Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"yang hidup dan dihayati....... "yang hidup dan dihayati .........

Menteri p & k daoed yoesoef melantik drs. arymurthy sebagai direktur direktorat pembinaan penghayat kepercayaan terhadap tuhan yme. programnya diarahkan kepada pembinaan budi luhur.(ag)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBATINAN atau kejawen, kini secara resmi disebut "Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa". Dan secara resmi pula dinyatakan sebagai bukan agama. Apalagi agama baru. Presiden Soeharto sendiri pernah menghimbau agar para penghayat (begitu sebutan bagi pemeluk Kepercayaan) kembali ke induk agama masing-masing. Dalai pidato RAPBN depan DPR 8 Januari lalu Presiden menegaskan bahwa Kepercayaan merupakan "bagian dari kebudayaan nasional kita, yang merupakan budaya yang hidup dan dihayati oleh sebagian bangsa kita." Itulah sebabnya, berbeda dari tahun anggaran sebelumnya, kini anggaran untuk kepercayaan dipisahkan dari sektor agama, masuk sub sektor kebudayaan. Maka Senin siang 5 Pebruari lalu Menteri P&K Daoed Joesoef pun melantik Arymurthy, 57 tahun -- sekjen Sekretariat Kerjasama Kepercayaan itu sebagai Direktur Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ditempatkan di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, direktorat baru ini mengemban 4 fungsi: merumuskan kebijaksanaan teknis pembinaan penghayat Kepercayaan sesuai dengan kebijaksanaan Ditjen Kebudayaan menyelenggarakan penyusunan, penilaian, pengendalian materi dan program pembinaan penghayat Kepercayaan menyelenggarakan bimbingan, penyuluhan serta melaksanakan publikasi dan dokumentasi pelaksanaan kegiatan pembinaan. Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR 7 Pebruari lalu, Daoed Joesoef yang menyebut Kepercayaan sebagai "warisan dan kekayaan rohani rakyat" juga mengungkapkan program pembinaan Kepercayaan yang "diarahkan kepada pembinaan budi luhur." Di dalamnya tercakup "pembinaan sikap taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan rasa hormat terhadap agama yang dianut para penghayat, sehingga makin kuat rasa keagamaannya." Sawito Daoed Joesoef sendiri pekan lalu kepada TEMPO menjelaskan bahwa sesuai dengan sifatnya, Kepercayaan masuk Departemen P&K. "Kepercayaan itu adalah kebudayaan kita yang paling elementer seperti halnya sifat toleransi. Sebelum agama-agama besar datang kemari, Kepercayaan sudah ada di sini," kata Daoed. Tapi yang nampaknya menarik dari kecerangan Menteri P&K itu adalah ini: "Pembinaan itu untuk mencegah jangan sampai mereka membuat semacam agama, tapi membina budi pekerti yang luhur. " Bagaimana pembinaan budi pekerti itu dalam praktek? Menteri sendiri belum bisa memberi keterangan. "Sedang diusahakan pengumpulan bahan-bahannya, misalnya dari cerita-cerita kuno," katanya. Yang pasti, tidak akan merupakan mata pelajaran tersendiri di sekolah. "Pelajaran budi pekerti sudah terkandung dalam berbagai macam pelajaran seperti Civics, Pendidikan Moral Pancasila, dan sebagainya," kata Menteri Daoed. Jadi budi-pekerti yang macam mana yang sesuai dengan Kepercayaan? Barangkali profil Arymurthy sendiri bisa menjelaskan. Lahir di Demak 57 tahun lalu, sarjana ekonomi UI (1957) ini pensiunan pegawai tinggi Direktorat Jenderal Pajak. Sejak kecil mengaku banyak menderita batin, antara lain "tak sempat mendapat air susu ibu sendiri." Tahun 1946 untuk pertama kali Arymurthy mengenal dunia kebatinan lewat Suryopremono, seorang "guru" Paguyuban Sumarah di Magelang. Kepribadiannya sendiri agak unik sejak kecil mendapat pendidikan Belanda (sekolah ELS di Pemalang dan HBS di Semarang), ia juga mengaku tak pernah belajar kebudayaan Jawa. "Membaca huruf Jawa pun saya tidak bisa," katanya akhir pekan lalu di rumahnya, kawasan Kebayoran, Jakarta. Mengaku tak pernah membaca buku-buku kebatinan, Arymurthy tak pernah berguru kecuali sekali saja di tahun 1946 itu. "Saya mengalaminya sendiri, menghayati sendiri," tuturnya. Ajaran Sumarah sederhana: sujud menyerah bulat-bulat dengan penuh kelmanan tanpa perantara kepada Tuhan. Caranya? Dengan mengheningkan cipta. "Bukan sekedar mengheningkan cipta tapi disertai dengan manembab, keimanan," kata Arymurthy. Tapi waktunya tidak bisa ditentukan, melainkan sak selaning nyambut karyo (kalau ada waktu). Mungkin mengejutkan. Tapi alasan Arymurthy: "Untuk manembah, jangan karena terpaksa." Fisik pun dipersiapkan. "Kalau semua tugas-tugas fisik sudah selesai, barulah kita bersiap manembah. Sebab fisik pun hendaknya mendapatkan haknya," katanya. Itu tak berarti setiap saat tidak ingat kepada Tuhan. "Setiap saat, kita harus eling (ingat) kepadaNya," ia menegaskan. Dengan selalu eling itulah, Arymurthy -- mengaku pernah mendapat wangsit tahun 1958 -- bisa menjaga keseimbangan hidup. "Saya tidak ketularan serakah meskipun kesempatan selalu terbuka," ujarnya. Pernah menjadi sekretaris Wakil Menteri Pertama Bidang Keuangan di zaman Bung Karno, ketika masih berdinas di Ditjen Pajak, ada orang yang katanya gagal menyuapnya. "Orang itu keluar masuk pintu ruang kerja saya tapi akhirnya keluar lagi. Sebab saya selalu eling dan minta perlindungan Tuhan," tuturnya. Sampai saat ini Arymurthy tidak punya catatan jumlah aliran kepercayaan dan para penghayatnya. "Di luar kepala, ya sekitar 70 buah, kebanyakan di pulau Jawa. Di Sumatera juga ada satu dua," katanya. Dalam pembinaannya nanti, adakah Kepercayaan juga berdakwah? "Dakwah?" tanya Arymurthy. "Ya kalau diterima, kalau tidak bagaimana? Nanti malah dituduh kita menggurui," tambahnya. Justru sikap 'diam' itu, menurutnya merupakan ciri khas Kepercayaan. "Dan pernahkah kita menankis kecaman-kecaman? Lebih baik mawas diri dari pada menuding-nuding seperti misalnya Sawito itu. Sawito sendiri bukan anggota SKK," katanya pula. Daoed Joesoef juga berpendapat, "justru kekuatan para penghayat Kepercayaan karena mereka diam, tidak berdakwah. Tapi orang toh datang kepada mereka."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus