Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERMULA dari bisik-bisik di antara para dosen, berita kurang sedap itu akhirnya sampai ke telinga Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sofian Effendi. Syahdan, kabar yang bertiup itu menyatakan bahwa di kantor seorang pejabat eselon 1 di Jakarta berlangsung kegiatan pelatihan program doktor antarbidang yang membawa-bawa nama UGM.
Penyelenggara kegiatan itu aktif mengedarkan proposal ke sejumlah pengusaha dan pejabat, membujuk mereka menjadi peserta program strata 3 tersebut. Biayanya? Di sinilah pangkal heboh. Dari rincian anggaran program yang didapat Tempo, di atas empat helai kertas itu tertera angka yang menakjubkan: Rp 609 juta. Ini berpuluh kali lipat di atas tarif resmi program sejenis di UGM, yang hanya menarik uang pendaftaran Rp 300 ribu dan uang kuliah Rp 6 juta per semester.
Bandingkan pula dengan program strata 2 ilmu akuntansi di Fakultas Ekonomi UGM. Jogiyanto, pengelola program itu, mengatakan bahwa uang pendaftaran mahasiswa cuma Rp 300 ribu dan uang kuliah Rp 9,5 juta per semester. ”Di luar itu sudah tak ada pungutan apa-apa lagi,” ujarnya.
Anggaran program yang bikin heboh itu dipecah untuk beberapa pos pengeluaran. Contohnya penyusunan rancangan usulan penelitian sebesar Rp 60 juta, pendaftaran dan seleksi penerimaan Rp 31,8 juta, kuliah independen Rp 87 juta. Ada pula ongkos transportasi untuk mahasiswa yang harus mondar-mandir Jakarta-Yogyakarta dan ”insentif” untuk promotor, fasilitator, juga tim penguji.
Sofian merasa kecolongan. Ia langsung membuka kasus tersebut kepada pers di Yogyakarta. Rektor membantah adanya program S-3 di UGM yang harus mengeruk kantong mahasiswa hingga ratusan juta rupiah. Seraya menyebut banyak kasus pencatutan nama universitasnya dalam proses seleksi mahasiswa, Sofian menyebut kasus ini pertama kali menyangkut uang dalam jumlah begitu besar. Untuk itu, sebuah tim investigasi telah dibentuk.
Kalau dilihat dari namanya, program strata 3 antarbidang memang salah satu program doktor yang diadakan UGM. Program ini diadakan dari jalur multidisiplin yang diadakan oleh Sekolah Pasca-Sarjana UGM di bawah pimpinan Irwan Abdullah. Peserta program itu adalah para eksekutif, baik di pemerintahan, perusahaan swasta, maupun perusahaan pelat merah.
Setelah disidik kanan-kiri, akhirnya terungkap program ini diadakan oleh Kantor Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial. Penguasa kantor itu adalah Gunawan Sumodiningrat, seorang profesor dan doktor di bidang ekonomi yang juga berasal dari UGM. Dalam menyelenggarakan program tersebut, Gunawan dibantu asistennya, Roberto Akyuwen.
Ditemui di kantornya di Jakarta pada Rabu pekan lalu, Gunawan terus terang mengakui keberadaan kelas bagi para eksekutif tersebut. Dia mengatakan mencoba memfasilitasi para eksekutif di Jakarta untuk mengikuti program doktor di UGM. Namun ia menyangkal bahwa kelas yang dibikinnya merupakan program eksekutif. ”Programnya tetap di UGM,” ujarnya.
Dengan tangkas Gunawan menyebut program itu merupakan program terstruktur C atau jalur riset disertasi yang sudah berlangsung beberapa tahun di UGM. ”Saya memfasilitasi karena saya dosen UGM dan dosen pascasarjana. Semua program dikelola oleh Sekolah Pascasarjana,” katanya.
Kegiatan yang sudah berlangsung sejak tahun lalu itu bermula dari keinginannya membina para eksekutif yang sebagian besar temannya. Gunawan menyayangkan kawan-kawannya yang sudah menjadi bos di sejumlah perusahaan milik pemerintah atau swasta itu sangat lemah dalam penulisan dan metodologi. Ia pun mempertemukan para eksekutif ini dengan orang-orang pintar di UGM yang memiliki waktu luang untuk membantu. ”Saya himpun di situ, ketemu semua orang itu (para eksekutif).”
Gunawan juga menceritakan bagaimana para mahasiswa ”eksekutif” banyak yang tidak lulus saat mengajukan riset proposal. Maka ia berinisiatif mempersiapkan dan membantu mereka menempuh prosedur yang ada. ”Saya persiapkan dengan baik, tapi mereka tetap membuat proposal dan melamar sendiri,” katanya.
Lantaran peminat kelas itu membludak, Gunawan meminta asistennya, Roberto, membantu mengurus administrasi mereka. Roberto, yang menemani Gunawan saat ditemui Tempo, membenarkan hal ini. Ihwal penggunaan kantor, Gunawan mengakui sudah seizin bosnya. ”Saya sudah minta izin Pak Menteri,” ujarnya.
Semua kegiatan itu pun, menurut Gunawan, juga sudah setahu Rektor UGM. Ia mengaku telah menemui Rektor sebelum program berjalan. Bersama para mahasiswanya, mereka ramai-ramai meminta izin Rektor.
Perihal uang Rp 609 juta yang harus dibayar para mahasiswa asuhannya, Gunawan menyatakan angka tersebut mereka tetapkan sendiri. ”Kira-kira satu tahun habis Rp 100 juta, lima tahun habis Rp 600 juta,” ujarnya. Uang tersebut digunakan untuk pendaftaran Rp 300 ribu dan uang kuliah Rp 6 juta per semester.
Selebihnya digunakan untuk membiayai perjalanan mahasiswa sendiri dari Jakarta ke Yogyakarta atau sebaliknya untuk kuliah tatap muka. Ada pula untuk konsultasi, ujian, tempat pertemuan, kebutuhan konsumsi, dan mengurus segala keperluan mereka.
Uang tersebut dikelola bersama di kelas lewat seorang koordinator. ”Kelas itulah yang mungkin membuat kesepakatan,” kata Gunawan. Adapun Roberto menyebut kelas di Jakarta ini sebagai komunitas. Ia mengaku membantu Gunawan karena birokrasi UGM selama ini dikenal ribet meski biayanya murah.
Sejauh ini mahasiswa di bawah bimbingan Gunawan ada 13 orang, dua orang di antaranya tidak aktif. Mereka tergolong orang tenar. Simak saja nama berikut: Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sugiharto, bekas Direktur Utama PT Pusri Zainal Soedjais, Direktur BCA I Dewa Gde Suthapa, Direktur Permodalan Nasional Madani Aries Muftie, dan Setyanto Prawiro Santosa, mantan Direktur Utama PT Telkom. Dua orang yang tidak aktif adalah Tanri Abeng dan Omah Laduani Ladamay, Kepala Bappeda Kabupaten Mimika, Papua.
Anehnya, Direktur Sekolah Pascasarjana UGM Irwan Abdullah menyangkal adanya kelas eksekutif ini. Tapi ia membenarkan adanya dosen-dosen senior UGM yang ikut mempromosikan program S-3 antarbidang, termasuk Gunawan Sumodiningrat. ”Kami tak punya program non-reguler yang diselenggarakan di Jakarta, apalagi dengan biaya Rp 600 juta,” ujar Irwan.
Irwan mengatakan telah mengecek ke sejumlah mahasiswa yang disebut-sebut membayar ratusan juta. ”Tidak ada dari mereka yang membayar hingga Rp 600 juta,” katanya.
Bantahan serupa datang dari Menteri Negara BUMN Sugiharto. Ia mengaku hanya mahasiswa pascasarjana biasa yang mengambil jurusan kebijakan publik yang lebih fokus pada ilmu privatisasi. Sugiharto mengatakan, ia membayar biaya kuliah menurut ketentuan. ”Tidak ada satu sen pun saya lebihkan atau kurangi,” ujarnya.
Zaenal Soedjais berkomentar senada. Mantan Direktur PT Pupuk Kaltim ini mengaku ikut program doktoral dengan pola C atau riset melalui prosedur resmi dan membayar uang kuliah ke rekening BNI yang ditunjuk UGM. Ia juga menyatakan ikut kuliah dengan susah payah. ”Kalau Anda lihat kamar kerja saya, ada ratusan judul buku yang harus saya baca,” ujarnya.
Bantahan juga disampaikan Aries Mufti, yang mengaku mendaftar langsung ke UGM. Ia pun mengatakan hadir secara fisik dalam perkuliahan di Yogyakarta. Kendati begitu, ia tak bersedia menyebut angka yang dia bayarkan untuk mengikuti program tersebut.
Toh, kemarahan Sofian Effendi tak luruh. ”Mungkin lebih tepat mereka dinamakan lembaga kursus,” ia menyindir kegiatan di kantor Gunawan. Selasa pekan lalu, ia menerbitkan surat keputusan pembentukan tim pencari fakta program S3 antarbidang yang diketuai guru besar Fakultas Ekonomi, Zaki Baridwan. Tim ini terdiri atas 13 anggota dengan target memperoleh hasil dalam waktu dua bulan. ”Periksa, apa ada perselingkuhannya,” ujar Sofian. Rupanya Pak Rektor benar-benar murka.
Purwani D. Prabandari, Syaiful Amien, Sunariyah, Rini Kustiani, Anton Apriantono, Heru C. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo