Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYUM Soekarwo, 48 tahun, mengembang tak mengenal henti. Menggamit Nina Kirana, istrinya, dengan tangan kiri, tangan sebelahnya repot melambai ke sana-kemari. ”Terima kasih semuanya,” katanya ceria. Orang yang berkerumun di markas tim pemenangan kampanye di Jalan Comal 17, Surabaya, ramai memanggil-manggil nama sapaannya, ”Pak De! Pak De!”
Selasa pekan lalu, Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Timur memenangkan Soekarwo dan Saifullah Yusuf dalam pemilihan gubernur di provinsi itu. Soekarwo unggul tipis 0,4 persen (60.223 suara) atas pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono. Pada putaran pertama—saat lima pasangan berlaga—suara Soekarwo lebih tinggi 2,4 persen dibanding kubu Khofifah.
Perbedaan tipis suara kedua kandidat sudah diprediksi sejumlah lembaga survei. Lembaga polling seperti Lembaga Survei Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, dan Lembaga Survei Nasional melalui hitung cepat menyatakan perbedaan suara keduanya berkisar 1-1,5 persen. Dengan margin kesalahan 1-2 persen, suara kedua kandidat sebetulnya nyaris tak ada bedanya.
Menurut sekretaris tim pemenangan Khofifah, Muhammad Mirdasy, perolehan suara mereka gembos di Madura. Di 16 tempat pemungutan suara di Desa Bai Dajung, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Bangkalan, misalnya, Khofifah sama sekali tak memperoleh suara.
Mirdasy mensinyalir kubunya dicurangi. Caranya bermacam-macam. Misalnya, saksi dari kubu Khofifah diusir dari tempat pemungutan suara. ”Biasanya oleh oknum kelurahan,” kata dia. Akibatnya, penghitungan suara berjalan tanpa dihadiri saksi. Masih menurut Mirdasy, di Kecamatan Geulis, Bangkalan, ”Ada kepala desa yang mencoblos sendiri kertas suara.” Suara siluman yang menggelembungkan suara Soekarwo di daerah ini diperkirakan berjumlah 400.
Selain itu, berkas surat rekapitulasi suara (dokumen C1) di tempat pemungutan suara bertabur setip. ”Angkanya di-Tipp-Ex, lalu diganti, sehingga suara kami berkurang,” kata Mirdasy. Kubu Khofifah juga mensinyalir, di satu tempat pemungutan, dokumen rekapitulasi tak ada, tapi tahu-tahu di tingkat kecamatan suara itu muncul dalam daftar rekap. Di Kabupaten Sumenep, kabarnya, penghitungan hasil coblosan dilakukan di luar tempat pemungutan suara. ”Setelah itu, pelakunya lari membawa hasilnya,” kata Mirdasy.
Akibat praktek itu, Mirdasy mengklaim kehilangan suara 156 ribu. Jika tudingan curang itu bisa dibuktikan, kubu Khofifah yakin merekalah yang akan jadi pemenang.
Itu sebabnya kubu Khofifah meminta pencoblosan ulang di empat kabupaten di Madura. Sedangkan di Sidoarjo, Pasuruan, Nganjuk, Jombang, Surabaya, dan Madiun, mereka meminta penghitungan ulang. ”Dokumen atau kotak suaranya harus dibuka lagi,” kata Mirdasy. Soekarwo sendiri menanggapi enteng tuduhan itu. ”Semua sudah dilakukan secara transparan,” katanya.
Menurut seorang anggota Panitia Pengawas Pemilu, kecurangan sebetulnya dilakukan kedua pihak. Di Kabupaten Banyuwangi, misalnya, pendukung Khofifah di dekat area pemilihan membuka warung makan gratis bagi pemilih yang mencoblos kandidat mereka. Di Kabupaten Pamekasan, tim Soekarwo membagi-bagikan mug bergambar pasangan kandidat pada hari pencoblosan.
Jumat pekan lalu, Khofifah membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi. Dalam waktu 14 hari, Mahkamah akan mengambil keputusan.
Budi Riza (Jakarta), Rohman Taufiq, Kukuh S. Wibowo, Dini Mawuntyas (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo