Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>Biaya Pemilu</font><br />Sisi Gelap Pemilu Hemat

Ide pemangkasan dana dan peningkatan jumlah daerah pemilihan sama-sama diusung Partai Golkar menjelang Pemilu 2009. Mengarah ke sistem proporsional tertutup?

26 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELIHAT besaran angka yang diajukan Komisi Pemilihan Umum, terenyaklah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tertulis: total anggaran Pemilihan Umum 2009 mencapai Rp 47,9 triliun. Uang sebesar itu diambilkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Rp 22,3 triliun dan anggaran daerah di seluruh Indonesia Rp 25,6 triliun.

Meski lebih hemat dari total anggaran Pemilu 2004, yang Rp 55,8 triliun, biaya Pemilu 2009 yang dibebankan ke APBN tiga kali lipat lebih besar. Pada pemilihan 2004, beban itu cuma Rp 6,9 triliun. ”Saya sempat syok melihat anggaran sebesar itu,” kata Kalla awal bulan ini.

Lewat rapat khusus efisiensi anggaran Pemilu 2009 yang dipimpinnya langsung, Kalla pun mengusulkan penciutan dana, menjadi total hanya Rp 10,4 triliun. ”Ini baru perhitungan kasar,” kata Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan Achmad Rochjadi, yang menghadiri rapat. Disetujui atau tidak, katanya, masih menunggu hasil pembahasan DPR atas Rancangan Undang-Undang Pemilu.

Mengantisipasi efek pemotongan anggaran ini, pemerintah menawarkan berbagai ide. Di antaranya menambah jumlah pemilih per tempat pemungutan suara (TPS), dari 300 menjadi 1.000 dalam pemilihan anggota legislatif, dan 2.000 untuk pemilihan presiden, dengan enam bilik suara per TPS. Penghematan waktu penyelenggaraan juga menekan biaya operasional. Dengan asumsi jumlah pemilih yang datang 80 persen dari pemilih terdaftar, pemilu legislatif hanya berlangsung enam jam dan pemilu presiden hanya dua setengah jam.

Kalla juga menawarkan pemangkasan di bidang logistik. Di antaranya penggunaan kartu tanda penduduk sebagai kartu pemilih serta pengubahan kertas suara menjadi lebih kecil—dan cukup satu lembar. Ini berbeda dengan Pemilu 2004, dengan tiga kertas suara yang masing-masing digunakan untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Anggaran peralatan pun bisa diciutkan, dengan asumsi 25 persen komponen sisa Pemilu 2004 masih bisa digunakan. Jika ini betul-betul bisa diterapkan, penghematannya mencapai Rp 3,9 triliun. Efisiensi juga bisa dilakukan lewat perubahan metode pemilu, dari mencoblos menjadi mencoret. Maklum, surat suara hanya berisi nama, lambang partai, dan nomor urut partai serta tiga kolom berisi nomor urut calon anggota legislatif.

Pemilih pun diminta mencoret lambang partai dan nomor urut calon anggota legislatif untuk pemilihan anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II. KPU tak perlu lagi mencetak ratusan juta kertas suara ukuran besar yang memuat lambang partai serta nama dan nomor urut calon anggota legislatif untuk dibawa masuk ke bilik suara. ”Dengan cara simpel ini, banyak yang bisa dihemat,” kata Ketua Umum Partai Golkar itu.

Namun usul efisiensi yang dilontarkan Kalla sepertinya bakal bertabrakan dengan usul partai yang dipimpinnya. Dalam Pemilu 2009, Golongan Karya dan PDI Perjuangan mengusulkan memperkecil alokasi kursi tiap daerah pemilihan. Golkar minta jumlah kursi di setiap daerah pemilihan sebesar 3-6, sedangkan PDI Perjuangan menginginkan jumlah kursi mencapai 3-7 per daerah pemilihan. Jumlah ini jauh berbeda dengan perolehan kursi pada pemilu sebelumnya, yang mencapai 3-12. Akibatnya, jumlah daerah pemilihan pun ”mekar”, dari 68 menjadi sekitar 160.

Usul itu, akhirnya, akan berujung pada membengkaknya anggaran. Satu contoh dijelaskan oleh Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform, Hadar Navis Gumay. Bertambahnya jumlah daerah pemilihan akan berakibat meningkatnya kebutuhan surat suara. ”Artinya, biaya menjadi lebih mahal,” katanya. Jika dipaksa menggunakan kertas seadanya, itu sama saja tak memberi kesempatan kepada pemilih untuk memberikan suara dengan lancar, bahkan membuka celah terjadinya kesalahan. ”Kualitas pemilu kita pun dipertanyakan,” ujar Hadar.

Selain mengakibatkan kenaikan jumlah surat suara, peningkatan jumlah daerah pemilihan berefek naiknya biaya sosialisasi dan distribusi. Jika sebelumnya dua kecamatan merupakan satu daerah pemilihan, dan kini dua kecamatan itu terbagi atas dua daerah pemilihan, biaya pengangkutan serta biaya pembuatan poster atau alat-alat tulis pun akan mengalami kenaikan.

Hadar menduga ada keterkaitan erat antara usul penambahan daerah pemilihan dan proposal pemilu paket hemat yang dilontarkan Kalla. ”Parpol besar ini agaknya ingin mengarah ke sistem proporsional tertutup,” katanya. Dalam sistem itu, rakyat cukup menulis pilihan partai politiknya saja. Artinya, kertas suara cukup menampilkan lambang partai, tanpa nama calon anggota legislatif. Selanjutnya, partailah yang akan memilih wakil rakyat yang duduk di DPR/MPR. ”Ini sebuah kemunduran dalam kehidupan demokrasi.”

Sumber Tempo membisikkan, usul ini hanya akal-akalan partai berlambang beringin untuk meraih suara terbanyak. Misinya untuk mengegolkan usul penambahan daerah pemilihan dalam RUU Pemilu, agar meraup banyak suara, dan mengajak semua pihak menyepakati gagasan efisiensi anggaran pemilu lewat lobi-lobi politik.

Golkar membantah tudingan ini. Menurut anggota Komisi Pemerintahan DPR dari Fraksi Golkar, Ferry Mursyidan Baldan, usul partai memperbanyak daerah pemilihan sejalan dengan usul efisiensi. Dengan peningkatan jumlah daerah pemilihan, jumlah pemilih bertambah dan jumlah TPS pun semakin susut hingga sepertiga jumlah TPS pada Pemilu 2004. Akibatnya, biaya operasional dapat ditekan. ”Mau daerah pemilihan banyak atau sedikit, tak berhubungan dengan tambahan anggaran,” kata Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu itu.

Ferry juga menepis jika partainya disebut-sebut merugikan partai-partai menengah, kecil, dan baru akibat usul pelebaran daerah pemilihan. ”Itu kan respons yang muncul sepihak,” katanya. Justru, kata dia, usul Golkar itu sangat mendukung sistem proporsional terbuka, karena jumlah calon lebih terfokus, dan memudahkan pemilih mengenali calonnya.

D.A. Candraningrum, Anton Aprianto, Kurniasih Budi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus