Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan kepala daerah serentak tahun depan (Pilkada 2018) diperkirakan bakal tercoreng oleh maraknya ujaran kebencian dan isu suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA). Hal itu terjadi karena biasanya ada sebagian orang yang memanfaatkan ujaran kebencian dan isu SARA sebagai salah satu model kampanye hitam untuk menyerang lawan politiknya. “Dapat dipastikan akan meningkat,” ujar Guru Besar Ilmu Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, Selasa, 26 Desember 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pemilihan umum, baik tingkat kepala daerah maupun presiden, ujaran kebencian kerap dimanfaatkan untuk menjatuhkan lawan atau pesaing politik. “Banyak pihak yang terkagum-kagum pada khasiat ujaran macam ini dalam memojokkan lawan,” kata Adrianus. Mereka tidak peduli dampak negatif dari ujaran kebencian yang disebarnya terhadap publik. Publik menjadi terpecah dan rentan bermusuhan.
Baca: Hate Speech di Pilkada 2018, Penegak Hukum Diminta Lebih Tegas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan lain, kata Adrianus lagi, penegakan hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian masih lambat. Hal itu menyebabkan pelaku penyebar ujaran kebencian tidak jera untuk mengulangi perbuatannya. “Bahkan, pelaku menganggap sepele perbuatannya karena merasa tidak melanggar hukum,” ujar dia.
Karena itu, ia meminta aparat penegak hukum mempertegas sanksi bagi para pelaku penyebar ujaran kebencian. “Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus melakukan penegakan hukum,” ucap Adrianus. Ketiga instansi tersebut mesti membuktikan sikap tegas itu dalam waktu satu hingga dua bulan ke depan. “Ini jadi kode keras menjelang kampanye pilkada. Sehingga, orang-orang akan berpikir untuk melakukan tindakan itu,” kata Adrianus.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti, mengatakan isu SARA berpotensi menjadi salah satu bahan kampanye dalam pilkada nanti. Isu SARA yang sering kali digunakan dalam kontes politik lebih kepada mengasosiasikan sosok tertentu dengan fakta yang tidak sebenarnya, dan sejauh mana asosiasi itu dibuat. Tidak jarang hanya karena berbeda kepercayaan, seorang calon disebut sebagai orang yang tidak beragama.
Baca: Jenderal Maju Pilkada, Pengamat: Kondisinya Beda dengan Orde Baru
Ray memprediksi penggunaan isu SARA bahkan berpotensi berlanjut hingga pemilihan legislator serta presiden pada 2019 nanti. “Partai politik memiliki tanggung jawab besar untuk mengantisipasinya,” ujar dia, Selasa, 26 Desember 2017.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Menurut dia, politik sektarian dan politik identitas yang menggunakan isu SARA masih akan efektif dalam pemilihan kepala daerah nanti. Ia berkaca pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu yang diwarnai politik sektarian dan politik identitas.
Ia khawatir strategi itu akan kembali diterapkan untuk Pilkada 2018 di daerah lain oleh sebagian partai politik. “Karena belum ada penyeimbang yang relatif sama atau mengemuka untuk mengatakan kepada publik bahwa apa yang terjadi kemarin (saat pilgub Jakarta) itu tidak benar,” kata dia. Persoalan itu akan menjadi salah satu tantangan terberat Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawasan Pemilu, dan kepolisian.
ADAM PRIREZA | DEWI NURITA | ZARA AMELIA