbulkan floating leader
(pemimpin mengambang)", katanya. "Yang baik, ya yang biasa-biasa
sajalah. Rakyat harus dididik secara wajar, kompetitif dan
sehat, jangan dianggap bodoh. Tugas pemimpin ialah membawa
rakyat sampai ke tujuan. Tapi mereka bukan bebek, sebab hanya
bebek yang bisa floating. Sekarang, tugas kita bersama ialah
meningkatkan cara berfikir mereka".
Isman benar. Sebab nyatanya, setidaknya menurut pengamatan
Menteri Emil Salim, di beberapa daerah 'bebekbebek' itu tidak
ada. Berkampanye atas permintaan Golkar untuk daerah luar Jawa,
kepada TEMPO ia menyatakan, "di luar Jawa kesadaran politik
ternyata tinggi. Cerdas. Dan pembangunan politik tumbuh". Hal
itu baginya membuktikan adanya peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pemilu 1977, yang berbeda keadaannya dengan
pemilu 1971.
Menurut sejarahnya, duiu, sementara parpol-parpol masih sibuk
dengan orientasi ideologi, muncullah Golkar memperkenalkan
'semangat pembaharuan' dengan "berorientasi pada program". Dan
cita-cita 'perombakan struktur politik' itu dimulai dengan
dikelompokkannya berbagai partai dalam: PPP, PDI dan Golkar.
TEMPO: Dalam rangka perombakan struktur palitik, sejauh mana
Golkar melihat mekanisme DPR sekarang cukup memuaskan atau
belum?
Cosmas: Mekanisme DPR sekarang ini tidak menghalangi apa-apa.
Mekanisme kan juga tergantung dari sesuatu materi yang
dibicarakan, mau diapakan? Tapi harus diingat bahwa DPR hanyalah
sebagian unsur saja dari keseluruhan tatanan politik kita. Masih
ada komponen lain. Sementara itu mekanisme masih bisa
dikembangkan lebih lanjut, meskipun memang memerlukan waktu yang
lama. Fraksi Karya sendiri pernah mengeluarkan pernyataan,
mengingatkan adanya konsensus untuk menciptakan sistim politik
yang baik.
David: Di DPR nanti, Golkar akan memperjuangkan hak angket. Dan
saya kira para anggota DPR juga perlu didampingi oleh staf ahli
agar supaya lebih bermutu.
Cosmas: Soal staf ahli itu di masa mendatang akan didiskusikan.
Tapi soalnya ialah apakah dananya ada? Soal lain ialah: Antara
lembaga legislatif dan eksekutif selama ini tidak ada 'gayung
bersambut'. Para anggota DPR sudah bicara begini, bertemu dengan
eksekutif, tapi kemudian tidak ada tindak lanjut.
Moerdopo: Dalam waktu 5 tahun mendatang ini kita harapkan akan
ada lembaga-lembaga yang melakukan 'gayung bersambut' itu.
Lembaga-lembaga itu hendaknya memberikan umpan balik dan jangan
diam saja. Sekarang ini memang dirasakan kurang komunikasi
antara legislatif dan eksekutif. Jadi dalam hal ini janganlah
melihat masalahnya pada DPR saja.
Djoko Sudyatmiko: Hambatan dalam mekanisme DPR sebenarnya tidak
ada. Kalau ada kekurangan, itu biasa kan? Dan soalnya tatatertib
DPR itu tidak setingkat dengan undang-undang. Untuk masa yang
akan datang diharapkan DPR punya ketentuan yang mengikat seperti
undang-undang selama ini, kita ngomong begini, eksekutif begitu.
Lalu selesai.
Cosmas: Kalau tidak mulai sekarang kita membangun demokrasi.
kapal lagi? Kita akan mengusahakan sistim yang berbobot, sebuah
parlemen yang didengar oleh semua fihak. Kekurangan seperti itu
juga kita rasakan sendiri.
Rahmat Witular: Saya kira sekarang ini efektivitas DPR meningkat
sedikit demi sedikit. Tapi secara totalitas, semua toh
berkepentingan dengan pembaharuan politik. Jadi satu sama
lainnya bergerak ke arah kesempurnaan. Juga pers. Maka sebaiknya
pers tunjuk hidung saja, anggota DPR mana yang diam saja, yang
tidak melakukan apa-apa.
TEMPO: Kami ingin tahu program atau pendapat Golkar yang
kongkrit tentang beberapa hal. Seperti pemberantasan korupsi,
kebijaksanaan ekonomi termasuk penanaman modal asing,
landreform.
Moerdopo: Dalam pidato terakhir di TVRI Amir Murtono dengan
tegas menyatakan tidak setuju dengan korupsi. Tapi korupsi kan
tidak bisa diberantas dengan bicara saja. Faktor-faktor lain
harus pula diperhitungkan, misalnya menaikkan gaji pegawai,
memperbaiki budi pekerti, faktor mental pegawai, memberi suri
tauladan dan sebagainya.
David: Memang dalam hal pemberantasan korupsi suara Golkar
seolah-olah kurang nyaring. Tapi di parlemen bisa diperiksa
dokumen-dokumen perjuangan Golkar. Kenyataannya kami lebih dari
nyaring. Cuma soalnya tidak ada koran yang memuat.
Cosmas: Soal landreform. Golkar tidak hanya memperjuangkan soal
landre form saja, tapi lebih dari itu. Misalnya landuse
(penggunaan tanah - Red). Juga hal lain yang berkaitan dengan
masalah agraria. Golkar juga memperjuangkan masalah yang
berhubungan dengan UU Perburuhan, misalnya jaminan kerja,
kesehatan kerja dan sebagainya.
Tentang landreform dan penanaman modal asing, Harry Tjan juga
berbicara. Baginya, landreform itu perlu. "Terutama di daerah
Jawa dan Bali yang sudah amat padat penduduknya", katanya.
Tentang modal asing, ia hanya berkata singkat: "Undang-undang
Penanaman Modal Asing sudah cukup baik, kalau dilaksanakan
dengan konsekwen".
TEMPO: Selama ini belum terdengar adanya UU yang datang dari
inisiatif angota DPK. Selain atas inisiatif pemerintah.
Cosmas: Kita akui selama 5 tahun ini memang belum pernah ada.
Tapi sebaliknya DPR juga banyak menampung keresahan masyarakat,
dirumuskan dalam bentuk resolusi hinga lebih konkrit apa yang
diinginkan. Dalam hal ini DPR telah berfungsi sebagai penyerap
aspirasi masyarakat.
TEMPO: Bagaimana dengan UU Subversi Apakah Golkar ada niat untuk
memperjuangkannya supaya dicabut?
Cosmas: Secara keseluruhan Golkar mendorong usaha untuk meninjau
perundang-undangan yang ada. Diseleksi, mana yang perlu
penyesuaian baru. Dalam sidang-sidang DPR nanti akan ada tugas
untuk meneliti kembali peraturan-peraturan yang ada.
TEMPO: Bagaimana dengan pembinaan hakim, juga masalah pemindahan
hakim yang selama ini agak sulit dilaksanakan ?
Cosmas: Golkar memperhatikan masalah itu dalam rangka pembinaan
hukum keseluruhan. Soal pembinaan hakim memang lama kita
perbincangkan. Golkar menghendaki bagaimana supaya pemindahan
hakim bisa terlaksana lebih cepat. Tapi selalu saja terbentur
pada biaya. Soal lain yang belum selesai ialah apakah hakim
ditangani oleh Mahkamah Agung atau Departemen Kehakiman.
TEMPO: Apa pendapat Golkar mengenai masa transisi, dan apakah
Golkar sekarang ini juga berpendapat bahwa sesudah pemilu 1977,
masa transisi itu sudah berakhir? Dalam salah satu bukunya
Letjen Ali Murtopo mengemukakan, sesudah pemilu 1977, pendulum
tidak lagi bergerak ke kiri dan ke kanan. Dengan demikian masa
transisi sudah berakhir. Sementara itu dalam UU Pokok Pers
disebutkan, masa transisi berakhir setelah terbentuknya MPR
hasil pemilu 1971. Dan selama masa transisi itu, masih
dibutuhkan sebagi penerbitan pers. Dalam setiap kongres, PWI
selalu mengharap agar SIT itu dicabut. Bagaimana pendapat
Golkar?
Cosmas: Golkar belum pernah memakai istilah masa transisi.
Barangkali yang dimaksud masa peralihan - ya sama saja
maksudnya. Tapi seperti yang telah saya katakan, kita akan
meninjau apakah peraturan-peraturan yang ada sekarang ini masih
lelevan atau tidak.
Utami Pidada: Memang dirasakan adanya semacam penghalang
kehebasan pers dalam UU Pokok Pers sekarang. Dalam hal ini,
Golkar memang akan memperjuangkan pencabutan SIT. Bukan itu
saja, tapi juga UU lain yang ada kaitannya dengan karyawan pers.
Misalnya UU Perburuhan, di mana ditentukan dan dijamin lapangan
kerja dan kesejahteraan bagi para wartawan.
TEMPO: Ada kesan bahwa di luargedung parlemen, anggota DPR
Golkar tidak berani bicara Juga kepada pers. Dan selalu
mempersilakan untuk menanyakan sesuatu kepada ketua fraksinya.
Cosmas: tu tidak betul. Semua anggota DPR diberi kebebasan untuk
bicara. Tentu saja dalam rangka pola strategi. Dan itu kan biasa
dalam organisasimana pun.
Tapi sebagai mayoritas dalam DPR, begitu pendapat Ruslan
Abdoelgani, "Golkar sendiri harus membina dinamika check and
balance itu. Ia harus berarli menempuh perubahan, jangan
bertahan pada adanya statusquo. Di sinilah letak tanggungjawab
moral yang besar dari Golkar. Sekarang memang sudah ada
stabilitas nasional. Tapi janganlah lantas menjadi beku dengan
status quo katanya.
Di lain kesempatan, kepada TEMPO Moerdopo menyatakan, Golkar tak
bersikap apriori sebagai mayoritas. "Tunjukkan pada saya apa
selama 5 tahun ini Golkar menggunakan kekuatannya sebagai
mayoritas?" tanyanya. "Justru biasanya yang kita inginkan bulat,
malah benjol. Ini prestasi Golkar yang tak pernah ditulis oleh
pers". Lalu Cosmas dan Pidada mengeluh, banyak hal-hal yang
diperjuangkan oleh Golkar di DPR tidak mendapat kolom di koran.
"Memang dimuat tapi hanya kecil saja, itu pun di halaman 12",
kata Cosmas. Tapi semua itu, bagi Moerdopo, tak menghalangi
Golkar buat bekerjasama dengan PPP dan PDI. "Sebelum pemilu pun
Golkar kerap melakukan pertemuan dengan rnereka", katanya. "Dan
setelah pemilu seruan Golkar ialah: 'Yuk, kita bekerja lebih
baik'. Dan karena itu inisiatif kerjasama tidak harus datang
dari Golkar. Pimpinan-pimpinan harus sama-sama saling mendekati.
TEMPO: Dalam Seminar Angkatan Darat II di Bandung tahun 1967
pernah disarankan untuk menyelenggarakan pemilu dengan sistem
distrik. Bagaimana sekarang pendapat Golkar?
Comas: Sistem distrik, belum waktunya dilaksanakan. Hal itu
tergantung dari perkembangan dan pengalaman kita dalam dua
pemilu selama ini dan di masa datang. Pengalaman kita dalam
pemilu selama ini memang cukup baik. Cuma harus diingat adanya
kemungkinan bahwa sistem itu berpengaruh atas persatuan dan
kesatuan bangsa.
Akbar Tanjung: Sistim distrik berbahaya, sebab masyarakat kita
masih tradisionil. Kalau sistem itu dilaksanakan, maka
calon-calon anggota DPR yang muncul adalah orang-orang yang ada
kaitannya dengan ikatan primordial dengan massa rakyat, bukan
ikatan program. Hingga kwalitas anggota DPR kurang. Ini tidak
berarti bahwa saya menganggap anggota DPR yang sekarang ini
bermutu.
Tapi tampaknya ada kaitan antara Golkar, DPR dan ABRI.
Setidaknya, begitulah kesan Rahman Tolleng. Ia beranggapan,
peranan Fraksi Karya Pembangunan dalam DPR lebih banyak
tergantung pada political will (kemauan politik) dari ABRI.
"Bagaimanapun perimbangan kursi yang ada dan siapa pun yang
menang, itu banyak tergantung pada kemauan politik tersebut",
katanya. "Dengan kata lain, tergantung bagaimana sikap ABRI
terhadap Golkar atau mau diapakan Golkar oleh ABRI". Pendapat
Tolleng itu didukung oleh soal UU Perkawinan tempo hari. UU
Perkawinan akhirnya diselesaikan dalam sebuah pembicaraan antara
PPP dan Kopkamtib. Berarti ABRI ternyata bisa juga meninggalkan
Fraksi Karya.
Dalam searahnya, Golkar memang dibesarkan oleh ABRI sejak zaman
Nasakom. Jenderal Nasution, dalam hal ini memegang peran penting
sebagai tokoh pendirinya - ketika masih bernama Sekber Golkar.
Dan memang ada kesan ada ikatan yang tak terpisahkan antara ABRI
dan Golkar, meskipun sebenarnya ABRI adalah milik seluruh
rakyat.
TEMPO: Apakah ketergantungan Golkar pada ABRI selama ini bisa
dianggap bahwa tanpa dukungan ABRI Golkar akan lemah?
Cosmas: Kami tidak saling tergantung satu sama lain. Kalau pun
ada ketergantungan, tidaklah pada orangnya tapi pada pola
strategi.
Betapapun, hal itu menimbulkan kesan bahwa Golkar adalah partai
pemerintah. Kesan itu lebih kuat lagi karena selama masa
kampanye, tak sedikit para menteri yang berkampanye untuk
Golkar. Dan para jurukarnpanye pun terangterangan mengklaim
pembangunan sekarang sebagai pembangunan yang diusahakan oleh
Golkar. Bahkan keputusan Rapat Pimpinan Paripurna ketiga Golkar
bulan Oktober tahun lalu di Surabaya menyebut pemerintahan
sekarang sebagai pemerintahan Golkar.
"Itu masuk akal, logis", kata Mayjen Sugandhy. "Soalnya
pemerintah dan pembangunan sekarang ini bisa ada karena Golkar
menang dalam pemilu 1971 yang lalu". Kalau demikian halnya,
mengapa tidak secara tegas dan resmi Golkar dinyatakan sebagai
partai pemerintah? Menurut Harry Tjan, bisa saja Golkar menjadi
partai pemerintah karena proses sejarah. "Tapi saya menyayangkan
kalau Golkar menjadi partai. Saya harap Golkar dapat
mempertahankan identitasnya seperti sekarang".
Kalau Golkar tak ingin jadi Partai atau setidaknya tak ingin
disebut demikian - mereka tentu saja harus membuktikan pada
masyarakat bahwa mereka itu memang 'lain dari yang lain'. Tapi
mungkin soalnya lebih sederhana: cukup bila Golkar belajar dari
sejarah. Atau dalam kata-kata bekas Menteri Perhubungan Frans
Seda yang dulunya ketua Partai Katolik Indonesia: "... Agar
Golkar tak melakukan kesalahan yang pernah dilakukan oleh parpol
di masa lampau". Bagi Seda yang kini anggota DPA, Golkar itu
perlu menghindari diri dari sikap "mau menangnya sendiri kalau
sedang berkuasa, kehilangan dinamika karena diikat oleh vested
interest, dikerumuni kaum oportunis dan avonturir, bagi-bagi
rezeki dan sebagainya". Yang dikhawatirkan ekonom lulusan
Tilburg, negeri Belanda itu rupanya adalah ini: "Kalau Golkar
sampai-sampai kehilangan kemurnian dasar perjuangannya, maka
ABRI dan Pemerintah juga yang bakal terkena getahnya". Harapan
Seda kepada Golkar: "Sebagai kekuatan sosial-politik terbesar di
parlemen, Golkar hendaknya mampu menggairahkan kontrol
demokratis". Baginya, persoalan sentralnya ialah, bagaimana
Golkar sebagai pendukung pemerintah mampu menempatkan diri
sebagai pengawas. "Mengawasi orang yang didukung dan mendukung
orang yang diawasi. itulah soalnya", kata Seda.
Tapi ke arah itu barangkali sang waktu juga yang akhirnya akan
memutuskan apa jadinya Golkar kelak. Ucap Isman: "Golkar itu
masih muda, butuh waktu untuk benar-benar menghayati getaran
jiwa rakyat". Dan tokoh kosgoro ini juga mengingatkan: agar
Golkar mawas diri, hingga tetap mendapat dukungan rakyat, karena
akhirnya toh rakyat juga yang menentukan".
Bisakah itu? Masa depan Golkar, menurut Harry Tjan, tergantung
dari Golkar sendiri: Apakah Golkar dapat mempertahankan ciri
khasnya. Yaitu sebaoai gabungan dari berbagai golongan profesi,
sosial ekonomi dan cendekiawan yang mendasarkan diri pada
program. Menurut pengurus CSIS - lembaga yang selama ini
dipandang dekat dengan Golkar itu - "kemenangan Golkar sekarang
dengan sendirinya akan mempertinggi tuntutan-tuntutan yang
kongkrit dari rakyat". Tak kurang dari dua pertanyaan penting
yang diajukan Harry Tjan pada Golkar: "Apakah Golkar dapat
berakar di tengah rakyat, tapi tak merambat di kalangan atas?
Apakah Golkar dapat memenuhi aspirasi rakyat?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo