Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LETKOL Abdoelmoethalib, Ketua DPRD Banjarnegara (Jawa Tengah)
bertekad mengundurkan diri. Sebagai anggota Fraksi ABRI ia telah
membicarakan hal itu dengan Danrem 071 Wijayakusuma/Banyumas.
Begitu pula dengan Pangdam VII/Diponegoro 4 Januari lalu.
Panglima mencegah niat Abdoelmoethalib.
Sikap keras ini diambil Abdoelmoethalib setelah hasil 4 kali
sidang lembaga perwakilan yang dipimpinnya untuk memilih bakal
calon Bupati Banjarnegara selalu ditolak oleh Gubernur Jawa
Tengah, Soepardjo Roestam (TEMPO 10 November 1979). Bahkan
hasil sidang terakhir, 5 Desember 1979 lalu, juga diminta agar
diulang.
Dalam 4 kali pemilihan ulang, Suwadji (Bupati Banjarnegara yang
lama) selalu muncul sebagai salah seorang calon. Tapi namanya
selalu dicoret setelah sampai di tangan gubernur. Akhirnya
tinggal 3 bakal calon, yakni ir. Uhadiono, Kepala Proyek Sempor
yang kabarnya telah "diarahkan" agar menang, Suparno, Sekwilda
Kabupaten Kebumen dan, Widodo, Kasubdit Pembangunan
Banjarnegara.
Tapi hasil sidang pemilihan 5 Desember 1979 lalu mengagetkan
Pemda Ja-Teng. Sebab yang muncul hanya 2 nama, yaitu Uhadiono
dan Suparno. Tapi Uhadiono hanya memperoleh 16 suara dan Suparno
24 suara. Sebagai "orang yang diharapkan terpilih" oleh
pemerintah sebenarnya Uhadiono dapat saja diangkat sebagai
bupati, lebih-lebih karena untuk itu UU tak mengharuskan seorang
calon mendapat suara terbanyak.
Meski begitu Gubernur Soepardjo, sekali lagi minta agar
pemilihan diulang. Sebab ketika Pimpinan DPRD Banjarnegara
dipanggil ke Semarang, pihak Pemda Ja-Teng menilai pemilihan itu
tidak sah. "Dan dianjurkan agar pemilihan diulang," kata
Shobron, Wakil Ketua DPRD Banjarnegara, "tapi kami menolak."
Sumber TEMPO di Semarang menyebutkan sidang pemilihan ke-5 itu
bertentangan dengan keputusan Mendagri 23 Februari 1978 tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan Tatatertib DPRD, lantaran
diselenggarakan secara tertutup. Di lain pihak, Shobron
menegaskan hasil sidang sebagai sah. Sebab katanya, pemilihan
itu bukan saja sesuai dengan tatatertib tapi juga mencontoh cara
pemilihan Bupati Banyumas RG Radjito yang juga tertutup.
Sebelum pemilihan pihak DPRD Banjarnegara juga sudah 3 kali
berkonsultasi dengan Biro Pemerintahan Pemda Ja-Teng. Sementara
itu Peraturan Mendagri No. 10/74 pasai 8 juga menyebut
tatatertib pemilihan diatur dengan keputusan DPRD. "Jadi
pemilihan itu sah," Shobron menyimpulkan. Jauh sebelumnya,
pemilihan 3 bupati di Banjarnegara juga berlangsung dalam sidang
tertutup. Dan tak pernah dipersoalkan.
Tampaknya Pemda Ja-Teng tetap menghendaki Uhadiono yang tampil.
Buktinya, Suparno (45) diminta agar mengundurkan diri dari
pencalonan. Ia mengaku diminta menandatangani pernyataan tak
bersedia diangkat sebagai bupati. "Tapi saya menolak pernyataan
itu," kata Suparno. Di lain pihak, baik Gubernur Soepardjo
maupun Ketua DPD Golkar Ja-Teng Widarto, membantah adanya
"tekanan dari atasan" terhadap Suparno.
Benarkah Uhadiono "diarahkan"? Gubernur Soepardjo membantah.
"Tidak ada bakal calon yang ditokohkan Semua mendapat restu,"
kata gubernur. Tapi dalam suratnya yang dikirim dari Singapura
18 Oktober 1979 lalu, Uhadiono -- yang berpendapat tugas belajar
untuk program doktor selama 3 tahun sejak Agustus 1980 di
Amerika -- menyebut "menerima baik tawaran Gubernur Ja-Teng
untuk dicalonkan." Pernah menjadi anggota DPR (1971-1977),
Uhadiono kabarnya juga mendapat tawaran sebagai Rektor UNS di
Surakarta dan Kepala Proyek Asahan. Menurut jurubicara
Departemen Dalam Negeri, Feisal Tamin pekan lalu, "belum ada
keputusan Mendagri" soal Bupati Banjarnegara.
Pendekatan
Soepardjo Roestam memang sedang repot. Masih ada 2 daerah lagi
yang belum selesai memilih calon kepala daerah. Yaitu Kotamadya
Semarang dan Kabupaten Wonogiri. Kolonel Imam Suparto yang
mendapat suara terbanyak dari DPRD Kodya Semarang, mendadak
dinyatakan menderita sakit radang empedu dengan surat keterangan
dari RS Gatot Soebroto, Jakarta. Tapi dari sumber lain, Imam
Suparto yang kini bertugas di Sekretariat Negara tersebut
kabarnya "masih diperlukan di tempat lain."
Adapun calon pengganti Bupati Wonogiri, Sumoharmoyo, sampai
pekan lalu belum didapat. Buat sementara, Agus Sumadi, Pembantu
Gubernur untuk eks Karesidenan Surakarta, ditugasi sebagai pjs
bupati di sana. "Saya sudah minta Agus Sumadi secepatnya
mengadakan pendekatan kepada DPRD Wonogiri," ucap Gubernur
Soepardjo kepada TEMPO pekan lalu, seusai melantik Walikota
Surakarta yang baru, Kolonel Soekatno Prawirohadisubroto.
Bakal calon pengganti yang diusulkan DPRD Wonogiri tempo hari,
Letkol Maryono, ditarik oleh gubernur karena "masih dibutuhkan
oleh kesatuannya" (TEMPO, 20 Oktober 1979). Ada calon lain?
"Belum ada. Baru 12 Januari ini saya berunding dengan dewan,"
jawab Agus Sumadi. Tapi tampaknya kalangan DPRD Wonogiri sudah
tidak lagi bergairah mengulangi pemilihan.
Di Musi Rawas, Sumatera Selatan, pemilihan ulang kabarnya segera
dilangsungkan setelah 2 calon "yang diarahkan" yaitu Adios
Effendy dan Tradjumas Razak, pada pemilihan Juli 1979 kalah
suara. Karena itu, Mendagri, lewat gubernur, tidak mengesahkan
hasil pemilihan tersebut. Belakangan Gubernur Sainan Sagiman
menunjuk Abdul Cholil Aziz sebagai Pjs Bupati Musi Rawas. Akhir
Desember 1979 lalu Gubernur Sainan minta agar Cholil
mempersiapkan pemilihan ulang itu. Yang menarik: dalam
tatatertib disebut bahwa calon yang pernah ikut dalam
permilihan lalu tidak diperkenankan mencalonkan diri kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo