Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENAM tahun menetap di Jeddah, Arab Saudi, Abdullah sudah tiga kali naik haji. Pria asli Betawi yang sehari-hari bekerja sebagai sopir ini mengaku sulit menahan rindu kembali ke Masjidil Haram ketika bulan haji tiba. Pertama kali menjalankan ibadah itu, Doel—demikian ia biasa dipanggil—mengikuti semua prosedur resmi yang ditetapkan Departemen Haji Kerajaan Saudi. Selebihnya, ia memilih jadi haji koboi.
Pemerintah Saudi memang membatasi jatah haji bagi siapa pun yang bermukim di negeri itu—termasuk warga negaranya sendiri kecuali penghuni Kota Mekah. Menurut ketentuan, setiap warga maksimal hanya bisa melaksanakan ibadah haji satu kali dalam lima tahun. Aturan inilah yang mendorong munculnya para haji koboi, terutama pemukim asing yang tak mau kehilangan kesempatan—mumpung masih tinggal di Tanah Suci.
Di musim haji ini, Doel sebenarnya berencana kembali ke Mekah. Tapi sang majikan tidak mengizinkannya karena tak ada sopir pengganti. Lagi pula pemerintah Saudi memperketat pemeriksaan di pintu masuk kota dan rajin menggelar razia di Mekah. Para koboi pun tertahan di gerbang kota. Yang berhasil menyusup tapi terkena razia akan diusir dari Mekah. Adapun para pemukim ilegal yang mencoba menyusup akan dikembalikan ke negara asal.
Nasib nahas itu dialami 600 warga Indonesia, Minggu dua pekan lalu. Departemen Paspor Kerajaan Arab Saudi menangkap 600 penyusup di Distrik Al-Aziziya. Lebih dari 500 orang di antara mereka adalah jemaah umrah yang menunda pulang agar bisa berhaji. Selebihnya adalah pemukim ilegal yang menyusup untuk menjadi pekerja musiman sekaligus menunaikan haji. Hingga akhir pekan lalu, mereka mendekam di pusat karantina negara itu.
Mekah memang menjadi magnet bagi siapa pun ketika musim haji tiba. ”Banyak pekerjaan dengan tawaran gaji menggiurkan,” kata juru bicara Konsulat Jenderal RI di Jeddah, Dharma Kirty. Para pemukim ilegal tak mau melewatkan kesempatan ini. Bagi pemukim legal semacam Doel atau sebagian jemaah umrah, menunaikan haji menjadi candu yang tak tertahankan. ”Memang menyalahi aturan, tapi gimana lagi?” kata Doel.
Berbagai cara pun ditempuh untuk bisa masuk ke Mekah. Doel, misalnya, biasa ngoboi bersama-sama dalam rombongan sekitar 30 orang. Tahun lalu, mereka menyewa tiga mobil. Tiap orang dikenai tarif 150 riyal Saudi atau sekitar Rp 375 ribu. Di hari biasa, ongkos Jeddah-Mekah yang berjarak 67 kilometer itu cuma 15 riyal. ”Maklum, angkutan susah. Harga itu sudah termasuk jaminan masuk Mekah,” kata alumnus Universitas Indonesia itu.
Meski dengan embel-embel jaminan masuk, tidak selalu mulus menembus kota suci itu. Beberapa hari menjelang hari Arafah atau puncak haji, 10 Zulhijah, dua belas jalan masuk ke kota itu sudah dijaga berlapis. Doel dan kawan-kawan harus melewati tiga pos pemeriksaan: pos imigrasi, pos aparat keamanan, dan pos polisi syariah. Jikapun mereka lolos, itu karena ada petugas yang baik hati.
”Kadang kami memelas. Mereka juga kasihan kepada kami. Jika Padang Arafah dianggap tidak terlalu padat, kami dibolehkan masuk,” kata Doel. Waktu yang dipilih untuk masuk kota biasanya tepat di hari Arafah. Di puncak haji ini, saat jemaah melaksanakan wukuf di Padang Arafah, penjagaan biasanya sedikit mengendur. Sebagian petugas kadang tidak tega menghadang orang yang mau berhaji. ”Mungkin takut dosa.”
Lepas hari Arafah, tak ada lagi pemeriksaan. Untuk menuju kota-kota tempat pelaksanaan rukun haji, seperti Mina dan Muzdalifa, Doel cukup merogoh kocek 20-50 riyal. Untuk bermalam, cukup membuka tenda atau tidur di mobil. Dengan cara koboi seperti ini, selain ia bisa berhaji setiap tahun, dana yang dikeluarkan pun sangat minim, hanya sekitar 600 riyal. Padahal, melalui biro perjalanan, biayanya sekitar 2.000 riyal.
Sementara pemukim legal menyusup di puncak hari haji, pemukim ilegal menyusup jauh hari sebelum Mekah ramai oleh jemaah. Sebelum Zulhijah, tidak ada penjagaan di jalan masuk menuju kota. Mereka yang kebanyakan adalah tenaga kerja yang melarikan diri dari majikannya itu ditampung oleh agen-agen yang menyediakan tempat tinggal dan memberikan kerja musiman. Mereka membayar dengan sistem potong gaji.
Selain pemukim ilegal yang ingin mendapat kerja musiman sekaligus melaksanakan haji, ada pula jemaah umrah yang sengaja menunda pulang ke Tanah Air. ”Ada kemungkinan mereka dibantu biro perjalanan nakal,” kata Abdul Ghafur Djawahir, Direktur Biaya Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI. Mereka lalu bersembunyi di tempat penampungan yang lokasinya jauh dari pusat kota, di kaki-kaki bukit sekeliling Mekah.
Pejabat Departemen Paspor Mekah, Ayed al-Luqmani, mengatakan para pemukim ilegal dan jemaah umrah biasanya dipandu oleh warga Indonesia sendiri. Seorang pemandu yang ikut ditangkap dua pekan lalu mengaku bisa mendapat keuntungan hingga 1,5 juta riyal atau sekitar Rp 3,7 miliar dari bisnis itu pada musim haji tahun lalu—cukup dengan menyediakan penampungan yang biasa mereka sewa, dan mendapat order tenaga kerja.
”Tahun lalu, saya membantu ribuan anggota jemaah umrah, tenaga kerja yang sudah lewat masa tinggalnya, yang kebanyakan perempuan. Mereka ingin naik haji dan ada juga yang mau bekerja. Ini memang waktu yang tepat untuk cari uang,” kata pemandu itu seperti dikutip harian lokal berbahasa Inggris, Arab News. Saat musim haji tiba, biro perjalanan, hotel, dan jasa katering membutuhkan tenaga dadakan yang sulit didapat secara resmi.
Mencari tenaga dadakan memang bukan perkara mudah. Untuk mendapat tenaga kerja dari luar negeri, calon majikan harus menunggu tiga bulan. Biayanya pun relatif mahal, rata-rata US$ 2.000 atau sekitar Rp 18,5 juta. Jikapun tersedia tenaga legal, biasanya adalah tenaga kerja Indonesia yang libur dan mendapat izin dari majikannya. Tapi jumlahnya tak cukup untuk kebutuhan biro-biro yang melayani lebih dari 2 juta anggota jemaah haji di Tanah Suci.
Setelah musim haji berlalu, sebagian besar penyusup kembali ke kota asal untuk menjadi pekerja gelap. Bagi yang ingin kembali ke Jakarta, inilah kesempatan untuk pulang gratis. ”Mereka akan menampakkan diri di lokasi-lokasi yang biasa dirazia petugas,” kata Dharma Kirty. Meski mereka melanggar hukum dan terancam denda, sejauh ini pemerintah Saudi mengampuni mereka asalkan bersedia pulang. Makan dan ongkos pulang pun ditanggung.
Satu hal yang menjadi kebiasaan para pemukim ilegal yang akan pulang ini, mereka telah mengirim uang dan barang mereka terlebih dulu ke Indonesia. ”Ada komplotan khusus pengiriman uang lewat SMS,” kata Dharma. Sebab, tanpa izin tinggal resmi, tidak bisa mengirim uang lewat bank atau jasa kurir resmi. Tinggallah mereka di Mekah luntang-lantung hingga ditangkap aparat. ”Kasus seperti ini rata-rata terjadi 23 ribu tiap tahun,” katanya.
Adek Media Roza
MODUS
Pemukim resmi yang berhaji dengan cara resmi
- Mendaftar ke biro perjalanan. Membayar 2.000 riyal, sekaligus mendapatkan izin berhaji dari Departemen Urusan Haji.
- Pemeriksaan iqamah atau kartu izin menetap. Warga hanya diizinkan berhaji paling banyak satu kali dalam lima tahun. Hal itu dapat diketahui dari tanda yang tertera pada iqamah.
- Berangkat haji dengan fasilitas seperti jemaah haji dari negara lain. Tinggal di hotel, pondokan, disediakan tenda, dan makan gratis.
Pemukim resmi dengan haji koboi
- Menyusup ke Mekah di hari Arafah. Jika gagal, tidak ada sanksi.
- Luntang-lantung di Mekah sambil mengikuti rukun haji. Tidur di jalan, bawa tenda sendiri, cari makan sendiri.
- Total biaya 600-700 riyal.
Pemukim ilegal atau jemaah umrah
- Menyusup ke Mekah jauh sebelum musim haji untuk menghindari pemeriksaan di pintu masuk kota. Sebagian menyusup lewat jalan-jalan tikus di pegunungan yang mengelilingi Mekah. Jika kena razia, akan dideportasi.
- Jemaah umrah yang melewati masa izin tinggal menginap di penampungan dengan ongkos 2.000-2.500 riyal.
- Pemukim ilegal mendapat pekerjaan dari agen yang menampung. Mereka menjadi pekerja musiman dengan bayaran minimal 1.200 riyal. Masing-masing membayar 200 riyal kepada penampung.
- Pulang ke kota asal atau menunggu ditangkap untuk dideportasi ke negara asal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo