Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah pakar kesehatan dan epidemiologi meminta pemerintah segera mengintegrasikan data kematian pasien Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Pengintegrasian ini mendesak untuk mengatasi kekacauan data kematian yang terjadi sejak awal pandemi.
Pemerintah perlu memiliki sistem pelaporan terpadu dari level puskesmas atau masyarakat hingga tingkat pusat.
JAKARTA – Sejumlah pakar kesehatan dan epidemiologi meminta pemerintah segera mengintegrasikan data kematian pasien Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Pengintegrasian ini mendesak dilakukan untuk mengatasi kekacauan data kematian yang terjadi sejak awal masa pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Kebijakan Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda, menilai adanya selisih data kematian yang tercatat dengan kondisi di lapangan merupakan imbas dari sistem pencatatan yang tidak baik sejak dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari pantauan CISDI, Olivia mengatakan, tidak semua dinas kesehatan kabupaten dan kota mewajibkan puskesmas melaporkan data kematian. Sistem pelaporan pun masih manual atau memanfaatkan aplikasi milik pemerintah kota dan kabupaten. "Untuk data kematian tidak menjadi kewajiban pelaporan karena kepatuhan pengisian masih rendah," kata Olivia kepada Tempo, kemarin.
Menurut Olivia, pemerintah perlu memiliki sistem pelaporan terpadu dari level puskesmas atau masyarakat hingga tingkat pusat. Ia menuturkan intervensi pemerintah pusat yang meminta agar data dari fasilitas kesehatan langsung disetor ke pusat tidak tepat karena bisa menghambat pemerintah daerah bergerak cepat karena tak mengetahui data secara langsung.
Olivia mengatakan, kalau pelaporannya langsung ke pusat dan sistem tidak terintegrasi dengan kabupaten dan kota, kejadiannya akan seperti pada awal masalah testing. “Semua data masuk ke pusat, dan daerah enggak bisa akses datanya. Jadinya, pengambilan keputusan dan intervensi malah enggak bisa dilakukan secara cepat," ucap Olivia.
Pakar epidemiologi dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, mengatakan pemerintah daerah dan pusat selayaknya menyadari bahwa kepemilikan informasi kesehatan, termasuk data Covid-19, ada pada pemegang otoritas daerah melalui dinas kesehatan. Di sisi lain, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk segera menyampaikan data tersebut ke pusat secara bersamaan. "Solusinya, pusat tinggal integrasikan bermacam sistem pelaporan data itu. Ini sudah disarankan sejak awal masa pandemi," ujar Dicky.
Petugas memantau informasi Covid-19 di Pusat Koordinasi & Informasi Covid-19 Provinsi Jawa Barat, Bandung, 5 Maret 2020. TEMPO/Prima mulia
Pada era desentralisasi saat ini, Dicky mengatakan, pemerintah pusat tidak bisa melompati pemerintah daerah untuk mendapatkan data. Menurut dia, pemerintah pusat tinggal memangkas birokrasi, sehingga sistem pelaporan tidak memiliki kesenjangan yang besar. "Mau enggak mau memang ada jeda, tapi dibuat singkat dengan komitmen tinggi dan pemangkasan birokrasi tadi," katanya.
Pernah berkarier di Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular serta Biro Perencanaan Kementerian Kesehatan, Dicky tahu betul kekisruhan program kesehatan terjadi karena masalah ketersediaan dan kepemilikan data. Lamanya pemerintah daerah melaporkan data kematian, kata dia, tak bisa lepas dari masalah politik daerah yang ingin terlihat memiliki performa baik dengan jumlah kasus rendah. "Ini juga bukan hanya terjadi di masa pandemi. Pada kasus penyakit lain juga terjadi. Angka kematian ibu dan anak juga suka terlambat," ujar Dicky.
Sebetulnya, Dicky menambahkan, negara-negara maju pun memiliki kesenjangan antara kasus kematian sebenarnya dan data yang dicatat. Namun selisih data dengan realitas di negara maju tidak begitu besar dari sisi waktu dan jumlah.
Dicky menegaskan, cara untuk mengurangi gap data kematian adalah memperbaiki sistem pelaporan mulai dari sumber daya manusia yang memiliki kompetensi. Selanjutnya adalah komitmen dari kepala daerah untuk melaporkan data secara transparan dan apa adanya.
Terakhir, kata dia, penguatan oleh regulasi pusat bahwa angka kematian harus dilaporkan, dan ini bentuk tanggung jawab. "Walaupun ini tidak serta-merta bisa menyelesaikan, itu akan mengurangi gap," kata dia.
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengakui saat ini masih ada keterlambatan pelaporan, baik untuk kasus konfirmasi, kasus sembuh, maupun kasus meninggal. Hal ini terjadi khususnya karena peningkatan jumlah kasus yang eksponensial pada Juli lalu. "Saat ini masih sekitar 50 ribu kasus belum ter-update secara status akhirnya," kata Nadia.
Kementerian Kesehatan pun melakukan intervensi kepada rumah sakit untuk mendapatkan laporan secara langsung. Dengan demikian, data secara real time bisa masuk di data pusat tanpa melalui proses verifikasi ulang di kabupaten, kota, dan provinsi. Selain itu, pemerintah melakukan validasi data daerah dan mengecek kembali data tersebut. "Validasi data dari kabupaten dan kota mengecek kembali data mereka yang tidak sama dengan data di NAR (new all record)," ujarnya.
Selain intervensi, pemerintah akan memperbaiki dan memvalidasi data dari kabupaten dan kota, terutama yang tidak sama dengan data NAR. NAR adalah sistem big data untuk pencatatan laboratorium dalam penanganan Covid-19 yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan.
Selama ini, pelaporan dari daerah tidak bersifat real time dan merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya. Berdasarkan data salah satu kabupaten di Jawa, misalnya, kematian tercatat 891 kasus di NAR. Sedangkan data kematian di rumah sakit mencapai 1.120 dan di luar rumah sakit sebanyak 335.
Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, menilai intervensi yang dilakukan pemerintah pusat sudah tepat. Sebab, selama ini daerah sering menyembunyikan data atau mencicil pelaporan. "Sekarang sudah autorelease. Tidak lagi ada campur tangan daerah yang manipulatif," katanya.
Menurut Windhu, laporan tentang data kematian secara langsung akan sama dengan laporan kasus konfirmasi positif yang dilaporkan dari laboratorium ke pusat. "Waktu keluar laporan sama saja, tidak berbeda. Bedanya hanya kalau dulu lewat verifikasi daerah yang sering manipulatif, sekarang autorelease tanpa campur tangan daerah," tutur dia.
MAYA AYU PUSPITASARI | DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo