Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menangkal Hoaks Pemilu lewat Satgas

Satgas digital dibentuk untuk mencegah disinformasi dan polarisasi pada Pemilu 2024. Kegiatan kampanye di dunia maya perlu diawasi karena diperkirakan lebih masif.

21 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA — Pemerintah berencana membentuk satuan tugas digital untuk mencegah disinformasi dan polarisasi pada Pemilu 2024. Satgas yang digagas Kementerian Komunikasi dan Informatika itu bakal mengawasi setiap informasi seputar pemilu yang beredar di media sosial.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo, Usman Kansong, memperkirakan, pada pemilu mendatang, kampanye secara fisik, seperti pawai dan rapat akbar, akan makin berkurang. Para peserta pemilu bakal lebih memanfaatkan ruang digital dalam membentuk opini publik dan kampanye. "Sehingga perlu untuk mengamankan ruang digital," kata Usman, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Pembentukan satgas digital telah disepakati oleh sejumlah kementerian dan lembaga penyelenggara pemilu. Pembentukan satgas itu pun bukan barang baru. Sebab, pada Pemilu 2019, pemerintah juga membentuk satgas digital. "Sekarang dilanjutkan kembali dengan pembaruan,” katanya. “Kan dulu enggak ada TikTok, nanti akan ditambahkan dalam MoU dengan platform digital itu."

Pengawasan yang dilakukan satgas ini mengacu pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta Undang-Undang Pemilu.

Pengendara melintas di bawah mural yang berisi pesan pemilu tanpa hoaks di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, 11 April 2019. ANTARA/Muhammad Iqbal

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Pada Pemilu 2019, Menkominfo mengidentifikasi 277 disinformasi politik di ruang digital. Disinformasi itu salah satunya berbentuk hoaks tentang polisi Tiongkok ikut mengamankan pemilu, serta perusakan, pembakaran, dan penyerangan masjid di Tanah Abang, Jakarta Pusat. "Akun yang menyebarkan konten negatif itu yang nanti akan diawasi dan akan di-takedown," kata Usman. "Tapi yang melakukan takedown adalah penyedia platform media sosial atas temuan satgas."

Mekanisme kerja satgas digital ini bisa berasal dari laporan masyarakat hingga pengawasan langsung melalui perangkat yang dimiliki Menkominfo. Setelah ditemukan adanya konten yang menyebarkan hoaks, kata Usman, satgas bakal mengidentifikasi dan memverifikasinya. "Setelah itu, baru dibuat rekomendasi dan ditentukan langkahnya apakah di-takedown atau melakukan kontra-narasi," ucapnya. "Upaya hukum punitif merupakan langkah terakhir yang akan diambil."

Usman mengatakan penegakan sanksi pidana bagi pelanggar merupakan upaya terakhir yang ditempuh satgas. Sebab, Kementerian Kominfo bersama Kejaksaan Agung dan kepolisian telah membuat nota kesepahaman bersama dalam pendekatan restorative justice terhadap kasus pelanggaran Undang-Undang ITE.

Satgas digital baru mulai dibentuk dan bekerja pada awal tahun depan. Satgas ini akan mengintegrasikan lembaga pengawas digital yang telah ada, baik di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) maupun di Direktorat Pidana Siber Polri. "Karena ada lembaga yang sudah mempunyai bagian pengawas ruang digital. Kami hanya mengintegrasikannya," ujar Usman.

Komisioner Bawaslu, Puadi, mengatakan pembentukan satgas khusus yang mengawasi ruang digital merupakan sebuah keniscayaan. Satgas tersebut dibentuk dengan tujuan mengawal kemurnian pemilu dari berbagai aktivitas negatif, seperti kampanye hitam, berita bohong, dan ujaran kebencian melalui media sosial. "Kehadiran media sosial dalam kampanye pada satu sisi sangat baik dalam rangka meningkatkan literasi publik tentang pemilu berintegritas. Namun harus diakui pula kehadiran media sosial dalam pemilu menjadi tantangan tersendiri karena kampanye hitam, berita bohong, dan ujaran kebencian menjadi sisi gelap dari kehadiran media sosial," ujarnya.

Bawaslu telah mewaspadai pelanggaran kampanye di media sosial menjelang perhelatan pemilu serentak 2024. Pelanggaran pemilu diprediksi lebih banyak dan masif menyusul makin berkembangnya media sosial serta jumlah peserta pemilu yang kian gemuk. Kehadiran satgas digital ini, kata dia, menjadi sangat penting bagi Bawaslu dalam proses penanganan pelanggaran.

Bawaslu, kata dia, berkepentingan untuk melakukan pengawasan di media sosial, terutama dalam tahapan kampanye. "Khususnya kampanye yang dilakukan melalui media sosial. Bawaslu sendiri memiliki tim yang khusus mengawasi aktivitas kampanye melalui media sosial," ucap Puadi.

Selain itu, Bawaslu sudah membangun kolaborasi pengawasan bersama Kemenkominfo dan platform media sosial untuk mengawasi serta mencegah konten negatif. "Bahkan kami dapat meminta Kemenkominfo dan platform untuk melakukan takedown terhadap konten tersebut."

Tim Satuan Tugas Cyber Crime memantau media sosial untuk mengawasi penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian menjelang pilpres 2019 di Polda Sulsel, di Makassar, Sulawesi Selatan, 4 Januari 2019. ANTARA/Abriawan Abhe

Berkaca pada pemilu serentak 2019 dan pilkada serentak 2020, permintaan Bawaslu kepada lembaga yang berwenang bisa melakukan takedown berdasarkan kebijakan di media sosial masing-masing. Dari aspek regulasi, penegakan hukum terhadap konten negatif media sosial dalam kampanye pemilu pada dasarnya telah diatur dalam KUHP (berkaitan dengan berita bohong dan ujaran kebencian), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta Undang-Undang Pemilu.

Selain itu, penegakan hukum yang dilakukan Bawaslu mengacu pada Peraturan Kementerian Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017 yang berkenaan dengan bermuamalah di media sosial. "Artinya, dari sisi substansi hukum sudah cukup memadai."

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan masih menunggu rencana pembentukan satgas tersebut. Komisioner KPU, Betty Epsilon Idroos, mengatakan pihaknya perlu memahami tugas dan fungsi satgas digital untuk dijadikan rujukan dalam pembentukan regulasi kampanye pada Pemilu 2024. "Kami sampai sekarang belum tahu bagaimana dan apa bentuk kerjanya," ucapnya.

Partai Demokrat mempertanyakan urgensi rencana pembentukan satgas digital tersebut. Menurut juru bicara Partai Demokrat, Herzaky Mahendra, aturan dan badan atau instansi pengawas ataupun penegak hukum telah cukup untuk memantau percakapan di ruang digital selama masa kampanye. "Apakah kinerja instansi, lembaga, ataupun badan terkait sudah optimal atau belum terkait dengan hal ini? Adakah evaluasi mengenai hal ini sebelumnya sebagai dasar bagi kita dalam mengambil kebijakan?"

Jika memang ada kinerja badan atau lembaga terkait yang belum optimal, kata dia, sebaiknya dimaksimalkan saja keberadaan mereka. Menurut dia, ruang digital memang perlu dijaga agar bisa menjadi ruang demokrasi yang sehat yang minim hoaks dan disinformasi. "Tapi, jangan sampai ada relasi kuasa yang asimetri digunakan dalam pengelolaan ruang digital ini. Perlu ada perlakuan sama dan setara untuk semua pihak," ucapnya.

IMAM HAMDI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus