Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1 color=#FFCC33>Energi Alternatif</font><br />Makin Misterius Setelah Peragaan

Joko Suprapto mempertontonkan teknologi ”temuan”-nya kepada khalayak. Makin banyak hal yang perlu diklarifikasi.

23 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA, peragaan itu jadi juga digelar. Pada Rabu dan Kamis pekan lalu, Joko Su­prapto, ”penemu” energi biru nan ”legendaris”, mempertontonkan teknologi temuannya. Pria 48 tahun pecandu wayang kulit itu menjadi pusat perhatian masyarakat dan pers yang mengerumuni rumahnya, sebelum pada akhir ”pertunjukan” jatuh semaput.

Menurut Iswahyudi, pendiri Center­ for Food, Water and Energy Studies, yang kerja samanya dengan Joko sedang tersendat, peragaan itu untuk ”membersihkan” diri Joko. Memang banyak orang meragukan ”temuan”-nya, jangan-jangan cuma akal-akalan.

Iswahyudi bertemu dengan Joko di rumahnya di Dusun Turi, Desa Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, pada awal bulan ini. ”Saat itu obrolannya lebih banyak soal teknologi,” kata Iswahyudi kepada Tempo, Kamis pekan lalu. ”Belum soal kelanjutan kerja sama.”

Center for Food, yang terhampar di lahan sekitar 11 hektare di Desa Cikeas Udik, Bogor, Jawa Barat, merupakan laboratorium yang didirikan Iswahyudi bersama Heru Lelono, anggota staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dari kediaman pribadi Presiden di Puri Cikeas Indah, laboratorium itu hanya berjarak sekitar sepuluh menit berkendaraan.

Lembaga penelitian yang sepenuhnya dibelanjai swasta ini mendapat ­perhatian besar Yudhoyono. Menurut­ warga sekitar, laboratorium yang ber­konsentrasi mencari bahan bakar al­ternatif, pangan berkualitas super, dan suplai air ini sepanjang bulan lalu dua kali dikunjungi Yudhoyono. Iswahyudi tak menampik cerita ini. ”Presiden datang untuk menyemangati,” katanya.

Lembaga ini bernaung di bawah PT Sarana Harapan Indopangan, yang pen­dirinya Heru dan Iswahyudi juga. Di perusahaan itu, Heru komisaris utama dan Iswahyudi direktur utama. Akan halnya kerja sama yang tersendat, Heru telah mendatangi rumah Joko awal bulan ini. Kedatangannya, menurut Ketua Tim Blue Energy itu, murni sebagai pribadi dan tidak membawa pesan khusus Presiden. Sayang, keduanya tak berjumpa. ”Kata istrinya, Joko ke Mojokerto karena ada keponakannya yang khitanan,” Heru bercerita.

Kisah Joko Suprapto dan ”temuan”-nya yang luar biasa unik menarik perhatian publik sejak pertengahan bulan lalu. Berawal dari kerja sama dengan Iswahyudi pada 2006, untuk pengembangan pembangkit listrik alternatif, nama Joko cepat tersebar harum. Terutama setelah ia membawa ”temuan”-nya yang lain: teknologi membuat bahan bakar dari air.

”Temuan” itu semakin memikat se­telah pemerintah menaikkan harga bahan bakar hingga 30 persen bulan lalu. Presiden kemudian memberi nama ”te­muan” Joko itu Minyak Indonesia Bersatu dan belakangan lebih tenar sebagai blue energy. Yudhoyono bahkan ikut melepas keberangkatan konvoi kendaraan berbahan bakar blue energy ini ke Konferensi Tingkat Tinggi tentang Perubahan Iklim dan Pemanasan Global di Nusa Dua, Bali, November tahun lalu.

Belakangan, kerja sama ini bermasalah. Kepada Johny Nelson Simanjuntak, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Bidang Pemantauan, Joko mengeluh ia dipaksa menandatangani surat perjanjian kerja sama yang merugikan. Ia juga merasa keselamatannya terancam. ”Itu sebabnya, Komisi merasa perlu turun tangan,” kata Johny kepada Tempo.

Dengan alasan tertekan itulah, Joko sempat menghilang lima hari, pada pertengahan Mei lalu. Ia ditemukan di sebuah rumah sakit di Madiun, Jawa Timur, dan mengaku sakit jantung. Padahal, ketika itu, ia dijadwalkan mera­kit alat pemroses minyak dari air untuk dipresentasikan di depan Presiden. Kepada wartawan, Joko sempat menjelaskan alasannya menghilang, sebelum pingsan ketika jumpa pers baru di­mulai.

Belakangan, pembangkit listrik Joko ini juga bermasalah. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta membongkar alat ini, yang dipasang di kampus sebagai bagian dari kerja sama dalam proyek ”banyu geni”, dan melaporkan Joko ke polisi Selasa pekan lalu. Tiga hari kemudian, Joko melaporkan balik kampus ke polisi, dengan tuduhan merusak alat miliknya.

Selama dua hari sebelum menuntut balik itulah, Joko menyiapkan sejumlah alat untuk mempertontonkan teknologi ”temuan”-nya. Ia mendemonstrasikan ”temuan”-nya dalam dua tahap: tertutup dan terbuka. Unjuk kebolehan tertutup ini hanya diikuti beberapa tamu, antara lain Komandan Kodim 0810 Nganjuk Letnan Kolonel (Art) Chri­setyono dan dosen Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Darat Malang, Kapten Budi Santoso.

Untuk peragaan keesok­an harinya, Joko mengundang sejumlah ilmuwan dari Persatuan Insinyur Indonesia, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, serta Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadi­man. ”Undangannya mendadak,” ujar Kusmayanto kepada Tempo. ”Jadi saya tak bisa datang.”

Seorang pejabat Kementerian Riset mengatakan, jika memang Joko berniat membuktikan kebenaran teknologi­nya, seharusnya tinggal membawanya ke fasilitas Kementerian untuk uji coba teknis. ”Jika kami hanya datang dan tetap tidak tahu proses teknisnya, kehadiran kami nanti malah diklaim telah membenarkan kebenaran teknologi itu.”

Pada peragaan hari kedua, Joko meminta masyarakat yang hadir di halaman rumahnya menghidu asap yang keluar dari dua mesin berbahan bakar solar dan bensin. ”Baunya kayak uap air di dapur,” kata Bambang, warga yang membaui. Sebelumnya, dengan dibantu lima anggota stafnya, Joko Suprapto­ menyiapkan dua set tabung merah, masing-masing tiga buah. Satu set terhu­bung ke mesin mobil, lainnya ke mesin­ genset bercat merah berukuran dua kali tiga meter.

Joko lalu meminta seorang warga mengisi air lewat selang ke satu tabung dari tiap set. Sebelumnya, ia meminta air itu dibaui untuk meyakinkan bahwa itu air biasa. Setelah tabung terisi penuh, Joko mengencangkan penutupnya dan mengalirinya listrik PLN untuk memanaskan. Setelah keluar uap, ia mencampurkan kapur barus (naftale­na) ke dalam tabung tersebut. Sekitar setengah jam kemudian, Joko membuka katup-katup agar uap air dan solar mengalir ke mesin genset, yang lantas dinyalakan.

Untuk mobil, menurut Joko, ia membuat alat pencampur uap air dan bensin itu di atas karburator. ”Posisi­nya harus di atas karburator agar proses meng­alir air dan bensin lan­car,” katanya. Ia juga mem­peragakan pembangkit listrik berbentuk kotak ber­ukuran setengah meter kali setengah meter dengan tebal sekitar 40 sentimeter. Untuk menyalakan kotak seng berwarna merah ini, Joko menggunakan dua cara, dengan enam baterai berkekuatan masing-masing 1,5 volt dan listrik PLN.

Sekitar satu menit setelah dialiri setrum, alat pembangkit ini nyala. Menurut Joko, alat itu akan terus menyala dan tidak membutuhkan ”suntikan” energi lagi. Listrik yang dihasilkan lewat trafo berkekuatan sepuluh ribu watt dan bisa digunakan untuk menyalakan mesin las serta lampu jalan. Satu trafo lain, yang berukuran lebih besar, tertanam di salah satu sudut pekarangan rumah Joko. Teknik ”pengoplosan” solar dan bensin ini, menurut Joko, menghemat cukup banyak. ”Bisa satu liter solar dengan sembilan liter air,” ucapnya.

Menurut Iswahyudi, sejak awal ia yakin akan teknologi ”temuan” Joko. ”Meskipun tak pernah dijelaskan landasan teorinya, tim teknis kami sudah mengecek kebenarannya,” katanya. Menurut Kepala Balai Thermodinamika Motor dan Propulsi Prawoto, pera­gaan itu memunculkan lebih banyak pertanyaan. ”Jadi lebih banyak misteri yang perlu diklarifikasi,” katanya. Prawoto merujuk pada pembangkit listrik Joko yang bisa beroperasi setelah suntikan energinya diputus. ”Itu melawan hukum kekekalan energi.”

Ketika Tempo mengingatkan Joko akan janjinya dua pekan lalu untuk menunjukkan proses pembuatan solar atau bensin berbahan dasar air dan bukannya masih menggunakan solar atau bensin sebagai campuran, ia mengelak. ”Wah, kalau itu blue energy,” katanya. ”Saya tidak akan mempresentasikannya di sini.”

Setelah memperagakan pembangkit­ listriknya, Joko masuk ke rumahnya dan tidak keluar lagi. Seorang anggota stafnya membisiki, ”Tadi Bapak sempat pingsan sebentar, jangan diganggu lagi.”

Budi Riza, Vennie Melyani, Dwidjo U. Maksum (Nganjuk)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus