Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kejanggalan Angka Kematian Covid-19

Tambahan kasus Covid-19 di sejumlah daerah menunjukkan tren semakin turun. Anehnya, angka kematian di daerah itu masih cenderung tinggi.

25 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Angka kasus baru Covid-19 di sejumlah provinsi di Pulau Jawa mengalami penurunan signifikan dalam beberapa hari terakhir.

  • Masih tingginya angka kematian di saat jumlah kasus baru dan tingkat keterisian ruang isolasi di rumah sakit menurun sebagai hal yang janggal.

  • Rendahnya tingkat pengetesan menjadi salah satu penyebab masih tingginya angka kematian Covid-19 dalam beberapa pekan terakhir.

JAKARTA — Angka kasus baru Covid-19 di sejumlah provinsi di Pulau Jawa mengalami penurunan signifikan dalam beberapa hari terakhir. Anehnya, angka kematian di daerah itu cenderung masih cukup tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu pendiri KawalCovid-19, Elina Ciptadi, menganggap masih tingginya angka kematian di saat jumlah kasus baru dan tingkat keterisian ruang isolasi di rumah sakit menurun sebagai hal yang janggal. Menurut Elina, tingginya angka kematian ketika gelombang kedua Covid-19 pada Juli lalu masih masuk akal terjadi. Sebab, saat itu kasus baru Covid-19 melonjak tajam hingga membuat fasilitas kesehatan hampir kolaps.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat itu, tak semua pasien mendapatkan perawatan dan penanganan intensif, seperti ventilator, tabung oksigen, serta obat-obatan khusus. Sebab, ketika itu, barang-barang tersebut terbatas jumlahnya. Walhasil, banyak pasien yang tak tertolong nyawanya.

Elina mengatakan saat ini terbukti ventilator, oksigen, hingga obat-obatan cukup memadai. Tingkat keterisian rumah sakit atau bed occupancy rate (BOR) juga turun. “Seharusnya angka kematian saat ini ikut turun," kata Elina ketika dihubungi Tempo, kemarin.

Kejanggalan antara turunnya jumlah kasus dan masih tingginya angka kematian, misalnya, terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, kasus terkonfirmasi Covid-19 pada 26 Juli-9 Agustus 2021 berjumlah 70.335 orang. Adapun angka kematiannya mencapai 2.351 jiwa.

Adapun berdasarkan data dalam dua pekan terakhir, 10-24 Agustus 2021, jumlah kasus baru Covid-19 di Jawa Barat turun menjadi 36.436 jiwa. Sedangkan angka kematiannya masih tinggi, sebanyak 2.323 jiwa.

Keanehan juga terjadi di Jawa Tengah. Provinsi ini mencatat angka kasus baru Covid-19 pada 26 Juli-9 Agustus 2021 sebanyak 65.276 orang dengan jumlah kematian sebesar 6.193 jiwa. Adapun dalam dua pekan terakhir, tambahan kasus baru turun menjadi 44.863 kasus. Sedangkan angka kematian dalam dua pekan terakhir berjumlah 4.915 jiwa, yang terhitung masih tinggi.

Tren serupa terjadi di Jawa Timur. Tercatat pada 26 Juli-9 Agustus 2021, kasus baru Covid-19 di provinsi tersebut berjumlah 62.136 kasus dan angka kematian mencapai 5.134 jiwa. Sedangkan dalam dua pekan terakhir, penambahan kasus baru tercatat sebanyak 35.926 kasus dengan angka kematian yang juga masih tinggi, 3.775 jiwa.

Pendiri KawalCovid-19, Elina Ciptadi, menduga lemahnya pengetesan dan pelacakan menjadi salah satu musabab. Masyarakat cenderung dites Covid-19 ketika kondisi kesehatannya memburuk. Walhasil, penanganan medis yang diberikan agak terlambat, sehingga membuat risiko kematian pasien tersebut tinggi. "Terkadang orangnya sendiri tidak mau dites karena berpikir Covid-19 itu menakutkan dan jadi aib," kata Elina.

Elina berharap pemerintah semakin gencar menggelar tes dan pelacakan terhadap kontak erat pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Gencarnya tes dan pelacakan tidak hanya bisa menekan angka jangkitan, tapi juga meminimalkan keterlambatan penanganan orang yang tertular Covid-19 dari kontak erat.

Tenaga kesehatan mengevakuasi jenazah wanita berusia 80 tahun yang terjangkit Covid-19 saat isolasi mandiri di rumahnya di Bandung, Jawa Barat, 5 Agustus 2021. TEMPO/Prima Mulia

Guru besar Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, sependapat bahwa rendahnya pengetesan menjadi salah satu penyebab masih tingginya angka kematian Covid-19 dalam beberapa pekan terakhir. "Sehingga belum semua kasus yang ada di masyarakat terdeteksi dan ditemukan secara dini," kata Tjandra Yoga, kemarin.

Selain pengetesan, Tjandra mencatat sejumlah fakta lain yang punya kaitan dengan tingginya angka kematian Covid-19 di Indonesia. Tingginya kasus Covid-19 di Indonesia punya korelasi dengan tingginya angka kematian. Banyaknya pasien Covid-19 yang menjalani perawatan di luar rumah sakit seperti isolasi mandiri di rumah dan isolasi di fasilitas terpadu juga bisa mempengaruhi tingginya angka kematian.

Sebab, pasien isolasi mandiri di rumah dan di fasilitas terpadu bisa tiba-tiba mengalami pemburukan kondisi kesehatan, terlebih jika mereka punya penyakit penyerta. Pasien isolasi mandiri dan terpadu wajib memperhatikan kondisi tubuh, dari suhu, gejala, hingga saturasi oksigen, setiap hari sembari menjaga komunikasi dengan tenaga kesehatan.

"Angka kematian dapat terjadi karena keadaan pasien yang sudah berat ketika masuk rumah sakit, dan mungkin juga faktor-faktor lain di rumah sakit," kata Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi tersebut.

Selain itu, rendahnya cakupan vaksinasi ikut mempengaruhi tingginya angka kematian akibat Covid-19. Sebab, sesuai dengan fungsinya, vaksin bisa mengurangi risiko terjadinya gejala berat ketika terpapar Covid-19. Adapun saat ini capaian vaksinasi dosis pertama baru sekitar 28 persen, sedangkan capaian vaksinasi dosis lengkap masih di bawah 12 persen dari rencana 181 juta penduduk yang akan divaksinasi.

Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat kenaikan angka kasus kematian saat ini terjadi di 33 provinsi, kecuali Kalimantan Tengah. Namun angka kematian tinggi terpantau di Jawa Tengah, Lampung, Gorontalo, Bali, dan Bengkulu.

Menurut juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, kenaikan angka kematian terjadi bersamaan dengan kenaikan kesembuhan. Wiku menduga tren ini terjadi karena penguatan di fasilitas kesehatan dan isolasi terpadu tidak diimbangi dengan pemanfaatan maksimal. "Bisa jadi masih ada warga terinfeksi Covid-19 tidak ditangani cepat atau masih melakukan isolasi mandiri dalam keadaan tidak memadai," kata Wiku, kemarin.

Sementara itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan tingginya angka kematian Covid-19 di Indonesia terjadi karena banyaknya pasien isolasi mandiri yang terlambat datang ke rumah sakit ketika kondisi kesehatan mereka menurun drastis.

Selain itu, Covid-19 varian delta memang punya karakteristik mampu menyebabkan gejala berat tiba-tiba terjadi pada kasus yang semula berupa gejala ringan. "Selain itu, adanya perbaikan data kematian dari bulan sebelumnya, terutama kasus aktif yang sudah lebih dari 21 hari," kata Nadia, kemarin.

Meski begitu, Nadia menegaskan, Kementerian Kesehatan tetap berupaya menekan angka kematian dengan sejumlah cara, dari menggenjot pelayanan kesehatan daring atau telemedicine hingga memastikan para pasien, termasuk yang melakukan isolasi mandiri, masih terpantau oleh Satgas Penanganan Covid-19 di daerah. "Selain itu, mengaktifkan shelter desa (tempat isolasi terpadu) hingga mengajarkan tanda kegawatan dengan metode hitung napas," kata Nadia.

Adapun Ketua Harian Satuan Tugas Covid-19 Provinsi Jawa Barat, Dewi Sartika, menyebutkan tingginya angka kematian di wilayahnya terjadi lantaran masuknya data lama dengan data anyar perkembangan Covid-19. "Data itu sekarang sedang dibersihkan," kata Dewi kepada Tempo, kemarin.

Dewi mengatakan, dalam waktu dekat, data Jawa Barat bakal terlihat melonjak. Penyebabnya adalah masuknya data 21 hari ke belakang yang baru terkonfirmasi untuk dimasukkan ke data nasional kasus Covid-19. Menurut Dewi, data yang terlambat itu tidak bisa dibuang. “Akan ada data kematian yang relatif tinggi, mungkin di atas 300," kata dia.

Menurut Dewi, terdapat sejumlah alasan data tersebut telat terkirim, yakni dari kendala teknis pada sistem pelaporan hingga petugas di daerah yang memang telat melaporkan. Meski begitu, Dewi menegaskan, situasi pandemi di Jawa Barat saat ini relatif terkendali.

Hal ini terbukti dari tingkat keterisian ruang isolasi rumah sakit (BOR) yang menyentuh angka 22,5 persen. Padahal, pada 28 Juni lalu, BOR di Jawa Barat mencapai 91 persen. "Sekarang tenaga kesehatan bisa punya sedikit waktu untuk bernapas. Pembagian kerja jadi lebih ringan," kata dia.

INDRA WIJAYA | AHMAD FIKRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus