Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMA hampir tiga tahun, Komisi Kebenaran dan Persahabatan mencari titik terang pelanggaran hak asasi manusia saat terjadi kerusuhan pasca-jajak pendapat di Timor Timur, 1999. Hasilnya, rekomendasi komisi bentukan pemerintah Indonesia dan Timor Timur (kini Timor Leste) ini menyimpulkan pelanggaran hak asasi manusia memang terjadi di bekas wilayah Republik Indonesia itu.
Laporan berjudul Per Memoriam ad Spem (”Melalui Kenangan Menuju Harapan”) itu tak mengandung penuntutan. Bertempat di Nusa Dua, Bali, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Jose Ramos Horta pun sepakat memetieskan kasus ini.
Senin pekan lalu, wartawan Tempo Grace S. Gandhi mewawancarai mantan ketua komisi itu, Benjamin Mangkoedilaga. Mantan hakim agung Mahkamah Agung ini menjelaskan Komisi hanya sebatas mengecek kebenaran dan mencari pertanggungjawaban kolektif.
Keputusan Komisi Kebenaran dan Persahabatan banyak disorot. Bagaimana penjelasannya?
Kami melaksanakan mandat berdasarkan term of reference yang telah dibuat oleh pejabat Departemen Luar Negeri Indonesia dan Timor Leste pada 2005. Intinya, Komisi tidak menelusuri pertanggungjawaban individu, hanya mencari pertanggungjawaban kolektif dan institusional.
Tapi masyarakat menganggap lembaga ini mampu menyeret pelaku kejahatan hak asasi manusia ke pengadilan….
Komisi bukan institusi pro justicia yang bisa membawa individu ke pengadilan. Masyarakat terlalu berharap kami memberikan rekomendasi siapa yang bersalah, seperti hasil penelusuran Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kita bekerja lewat penelusuran empat dokumen, yakni laporan Komisi Nasional Penyelidikan atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur, Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia untuk Timor Timur di Indonesia, laporan Panel Khusus untuk Kejahatan Serius, dan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste.
Bagaimana proses penyelidikannya?
Dari dokumen itu, kami mengadakan dengar pendapat, wawancara dengan pihak terkait, juga menerima dokumen yang diserahkan secara sukarela.
Dalam hasil penyelidikan Komisi disebutkan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh institusi. Institusi apa?
Negara, maksudnya pemerintah Indonesia dan Timor Leste. Pelanggaran hak asasi berat dilakukan kedua pihak, dan negara terlibat secara moral dan politis.
Kalau negara bertanggung jawab, bukankah individu yang terlibat bisa dibawa ke pengadilan?
Tidak, dong. Dari awal kita tidak mencari kesalahan pribadi.
Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, korban kerusuhan bisa menuntut pelaku pelanggaran hak asasi dibawa ke Mahkamah Internasional….
Saya menghargai pendapat itu. Tapi masyarakat banyak yang tidak tahu, siapa nanti yang akan membiayai proses perkara jika diajukan ke Mahkamah Internasional. Lagi pula, merujuk pada Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional, perkara baru bisa diajukan ke Mahkamah Internasional setelah mendapat rekomendasi dari Dewan Keamanan atau Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Bukankah rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa bisa diajukan dengan bukti hasil penelusuran Komisi?
Memang, dulu, pada saat peristiwa lepasnya Timor Leste, Dewan Keamanan telah membentuk komisi ahli (commission of expert), sebagai reaksi atas suara-suara yang menginginkan Indonesia dibawa ke pengadilan internasional. Mereka menunggu hasil penelusuran Komisi. Namun, kami tidak melaporkan hasilnya ke mereka. Kami hanya melaporkannya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Ramos Horta.
Alasannya?
Kami menghargai apa yang disampaikan Ramos Horta, Xanana Gusmao, dan Mari Alkatiri. Horta mengatakan, ”Jangan peduli terhadap suara-suara yang menginginkan perkara Indonesia-Timor Leste dibawa ke forum internasional.” Sedangkan Xanana pernah menyampaikan, dia tidak bermaksud membawa persoalan Indonesia dan Timor Leste ke Mahkamah Internasional. Kemudian Alkatiri, pemimpin Fretilin, juga mengatakan tidak tertarik pada suara-suara di Timor Leste yang ingin membawa masalah ini ke pengadilan internasional. Nah, kalau tiga orang pemimpin Timor Leste sudah mengatakan demikian, kita mau apa?
Setelah laporan Komisi keluar, sampai sekarang tidak ada reaksi dari Dewan Keamanan?
Tidak ada. Toh, kedua tetangga sudah damai, sudah hidup berdampingan, jangan dirusaklah.
Bagaimana status Komisi sekarang?
Sejak 31 Maret, tugas Komisi sudah dianggap selesai. Personel sudah back to basic. Ada yang ke induk pasukan, ada yang ke Departemen Luar Negeri. Saya sendiri akan kembali mengajar.
D.A. Candraningrum, Grace S. Gandhi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo