Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pria bersetelan jas hitam bergegas turun dari mobil Pajero hijau tua milik Kedutaan Besar Amerika di Jakarta. Segera, tanpa mengacuhkan pertanyaan wartawan, keduanya memasuki ruangan bekas Kepala Kepolisian Papua, Inspektur Jenderal Polisi I Made Mangku Pastika. Di Gedung Reserse Markas Besar Kepolisian RI, selama hampir dua jam pintu ditutup.
Ketika keduanya kembali tampak, tak banyak komentar yang terucap. "No comment," kata Roberts Deadorrs, salah seorang agen Biro Penyelidik Federal Amerika (FBI) tersebut. Sekali lagi mereka memasuki mobil dengan tergesa. Di belakangnya, tergopoh-gopoh Nancy Demond, staf Kedutaan Amerika yang ikut dalam pertemuan itu. Mereka tiba di Jakarta pada Rabu pekan lalu. Sebelum bertemu dengan Mangku Pastika, keduanya sudah menemui Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan Kepala Polri Jenderal Polisi Da'i Bachtiar.
Dingin, cepat, dan tak banyak bicara. Itulah kesan yang muncul ketika menyaksikan agen FBI beraksi. Minus kacamata hitam, keduanya mirip Kay dan Jay, detektif dalam komik Men in Black terbitan Marvel. Bedanya, duet Jay dan Kay sibuk menelisik musuh dari luar angkasa, sedangkan kedua agen FBI ini sibuk mencari tahu siapa gerangan pelaku pembunuhan dua warga Amerika Serikat di Timika, Papua, 31 Agustus tahun lalu.
Telah lama Amerika geram atas insiden itu. Ketika itu, di mil ke-62,5 ruas jalan dari Timika menuju tambang Freeport Tembagapura, bus yang ditumpangi rombongan guru asal AS diberondong orang tak dikenal. Dua warga Amerika, masing-masing Ted Burcon dan Rickey Spear, dan seorang warga Indonesia tewas seketika.
Polisi menuding militer terlibat dalam insiden ini. Keyakinan itu diperkuat oleh kesaksian Decky Murib, seorang informan tentara yang membelot. Kata Decky, hari itu ia diajak sejumlah anggota Komando Pasukan Khusus TNI ke Tembagapura. Di tengah jalan, ia ditinggal, dan tak lama kemudian terdengar suara tembakan. Polisi menuduh aksi ini adalah bagian dari kerja intel militer. Belakangan, cerita polisi itu dibantah TNI.
Indonesia bukan tak tahu polemik ini bisa mencoreng muka sendiri. Itulah sebabnya sejumlah tim dibentuk. Mula-mula tim Polri dan TNI bergerak sendiri-sendiri. Belakangan, dibentuk tim gabungan yang bertujuan menyamakan hasil temuan. "Saya telah membentuk empat tim untuk membuktikan keterlibatan TNI," kata Endriartono. Tiga tim pertama menyimpulkan, tak ada bukti keterlibatan TNI. Tim ketiga dipimpin langsung Asisten Intelijen Kepala Staf Umum TNI, Mayor Jenderal Marinir Mochammad Luthfie Witto, dan telah memeriksa 98 saksi. Tim gabungan TNI dan Polri, seperti diumumkan awal Januari lalu, tak menemukan bukti keterlibatan tentara (lihat TEMPO Edisi 13-19 Januari 2003).
Seperti mencium gelagat polemik, tak lama setelah kejadian itu, FBI diturunkan ke Timika. Awal Oktober tahun lalu, harian The Washington Post menulis, "FBI telah melakukan investigasi sendiri dengan menurunkan empat agen yang bermarkas di Timika." Di pengujung tahun lalu itu, mereka menelisik termasuk menemui Decky Murib di sebuah rumah sakit di Papua.
Adakah FBI telah menemukan bukti-bukti baru? Sulit memastikannya. Menurut Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Edward Aritonang, sejauh ini ketelibatan FBI hanyalah membantu polisi, bukan melakukan penyelidikan sendiri. "Kendali sepenuhnya tetap di tangan Polri," kata Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin. Sjafrie membenarkan beberapa agen FBI telah dilibatkan sejak tahun lalu. "Kehadiran mereka untuk menunjukkan bahwa investigasi yang dilakukan polisi ataupun TNI transparan," katanya. Sumber TEMPO di Kedutaan AS menyebutkan, FBI belum menutup kemungkinan soal keterlibatan tentara dalam tragedi ini.
Tapi menerima FBI masuk Indonesia dipercaya pengamat politik Salim Said punya banyak dampak positif. "Undangan kepada FBI justru datang dari Panglima TNI. Dengan demikian, Endriartono ingin menunjukkan kepada dunia bahwa TNI tidak terlibat," kata Salim. Ini klop untuk mengimbangi "tekanan" Washington. Apalagi saat ini Senator Patrick Leahy tengah mengkampanyekan penundaan bantuan US$ 400 ribu (kurang dari Rp 4 miliar) kepada Indonesia jika terbukti TNI terlibat. "Itu tidak signifikan karena saat ini pun TNI masih dikenai embargo," kata Salim.
Jadi, yang penting adalah membiarkan penyelidikan ini terus berlanjut secara transparan. Beri waktu pada "Men in Black" untuk mengungkapnya.
Darmawan Sepriyossa, Bernarda Rurit (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo