Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>Mahkamah Konstitusi</B></font><BR />Jaminan dari Merdeka Barat

Ketentuan suara terbanyak tak masuk aturan baru pemilu. Dijamin Mahkamah Konstitusi.

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAMINAN itu diberikan Mahkamah Konstitusi: Komisi Pemilihan Umum berwenang menentukan calon legislator terpilih berdasarkan suara terbanyak. ”Jangan takut kepada bayang-bayang gugatan,” kata Mahfud Md., Ketua Mahkamah.

Penegasan itu perlu diberikan karena aturan penentuan calon terpilih tak tercantum dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 26 Februari lalu. Beleid itu hanya mengatur keabsahan penandaan kertas suara lebih dari sekali dan satu kali perubahan daftar pemilih tetap.

Segera setelah Mahkamah membatalkan ketentuan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut pada Undang-Undang Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan meminta aturan barunya dimasukkan ke peraturan pemerintah pengganti undang-undang. ”Sebagai payung hukum untuk meng­antisipasi jika muncul gugatan,” kata Hafiz Anshary, Ketua Komisi Pemilihan, akhir tahun lalu.

Pada Pemilihan Umum 2004, muncul 479 gugatan terhadap hasil pemilihan. Mahfud memperkirakan gugatan terhadap hasil pemilihan tahun ini akan naik menjadi 1.000 kasus. Semua kasus sengketa akan ditangani Mahkamah Konstitusi.

Menurut Undang-Undang Pemilu, calon terpilih harus memperoleh mi­nimal 30 persen dari bilangan pembagi pemilih—jumlah pemilih di suatu daerah dibagi jumlah kursi. Jika calon yang memenuhi aturan ini lebih banyak daripada kursi partainya, penentuan didasarkan pada nomor urut mereka.

Berdasarkan uji materi yang diajukan Sutjipto dan Septi Notariana (keduanya calon legis­lator dari Partai Demokrat) serta Jose Dima Satria (calon pemilih), Mahkamah Konstitusi, yang berkantor di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, mencabut aturan tersebut karena dianggap melanggar konstitusi. Sesuai dengan permintaan pemohon, penentuan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.

Menjawab surat dari Komisi Pemilihan Umum, Mahkamah Konstitusi sebenarnya pernah menegaskan bahwa aturan baru itu ”self executing” alias bisa langsung diterapkan. Namun, kepada media massa, Hafiz Anshary selalu menyatakan perlunya aturan ini dimasukkan ke peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Klausul suara terbanyak itu sempat masuk draf Departemen Dalam Negeri yang salinannya diperoleh Tempo. Draf ini dibahas Menteri Dalam Negeri Mardiyanto dengan Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat dan Komisi Pemilihan Umum. Di antaranya dalam pertemuan di Hotel Sultan bulan lalu.

Menurut Direktur Jenderal Kesatuan dan Kebangsaan Departemen Dalam Negeri Tanri Bali Lamo, beleid ini dihapus dari draf setelah mendapat masukan dari Komisi Pemerintahan Dewan dan Mahkamah Konstitusi. ”Putusan Mahkamah Konstitusi dianggap sudah mencukupi,” katanya.

Menurut Denny Indrayana, anggota staf khusus Presiden bidang hukum, Presiden Yudhoyono juga sepakat dengan Mahkamah Konstitusi. Menurut Denny, sikap itu bahkan telah diambil setelah rapat konsultasi mengenai kesiapan pemilihan umum di Istana Negara, akhir Desember 2008.

Sepekan sebelum draf peraturan ­pemerintah diteken, Denny mengaku memberikan masukan yang sama kepada Presiden. ”Presiden mengatakan akan ­meminta Departemen Dalam Negeri ­se­­gera menyiapkan rancangannya,” ­ujar­nya.

Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Dewan, Eka Santosa, mengatakan Senayan menyerahkan sepenuhnya pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang itu kepada pemerintah. Tapi ia berpendapat Komisi Pemilihan Umum akan lebih percaya diri menghadapi kemungkinan gugatan jika klausul suara terbanyak dimasukkan.

Kepada Tempo, Hafiz Anshary mengatakan tidak terkejut dengan tak tercantumnya klausul itu dalam peraturan pemerintah. Komisi Pemilihan Umum, menurut dia, akan segera membuat aturan pelaksanaan soal ini.

Budi Riza

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus