Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Penelitian tentang penyandang disabilitas selama ini memiliki dua kubu yang berbeda. Pertama jalur riset akademik, yaitu penelitian dan pengkajian yang dilakukan di lingkungan kampus oleh akademikus dengan metode penelitian ilmu pengetahuan baku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kedua, riset kubu masyarakat atau komunitas. Ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh masyarakat penyandang disabilitas, berupa riset partisipatif yang menyertakan pengalaman, sudut pandang serta persepsi penyandang disabilitas. "Dua kubu riset yang dilakukan oleh kelompok yang berbeda ini memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing," kata Direktur Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak atau SABDA, Nurul Saadah dalam diskusi Koneksi Inklusif Indonesia (Konekin), Sabtu 21 November 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kekurangan dari riset akademik berupa jurnal science, menurut Nurul, kerap belum dapat dibaca dan dicerna dengan baik oleh pembuat kebijakan maupun penyandang disabilitas itu sendiri. Sementara riset masyarakat penyandang disabilitas masih kerap terhalang oleh metodologi penelitian. Sebab itu, organisasi seperti SABDA berusaha menjembatani dua persoalan tersebut melalui Colaborative Research yang dapat dilakukan bersama antara akademikus dengan masyarakat.
Nurul mencontohkan, penelitian kolaboratif ini dapat dilakukan oleh lembaga kajian milik pemerintah dengan menggandeng organisasi penyandang disabilitas dan akademikus di perguruan tinggi. Dalam kolaborasi tersebut, peneliti dari perguruan tinggi dapat berperan sebagai co-researcher yang memberikan supervisi kepada peneliti dari masyarakat difabel mengenai metodologi penelitian yang dapat dipercaya serta memenuhi standar baku penelitian.
"Pada kenyataannya, masih banyak teman difabel yang terkendala dengan metode riset berdasarkan pakem akademik untuk jurnal science," kata Nurul. Padahal, dia melanjutkan, tak sedikit penyandang disabilitas yang ingin membuat kajian dan menyampaikan hasil penelitian mereka pada pembuat kebijakan.
Penelitian kolaboratif ini sudah dimulai oleh organisasi Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia atau PPDI Kota Padang. Tak hanya mengajak difabel, PPDI juga menggandeng akademikus untuk melakukan penelitian sekaligus advokasi hasil riset mereka kepada pemangku kepentingan.
"Kami ingin universitas dan lembaga kajian mulai menerapkan riset inklusif dengan menerapkan penelitian kolaboratif ini," kata peneliti dan pemerhati isu disabilitas, Anthony Saputra dari PPDI Padang. Menurut Anthony, produk penelitian ini nantinya akan menghasilkan pengetahuan bersama mengenai isu disabilitas.
Nurul dan Anthony sepakat penelitian kolaboratif mengenai isu disabilitas memberikan banyak manfaat. Antara lain memastikan aspirasi terhadap difabel, keluarga difabel, dan pendamping penyandang disabilitas tersampaikan dalam penelitian. Penelitian kolaboratif juga menciptakan lapangan pekerjaan yang inklusif bagi difabel.