Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font color=brown><B>RI-Malaysia</B></font><BR>Tak Tergantung Penanda Alam

Indonesia dan Malaysia akan membahas perbatasan darat yang dipersengketakan. Ratusan patok hilang atau bergeser.

17 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK banyak debat dalam tiga jam pertemuan delegasi Indonesia dan Malaysia di Hotel Nikko, Kuala Lumpur, Malaysia. Tapi, pertemuan General Border Committee Indonesia-Malaysia itu menghasilkan sejumlah keputusan penting. ”Akan ada dua pos baru bersama pada 2008,” kata juru bicara Departemen Pertahanan, Brigjen Edi Butar-Butar, yang ikut dalam pertemuan.

Delegasi dipimpin Menteri Pertahanan kedua negara, Juwono Sudarsono dan Najib Tun Razak. Pertemuan berlangsung singkat karena sebelumnya didahului pertemuan tim teknis. Meski temanya keamanan perbatasan, pertemuan tak membahas soal perbatasan darat yang belum diselesaikan kedua negara. ”Itu dibahas dalam pertemuan lain,” kata Edi.

General Border Committee merupakan forum reguler kedua negara untuk isu keamanan perbatasan secara umum. Sedangkan perbatasan darat dibahas dalam forum yang berbeda. Tahun ini, soal batas darat dibahas dalam ”The Joint Malaysia-Indonesia on the Demarcation and Survey of the International Boundary” di Genting Highland, Juli lalu.

Pertemuan itu membahas hasil survei bersama dan demarkasi yang dilakukan mulai 1 Mei 2005 hingga 1 juni 2006. Hasilnya, masih ada sembilan sampai 10 titik perbatasan darat yang belum disepakati kedua negara.

Menurut Direktur Wilayah Administrasi dan Perbatasan Departemen Dalam Negeri, Kartiko Purnomo, ada perbedaan jumlah titik yang belum disepakati. ”Indonesia mengatakan sepuluh, Malaysia bilang sembilan,” kata Kartiko yang mengikuti pertemuan di Genting Highland.

Titik batas itu masing-masing berada di Tanjung Datuk, Kabupaten Sambas, Titik D400, wilayah Gunung Raya, Sungai Buan, daerah Batu Aum, Titik C500-600, Titik B2700-B3100, Sungai Semantipal, Sungai Sinapad, dan kawasan Pulau Sebatik. Ketika dihubungi Tempo, Jumat pekan lalu, petugas di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta belum bisa memberikan keterangan mengenai soal ini.

Panglima Kodam VI Tanjungpura, Mayjen TNI G.R. Situmeang, pernah menyampaikan soal berpindahnya sejumlah patok batas wilayah di Tanjung Datuk. Berdasarkan taksirannya, akibat pergeseran ini Indonesia kehilangan tanah sekitar 64,8 hektare. Wakil Gubernur Kalimantan Barat, L.H. Kadir, juga pernah melaporkan hilangnya sejumlah patok di daerah berbentuk hutan seluas 1.499 hektare ini kepada pemerintah pusat.

Perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Kalimantan membentang sekitar 1.960 kilometer, hampir dua kali panjang Pulau Jawa. Di perbatasan antara Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, dan Sarawak, Malaysia, misalnya, sudah ratusan patok dilaporkan hilang dan bergeser.

Pembatas wilayah itu terdiri atas berbagai jenis dan ukuran. Jumlahnya lebih kurang 1.600-an. Patok tipe A, misalnya, berupa bangunan tugu yang biasanya dipasang dalam jarak 300 kilometer. Patok tipe B dan C berupa tugu kecil yang ditanam dengan jarak 5 sampai 50 kilometer. Sedangkan tipe D berupa patok kayu yang dipasang dalam jarak 25 hingga 200 meter. Patok jenis C dan D ini yang banyak lenyap atau bergeser.

Perbatasan darat ini menarik perhatian serius karena banyaknya laporan tentang pelanggaran di perbatasan. Selama ini, kata Brigjen Butar-Butar, hanya ada dua pos bersama, yaitu Pos Entikong, Kalimantan Barat, dan Pos Biawak, Sabah, Malaysia. ”Karena itu, dua pos baru itu diharapkan selesai tahun depan untuk meminimalisasi pelanggaran,” katanya. Dua pos baru itu berada di Simanggaris, Kalimantan Timur, dan Seliku, Sabah, Malaysia.

Soal garis batas darat ini yang akan menjadi agenda pertemuan kedua negara pada Maret 2008. Pertemuan itu memang tak langsung ke jantung persoalan. ”Kami akan menyusun kerangka rujukan bersama lebih dulu,” kata Kartiko Purnomo. Saat ini, katanya, kedua negara sama-sama menyusun mekanisme penyelesaian mengatasi perbedaan garis batas.

Dalam soal batas darat, dasar kedua negara adalah Traktat 1891 antara Inggris dan Belanda, tapi kedua negara memiliki tafsir sendiri-sendiri. Traktat itu memang menyebut batas, tapi rujukannya adalah penanda alam. ”Waktu traktat dibuat, kan belum ada teknologi satelit, sehingga tanda alam seperti gunung, sungai, batu, dan pohon yang jadi acuan,” kata Direktur Perjanjian Internasional, Keamanan, dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno. Masalah muncul karena penanda itu bisa hilang dan berubah.

Soal patok yang hilang di sejumlah daerah di Kalimantan, Havas tak terlalu merisaukan. ”Dalam perjanjian internasional, yang jadi rujukan utama adalah dasar hukumnya, bukan semata bukti fisik,” katanya. Kartiko menambahkan, Indonesia justru berusaha memperkuat hukum perbatasan.

Abdul Manan, Harry Daya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus